cara sehat lepas dari hustle culture

Adakah Cara Sehat Lepas dari Tekanan ‘Hustle Culture’?

Pernah enggak sih kamu merasa 24 jam dalam sehari itu kayaknya selalu kurang? Baru saja satu tugas kelar, sudah harus lanjut ke deadline berikutnya. Tiap hari rasanya nempel terus sama laptop atau gadget, sampai lupa rasanya punya waktu untuk diri sendiri atau nongkrong bareng teman.

Dari luar mungkin kamu kelihatan super-produktif. Tapi di balik itu, kamu sering kelelahan, baik karena tekanan kerja, ekspektasi orang sekitar yang tinggi, sampai budaya kantor yang menganggap stres dan kerja non-stop itu hal biasa. Kalau kamu relate sama semua ini, bisa jadi kamu lagi terjebak dalam yang namanya hustle culture.

Dikutip dari BBC, Hustle culture: Is this the end of rise-and-grind?, hustle culture itu semacam pola pikir yang bikin kita percaya kalau kerja keras tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju sukses. Istirahat dianggap enggak penting, dan waktu santai malah sering dinilai sebagai bentuk kemalasan. Mantra seperti “kerja dulu, tidur belakangan” atau “enggak ada sukses buat yang suka rebahan” jadi semacam slogan enggak resmi buat para pejuang lembur.

Sekilas, gaya hidup ini kelihatan keren dan inspiratif. Tapi kalau ditelaah lebih dalam, hustle culture justru bisa bikin kita terjebak dalam siklus kerja yang bikin capek badan dan pikiran tanpa ujung.

Baca Juga: Mungkinkah Pisahkan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan?

Kenapa Hustle Culture Bisa Ngetren?

Masih dari BBC, ada beberapa alasan kenapa hustle culture jadi booming, apalagi di kalangan anak muda. Salah satunya: Media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, atau LinkedIn sering banget menunjukan sisi glamor dari hidup orang sukses, sibuk terus, kerja keras, penuh pencapaian. Kita pun jadi merasa harus ikut hustle agar kelihatan “berhasil”.

Selain itu, dunia startup dan industri kreatif juga ikut menyumbang tren ini. Banyak perusahaan baru yang bangga banget sama budaya kerja yang ‘gila-gilaan’. Kalimat kayak “demi visi besar, kita harus all out” sering kali bikin karyawan merasa harus mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan demi proyek besar.

Belum lagi tekanan ekonomi yang bikin kita merasa harus terus kerja biar bisa survive dan tetap relevan di dunia kerja. Campuran dari semua faktor ini menciptakan ilusi kalau satu-satunya jalan menuju sukses adalah kerja terus, tanpa henti, tanpa jeda.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Tanda-Tanda Kamu Sudah Terjebak Hustle Culture

Kadang kita enggak sadar kalau hidup kita sudah terlalu dikuasai sama yang namanya kerja terus-menerus. Segala hal rasanya berputar di urusan produktivitas. Padahal, jadi produktif itu bagus, tapi kalau sampai bikin kamu lupa sama kehidupan pribadi, itu tandanya sudah enggak sehat.

Dikutip dari Psychology Today, Why Hustle Culture Is Failing You, agar kamu bisa lebih peka, coba cek lima tanda berikut. Bisa jadi kamu udah terjebak hustle culture tanpa sadar.

  1. Selalu Merasa Bersalah Kalau Lagi Enggak Ngapa-ngapain

Pernah enggak sih lagi santai nonton film terus malah merasa bersalah? Atau waktu rebahan, kepikiran kerjaan terus? Kalau iya, ini bisa jadi sinyal bahaya. Kamu merasa semua waktu harus diisi dengan hal yang produktif, dan istirahat malah bikin kamu tidak nyaman.

  1. Istirahat Jadi Hal yang Dianggap Enggak Penting

Kamu rela begadang demi menyelesaikan pekerjaan, padahal badan dan pikiran sudah capek banget. Bahkan, kamu merasa bangga bisa kerja lembur tiap malam. Ini tandanya kamu sudah mengabaikan kebutuhan dasar: tidur, recharge, dan tenangin diri.

