Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin
Dr. Ines Atmosukarto menolak dipanggil “doktor” dan meminta disebut sebagai “mbak” saja. Padahal panggilan doktor itu merupakan penghormatan kami kepada perempuan ilmuwan hebat yang sangat rendah hati tersebut.
Ines Atmosukarto adalah peneliti vaksin dan doktor di bidang Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Adelaide Australia, tempat ia menempuh pendidikan S1 sampai S3. Ia kini menjadi CEO perusahaan Australia, Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan teknologi vaksin, objek yang menjadi pusat perhatian seluruh dunia saat ini.
Ines Atmosukarto merupakan perempuan ilmuwan Indonesia pertama, dan satu dari lima ilmuwan dunia yang menerima UNESCO L’Oreal Fellowship for Women in Science pada 2004. Ketertarikannya pada sains didapat dari keluarga yang berlatar belakang sains.
“Baik bapak, ibu, dan kakek dari pihak ibu, pendidikan mereka semua memang berbasis sains. Dari sejak kecil saya dan adik-adik saya juga dididik untuk melihat segalanya dengan fakta, ilmu pasti. Jadi, mungkin itulah kenapa saya akhirnya ke bidang sains,” kata Ines Atmosukarto, dalam wawancara untuk podcast “Magdalene’s Mind” (8/3).
Kini, dengan semakin luasnya dan cepatnya persebaran informasi mengenai vaksin, Ines pun ikut turun tangan dalam mengedukasi masyarakat.
“Kita membutuhkan lebih banyak suara yang bisa menyampaikan informasi ilmiah terkini dengan cara yang mudah dipahami,” kata Ines Atmosukarto mengenai vaksin dalam episode podcast
Inisiatif ini datang dari kesadaran Ines bahwa ilmuwan seperti dirinya masih harus belajar banyak, terutama mengenai ranah sosial di mana wacana tentang COVID-19, penyakit, dan vaksin masih terus mengalir.
Usahanya di bidang sains pun tidak berhenti di situ, Ines Atmosukarto juga memulai program-program fellowship dengan L’Oreal untuk perempuan muda Indonesia. Bagaimana pandangan Ines mengenai minimnya partisipasi perempuan di dunia penelitian dan sains pada umumnya? Berikut kutipan obrolan Dr. Ines bersama Devi Asmarani dan Hera Diani di episode bonus “Magdalene’s Mind” ini.
Magdalene: Sebagai ilmuwan yang telah lama bekerja di bidang teknologi pengembangan vaksin, bisa dijelaskan proses pembuatan vaksin itu bagaimana? Dan berapa lama prosesnya hingga vaksin itu siap digunakan?
Dr. Ines Atmosukarto: Secara tradisional, proses pengembangan vaksin itu sebenarnya membutuhkan waktu yang lama, sekitar 10 hingga 15 tahun. Vaksin untuk pandemi ini memegang rekor waktu pengembangan tercepat, sekitar 12 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena investasi yang besar dari berbagai pihak, yang mempercepat waktu pengembangan serta tahapan pengujian.
Dari sudut pandang seorang peneliti, ketika mencari dukungan dan kerja sama dari perusahaan farmasi, vaksin itu bukan produk yang dianggap menarik. Karena pada dasarnya, vaksin selalu diusahakan untuk dijual dengan harga murah agar cakupannya luas. Vaksin juga produk pencegahan yang dengan sekali pakai diharapkan penggunanya akan sembuh. Jadi dari sudut pandang model bisnis, sebenarnya ini bukan produk yang bagus untuk perusahaan.
Menurut Dr. Ines Atmosukarto Tantangan terbesar dalam bekerja di start-up biotek adalah meyakinkan investor bahwa berinvestasi di bidang vaksin itu penting. Jadi, secara tidak langsung, pandemi ini turut membantu meyakinkan mereka betapa pentingnya vaksin.
Read More