  1. Jadwal Kamu Padat Banget dari Pagi Sampai Malam

Kalender kamu penuh sesak dari Senin sampai Minggu. Setiap jam sudah ada agenda. Bahkan akhir pekan pun enggak luput dari to-do list. Kelihatannya kamu sibuk dan produktif, tapi sebenarnya kamu sudah enggak punya waktu buat diri sendiri atau sekadar berhenti sejenak.

  1. Enggak Bisa Bilang “Tidak” ke Pekerjaan Tambahan

Kamu selalu mengiyakan semua permintaan kerja, walaupun sebenarnya sudah kewalahan. Rasanya enggak enak kalau menolak. Kamu takut dianggap malas atau enggak kompeten, padahal justru kemampuan buat bilang “tidak” itu penting supaya kamu tetap sehat dan enggak burnout.

  1. Waktu buat Diri Sendiri dan Keluarga Makin Menipis

Coba deh ingat-ingat, kapan terakhir kamu menikmati makan malam bersama keluarga tanpa memikirkan notifikasi kerja? Atau weekend tanpa buka laptop? Kalau hal-hal kecil kayak gitu sudah mulai langka, artinya kamu terlalu larut dalam pekerjaan sampai lupa sama orang-orang terdekat.

Baca Juga: Tips Manajemen Stres di Tempat Kerja yang Efektif

Cara Pelan-Pelan Lepas dari Hustle Culture

Keluar dari hustle culture bukan berarti kamu jadi pemalas atau kehilangan semangat kerja. Justru ini soal menemukan ritme hidup yang lebih sehat dan seimbang. Kamu tetap bisa berkarya dan produktif, tapi dengan cara yang enggak bikin kamu tumbang secara fisik maupun mental.

Dikutip dari Fortune, Hustle culture is a dangerous myth, burnout expert says. Here are 6 ways to beat it, ini dia beberapa tips simpel yang bisa kamu coba buat pelan-pelan lepas dari jebakan kerja terus tanpa henti:

  1. Mulai dari Sadar Dulu

Langkah pertama: sadari dulu kalau gaya hidup kamu sekarang sudah enggak sehat. Coba perhatikan, apakah waktumu lebih banyak habis buat kerja? Apakah kamu sering menunda istirahat dan tetap lanjut meski sudah capek banget?

Kalau iya, tandanya kamu perlu mengubah cara jalan hidupmu. Dengan sadar sama pola ini, kamu bisa mulai bikin langkah kecil buat memperbaikinya.

  1. Bikin Batas yang Jelas antara Kerja dan Waktu Pribadi

Penting banget untuk memisahkan waktu kerja sama waktu istirahat. Contohnya:

  • Stop buka email kerja di atas jam 7 malam
  • Tidak membawa-bawa pekerjaan ke hari libur
  • Matikan notifikasi kerja waktu weekend

Kamu butuh waktu buat dirimu sendiri, dan itu sah-sah aja. Batas ini bikin kamu bisa kembali pegang kendali atas waktumu sendiri.

  1. Ubah Cara Pandang: Sibuk Bukan Berarti Produktif

Banyak orang menganggap sibuk itu keren. Padahal, produktif bukan soal seberapa padat jadwalmu, tapi seberapa efektif kamu menyelesaikan sesuatu. Lebih baik kerja fokus 4 jam tapi beres, daripada 12 jam cuma kelihatan sibuk.

Coba cek aktivitas harianmu, apa semuanya benar-benar penting? Atau ada yang cuma mengabiskan energi saja?

  1. Belajar Bilang “Enggak”

Menolak itu bukan dosa, kok. Justru itu bentuk self-care. Kamu enggak harus selalu bilang “iya” ke semua hal. Jaga energi dan fokusmu dengan belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang bisa ditunda atau enggak penting-penting banget.

Mulai aja dari hal kecil, seperti menolak ikut rapat yang enggak relevan, atau enggak langsung membalas chat kerja setelah jam kantor.

  1. Kurangi Konten Produktivitas yang Tidak Sehat

Kalau timeline medsos kamu penuh sama orang-orang yang pamer kerja terus tanpa henti, mungkin sudah saatnya bersih-bersih. Banyak konten motivasi yang kelihatannya inspiratif, tapi malah bikin kamu stres dan insecure.

Coba ganti dengan akun-akun yang bahas soal self-care, hidup santai, atau keseimbangan hidup.

  1. Merayakan Kemajuan Kecil

Enggak perlu langsung berubah 180 derajat dalam semalam. Semua proses butuh waktu, dan setiap langkah kecil yang kamu ambil itu berarti. Misalnya minggu ini kamu bisa tidur cukup, atau berhasil nolak satu tugas tambahan, itu layak dirayakan!

Lama-lama, perubahan kecil ini bisa bantu kamu bangun hidup yang lebih stabil dan mindful.

Read More
kehilangan motivasi kerja

Mungkinkah Pisahkan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan?

Tahun lalu, Apple TV meluncurkan serial Severance, yang langsung disambut dengan pujian kritikus dan penonton. Serial itu menceritakan tentang sekelompok karyawan di Lumon Industries yang benar-benar bisa memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Ketika berada di kantor, karyawan tidak mengingat apa pun tentang dunia luar. Sebaliknya, ketika di rumah, mereka tidak mengingat apa pun tentang pekerjaan.

Ini adalah versi ekstrem dalam mengelola batas antara kehidupan pribadi dan profesional – konsep yang berlaku bagi sebagian besar dari kita – dan merupakan fokus bagi para akademisi yang bekerja di bidang penelitian hubungan pekerjaan-keluarga.

Dalam serial ini, para karyawan menjalani prosedur medis yang disebut sebagai severance (pemutusan) untuk “membersihkan” pikiran mereka. Dalam literatur pekerjaan-keluarga, walau tidak terlalu harafiah, istilah ini dikenal sebagai “severation” (pemisahan).

Pemisahan adalah teknik manajemen batasan yang membuat kita memisahkan peran pekerjaan dan keluarga tanpa adanya tumpang tindih.

Kebalikan dari hal ini adalah “integrasi”, yang melihat individu mencari sinergi dan tumpang tindih antara berbagai peran dalam hidup mereka demi mendapatkan kinerja yang lebih baik di semua aspek.

Contoh yang baik dari hal ini adalah Indra Nooyi, mantan CEO Pepsi-Co selama 12 tahun yang, mengambil peran sebagai “konsumen” dan mencicipi beberapa produk sebagai pelanggan saat ini sedang cuti. Ia kemudian menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk mengusulkan beberapa inovasi pada produk bisnis inti.

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Tak mungkin melakukan pemisahan total antara pekerjaan dan keluarga. Kita akan selalu tergoda untuk memikirkan keluarga kita bekerja, dan jarang sekali orang bisa lepas dari komunikasi terkait kerjaan saat berada di rumah. Batas antara kedua kehidupan kita ini mudah ditembus.

Tak diragukan lagi, praktik severance yang dialami oleh karyawan dalam acara TV tersebut merupakan prospek yang menarik bagi beberapa perusahaan. Memutuskan semua pemikiran tentang dunia luar tentu akan mengurangi gangguan di luar pekerjaan dan seharusnya secara teori meningkatkan produktivitas. Ini juga bisa menjadi kondisi yang diinginkan oleh beberapa karyawan yang akhirnya bisa berhenti memikirkan pekerjaan saat berada di rumah.

Lima karyawan bekerja di bilik mereka dan saling berbincang-bincang.
Rekan-rekan kerja di kantor dalam serial TV Severance. Apple TV

Polinasi Silang

Bahkan dalam dunia fiksi Severance, kita melihat pemisahan total bukanlah pilihan jangka panjang yang berkelanjutan.

Berharap agar hidup kita tersegmentasi secara sempurna dapat menumbuhkan keyakinan yang salah tentang bagaimana area-area kehidupan berdampak terhadap satu sama lain. Hal ini terutama terjadi ketika pemisahan tersebut didorong oleh gagasan, peran pekerjaan dan keluarga kita selalu bertentangan. Kita menjadi percaya bahwa perlu untuk memisahkan keduanya demi menghindari limpahan negatif dari satu aspek ke aspek lainnya.

Literatur-literatur yang ada telah secara luas menunjukkan bahwa kehidupan profesional dan pribadi dapat menjadi sekutu. Ketika kita mengalami emosi positif di salah satu peran kita, hal itu dapat mempengaruhi peran lainnya. Konsep work-family enrichment (pengayaan hubungan kerja dan kelurga) ini mendorong kita untuk mengintegrasikan sebanyak mungkin peran-peran kita yang berbeda, berdasarkan premis bahwa mereka dapat saling menguntungkan satu sama lain.

Baca juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Realitas Pascapandemi

Pandemi COVID-19 membuat segmentasi menjadi semakin sulit dilakukan. Selama periode ini, banyak dari kita yang mengalami pengaburan batas-batas antara pekerjaan dan rumah. Hal ini mendorong beberapa pakar hubungan pekerjaan-keluarga untuk menciptakan istilah baru: Kerja zigzag.

Menghadiri rapat kerja dengan anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka di meja yang sama atau duduk di pangkuan, atau menyiapkan makan malam sambil melakukan FaceTime dengan rekan kerja, sudah menjadi hal yang biasa. Beberapa orang bahkan cukup enggan untuk meninggalkan hal ini. Sebab, praktik ini tidak hanya membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih mudah diatur – beberapa orang merasa hal ini membawa perubahan radikal dan sifat manusiawi ke dunia kerja.

Meskipun masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan, ada kemungkinan integrasi yang berkepanjangan dan dipaksakan antara peran kerja dan keluarga dapat mendorong perlunya ideologi alternatif yang lebih berkelanjutan untuk bekerja di rumah.

Kita perlu beralih dari pemikiran bahwa pekerja harus mengabdi pada pekerjaannya atau pekerja ideal adalah mereka yang siap sedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Selama pandemi, banyak eksekutif senior melihat hal-hal yang belum pernah mereka alami sebelumnya, realitas kehidupan sehari-hari mereka sendiri saat mereka mencoba membantu anggota keluarga dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Keterpaparan yang dipaksakan dan berkepanjangan terhadap peran keluarga dan pekerjaan ini dapat mendorong pemikiran bahwa, selain bermanfaat dan produktif, berpartisipasi secara aktif dalam dinamika keluarga dan kegiatan operasional sehari-hari dapat memberikan manfaat emosional.

Hal ini juga dapat mendorong para manajer untuk lebih menghargai kehidupan pribadi rekan-rekan kerja mereka karena mereka telah mengalami secara langsung betapa sulitnya untuk mencoba mendapatkan semuanya sekaligus.

Mendapatkan semuanya – kemungkinan untuk mengalami kehidupan yang kaya di semua bidang – adalah tujuan yang sulit dicapai.

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Pertimbangan ini membuat beberapa ahli menambahkan sebuah kata sifat pada gagasan ini: “tidak sempurna”. Ini berarti kita harus menerima gagasan bahwa hidup kita bisa jadi tidak sempurna – terutama ketika kita tidak rela melepaskan apa pun.

Kuncinya adalah menerima gagasan ini dan mencari solusi dengan hanya berfokus pada kegiatan yang kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Misalnya, jika kita bukan koki yang hebat, seharusnya tidak masalah untuk membeli makanan di luar rumah pada saat dibutuhkan.

Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, melakukan pekerjaan sembari menjalani kehidupan pribadi kita dengan cara yang sehat dapat membantu kita menyalurkan emosi positif yang muncul dari pekerjaan yang terselesaikan dengan baik ke dalam kehidupan keluarga kita, dan sebaliknya. Namun, kita juga tidak dapat melihat adanya manfaat dalam menerima email pekerjaan yang menuntut perhatian kita saat sedang di rumah bersama keluarga.

Artinya, tumpang tindihnya satu peran dengan peran lainnya dapat bermanfaat jika dilakukan dengan cara yang sehat dan benar dan bukan dengan cara yang intrusif.

Dan di sinilah kesalahan serial TV tersebut (dan juga banyak perusahaan): Sistem manajemen batasan hanya efektif jika sesuai dengan preferensi individu seorang karyawan terhadap keseimbangan pekerjaan/keluarganya. Sebelum mengusulkan sebuah sistem manajemen, perusahaan harus memastikan bahwa sistem tersebut sesuai dengan preferensi para pekerjanya.

Kita tentu saja sudah tahu prosedur penghapusan pikiran dalam Severance tidak mungkin dilakukan dalam dunia nyata. Namun, mungkin kita juga menemukan, praktik severance nyatanya juga tak diinginkan.

Kita tidak akan kembali ke dunia yang memungkinkan adanya pemisahan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan – lebih baik kita bergerak menuju kenyataan yang menguntungkan kita daripada mempersulit kedua sisi kehidupan kita.

Marcello Russo, Full Professor of Organizational Behavior and Director of the Global MBA, Università di Bologna. Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Read More
Perempuan Bekerja dalam Islam

How Far Your Colleagues Affect Your Home Life and Vice Versa?

There are benefits to being part of a couple in which both are in paid work. A dual income brings, if not necessarily great wealth, at least an element of greater economic freedom, while the relationship can be a source of love and support. 

But such couples also face particular challenges related to their domestic set up and achieving a good work-life balance. There may be greater tension over who does what at home, whether that’s household chores or childcare, and whose career takes priority when it comes to progression, development and time. 

Such conflicts might seem to be part of the familiar distinction between home life and work life. But our new research suggests the two are more closely linked than we might think.

Baca juga: Partnering up Can Help You Grow—Here’s a Psychology of a Romantic Relationship

For example, we found that someone who benefits from a positive working environment with supportive colleagues, is likely to pass on those benefits to their partner at home. In the other direction, a loving relationship at home is likely to translate into greater dedication and creativity in the work place. 

Put more simply, if you’re happy at work, you’ll be happier at home, which in turn will make you better at your job.

We discovered this by studying the everyday experiences of 260 dual income heterosexual couples in the US over a period of six weeks, to understand how their home lives and work lives affected each other. The main goal of our research was to discover where people looked for support, and whether or not they found it. 

Previous studies had suggested that someone seeking to address conflicts between their work and home lives (such as asking for more flexible hours) would typically go to a manager or supervisor for help.

But our work revealed the importance of immediate colleagues in resolving such issues by providing vital support and advice. Indeed co-workers at a similar professional level can be seen almost as “work-spouses” for emotionally challenging times. 

They are the starting point of what we call a “gain spiral”, in which the benefits of a supportive relationship with colleagues then transfers to an employee’s home life, where they are subsequently shared with a partner. 

Baca juga: Not Everyone is Male or Female—the Controversy Over Sex Designation

Taking your work home with you

Essentially this means that employees take the support they receive from co-workers home with them, and in a loving relationship, transfer this support to their partners. This might mean they encourage them to open up about stresses, seek to resolve issues, or make improvements to how they juggle work and family life arrangements.

That support in a loving relationship causes partners to feel happier, more satisfied, and more positive about their own work, where they subsequently become more engaged and productive. Our research highlights the role of these two key relational “resources”: valued colleagues and loving partners. The two appear to be clearly linked and vital elements of a healthy work-life balance.

Baca juga:  Sexual Harassment at Work Harms Employment and Economy

So perhaps it might be time to re-evaluate your relationship with your colleagues. Rather than seeing them simply as people who share your workspace, think of them as people who have a significant impact on your home life too. (And you on theirs.) This is true whether you share a tightly spaced office or engage with them mostly online. 

And while we don’t think employers should meddle with their employee’s personal lives, they may be able to contribute to the quality of relationships at home by putting policies and procedures in place to minimise work-family conflict. This may include limiting excessive working hours and reducing expectations of responding to messages outside of work. They should also be aware that if colleagues get on well, everyone benefits – at work and at home.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Yasin Rofcanin is Reader and Associate Professor of Organisational Behaviour & Human Resource Management, University of Bath.

Jakob Stollberger is Associate Professor of Organisational Behavior, Vrije Universiteit Amsterdam.

Mireia Las Heras is Professor of Managing People in Organisations, IESE Business School (Universidad de Navarra).

Read More
Helping Men Get Work life Balance Can Help Everyone

Helping Men Get Work-life Balance Can Help Everyone

Women’s increased participation in the labour force over the past 50 years has outpaced changes to work organization and social attitudes. This is true for issues of work life balance, which continue to polarize workers and managers.

But work life balance and gender equality are not only women’s issues. They belong to men, too.

Times Are Changing

In 2001, the Australian Bureau of Statistics declared that the model of a male breadwinner with a wife at home looking after the family was no longer the Australian norm. Having more women in the workforce is certainly a good thing. Gender equality is not only a matter of social justice, but it has also been shown to create business benefits, when managed properly.

Of course, the increase in the number of women in paid employment, particularly mothers, and the changing composition of families over the past 50 years has made the organization of paid work and care more diverse and complex.

Also read: Work-life Balance: What Really Makes Us Happy Might Surprise You

Flexible work has been identified as a significant way for employees to balance their work and outside life. Flexible work entails a variety of measures that may include reduced hours, working from home, a compressed working week and taking time in lieu. Working flexibly can be beneficial for both employees and employers, such as through increased commitment and productivity, and reduced absenteeism.

But Our Thinking Hasn’t Really Changed

Yet despite these clear changes in family and work structure, those with caring responsibilities are marginalized in many workplaces. The “ideal worker” is still conceptualized as someone who works full-time and does not let outside responsibilities impinge on their work availability or duties. Australians work long hours, in places where being present and seen is still often equated with being productive.

This may be one reason why employees often have difficulty accessing flexible work. And where it is made available, working flexibly may still have career repercussions, since using such arrangements is often equated with a lack of career ambition, meaning flexible workers are overlooked for promotion. Indeed, flexible working in poor quality jobs may increase, rather than relieve, stress about work life balance.

Actually, Maybe Times Haven’t Changed So Much

Not surprisingly, research shows that women are more likely to request and be granted flexible work than men, particularly women with children, to accommodate their caring responsibilities. Women continue to do more unpaid household work than men, often doing a “second shift” of housework after paid work, though men are doing more work than in the past, particularly in relation to childcare. 

Plus, women working flexibly often experience “gendered trade-offs”, where career is sacrificed for care, stalling progress on workplace gender equality more broadly.

So Let’s Really Change The Way We Think

An article in The Conversation discusses the need to challenge how we perceive women and men’s roles in society, starting with how we talk to our children (and especially our boys).

Also read: ‘Work-Life Balance’ for Women – Is It Even Possible?

Similarly, to change our ingrained social and workplace attitudes, we need to assert the value of life outside work and normalize working flexibly for both women and men alike. A large part of this change therefore involves encouraging and helping more men achieve equilibrium between work and life, through flexible working arrangements.

The Australian Government Workplace Gender Equality Agency is encouraging this with its Equilibrium Challenge campaign. The first initiative of the campaign is the production of a series of micro-documentaries. The series follows the journeys of five corporate men embarking on flexible work arrangements. Each week features a new short episode about their pursuit of equilibrium between work and life, whether that entails spending more time with family, less time commuting, or just more time pursuing their dreams.

Increasing flexibility for men is not the entire answer to workplace gender inequality, but it is a necessary and often neglected piece of breaking down the norms and beliefs that impede our progress towards a more just and productive society. Conversations like those taking place in the Equilibrium Man Challenge make a promising start in challenging our preconceptions about work and workers, ultimately dismantling the illusory trade-off between career success and life outside work.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More