ketua osis perempuan

Budaya Patriarkal, Konservatisme Agama Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Tahun lalu, ketika ada pemilihan ketua Organisasi Intra Sekolah (OSIS) di sebuah SMA negeri di Kabupaten Garut, Jawa Barat, “Nadhifa” memberanikan diri untuk maju menjadi calon ketua. Ia memiliki pengalaman menjadi pengurus OSIS selama setahun dan prestasi akademiknya juga baik.

Namun, ia kemudian memutuskan mundur karena dua kandidat lain adalah laki-laki dengan citra cukup bagus dan dikagumi banyak murid. Nadhifa merasa pencalonannya akan sia-sia karena hampir tidak pernah ada murid perempuan yang menjadi ketua OSIS di sekolahnya. Nilai-nilai agama di sekolahnya masih sangat kental sehingga banyak yang percaya laki-laki lebih baik untuk memimpin.

“Akhirnya saya enggak jadi nyalon, karena saya pesimis. Walaupun teman-teman enggak langsung ngomong ke saya, tapi mereka suka ngasih kode kalau pemimpin tuh baiknya laki-laki. Padahal, saya juga sudah jadi pengurus OSIS hampir setahun,” ujar perempuan berumur 16 tahun itu kepada Magdalene.

Qurrota Ayyun yang bersekolah di SMA swasta berbasis Islam lebih beruntung. Ia terpilih menjadi ketua OSIS di SMA IT Adzkia Sukabumi, Jawa Barat, setelah mengalahkan kandidat laki-laki dan perempuan. Ia menjadi perempuan kedua yang terpilih menjadi ketua OSIS di sekolahnya, setelah tahun-tahun sebelumnya kursi kepemimpinan itu selalu diisi oleh laki-laki.

Menurutnya, keberhasilannya itu bisa terjadi karena sekolahnya masih baru, jumlah siswa yang sekolah masih terbatas, sehingga pemilihan kandidat calon ketua OSIS pun dipilih atas musyawarah guru, bukan inisiatif siswanya.

“Dari catatan pemilihan sebelumnya, biasanya memang yang laki-laki suka dapat suara tinggi. Tahun kemarin yang terpilih juga laki-laki karena satu kandidat lagi teman saya (perempuan) justru enggak mau jadi ketua OSIS karena merasa enggak layak,” ujar Qurrota kepada Magdalene.

Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi

Konservatisme Agama di Sekolah Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Kurangnya kepercayaan diri dan narasi bahwa laki-laki lebih baik sebagai pemimpin seperti yang dialami Nadhifa dan teman Qurrota masih menjadi hambatan bagi perempuan sejak di level sekolah. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah saja, Jakarta sebagai kota metropolitan yang paling plural pun masih menghadapi masalah yang sama.

Hasil penelitian Sri Wahyuningsih dari Universitas Negeri Jakarta yang bertajuk Gaya Kepemimpinan Perempuan (Studi Pada Ketua OSIS di SMA Se-Jakarta Timur), menunjukkan pada 2014, dari 123 SMA di Jakarta Timur hanya 32 sekolah yang mempunyai pemimpin OSIS perempuan. Sri mengambil data dari 40 SMA Negeri dan 83 SMA swasta. Perempuan yang menjadi ketua OSIS di sekolah negeri menjadi yang paling sedikit angkanya.

Minimnya representasi perempuan sebagai pemimpin di sekolah juga ditemui Program Manager Girls Leadership Academy dari Yayasan Plan Indonesia, Lia Toriana. Dalam berbagai program pelatihan kepemimpinan bagi siswi SMA yang dijalaninya, Lia mengatakan bahwa selain nilai patriarkal yang menciutkan rasa percaya diri perempuan, konservatisme agama di sekolah yang semakin meningkat menjadi penghambat besar lainnya yang harus dihadapi perempuan.

“Kalau sekolah swasta, apalagi yang sudah berstandar nasional itu biasanya lebih terbuka. Sekolah negeri justru yang titipan nilai-nilai agamanya cukup kental. Narasi agama yang mendorong ketua OSIS itu seharusnya laki-laki karena laki-laki adalah imam itu masih banyak ditemukan,” ujar Lia kepada Magdalene.

Selain itu, ia juga menemukan kecenderungan pemilihan kandidat ketua OSIS yang dikuasai oleh agama mayoritas, misalnya, kandidat yang berasal dari kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) cenderung lebih mendapatkan suara tinggi dibanding kandidat lainnya.

Menurut Lia, implikasi dari iklim pemilihan yang hanya didominasi oleh kelompok agama tertentu bisa memicu intoleransi tidak hanya bagi perempuan, tapi juga kelompok minoritas lainnya. Dalam kasus SMAN 6 Depok, misalnya, seorang siswa non-muslim yang terpilih menjadi ketua OSIS harus rela mundur karena sebagian pihak yang keberatan karena dirinya non-muslim, ujarnya.

Baca juga: Guru BK Berperan Penting dalam Mendeteksi Depresi Siswa

Oktober lalu, sebuah tangkapan layar menjadi viral karena menunjukkan pesan dari seorang guru yang mengajak muridnya untuk tidak memilih kandidat ketua OSIS non-muslim di grup Rohis SMA Negeri 58 Jakarta.

“Padahal kan itu sebuah kemajuan ya kalau misal ada dari non-muslim yang terpilih. Tapi akhirnya banyak yang mundur karena ada tekanan di dalam sekolah itu. Jadi memang ada hambatan pola relasi masyarakat yang masih didominasi oleh masyarakat dengan moral-moral komunal atas nama budaya dan agama,” tambah Lia.

Peran Guru BK dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Sekolah

Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan perkembangan siswa, guru punya andil penting dalam mendorong siswa untuk lebih berani bersuara dan maju menjadi pemimpin. Hal ini dibenarkanoleh Qurrota.

Kendati begitu, ia mengatakan peran guru itu seperti dua sisi mata uang, bisa jadi pihak yang meningkatkan kepercayaan diri perempuan, bisa juga jadi pihak yang mematikan potensi mereka, ujarnya.

“Makanya perlu banget didorong oleh guru karena mereka bisa meningkatkan kepercayaan diri siswa-siswanya. Banyak yang maju karena ditekan sama gurunya, banyak juga yang mundur karena tekanan,” ujar Qurrota.

Lia menambahkan, hal itu bisa terjadi karena tidak semua guru punya pemikiran yang sama dalam melihat kepemimpinan perempuan, ada guru yang mendukung ada juga yang tidak, ujarnya. Namun, karena alasan itu pula peran guru bimbingan dan konseling (BK) menjadi krusial untuk mendorong siswi semakin proaktif dalam mendalami nilai-nilai kepemimpinan, tambahnya.

“Guru BK ini kan bukan pihak yang memberi nilai akademik ya, tapi lebih pengembangan dan potensi, jadinya cukup besar sekali peran mereka. Beberapa kali kesempatan kita kerja sama dengan OSIS SMA itu pasti lewat guru BK, jadi mereka yang mencari bakat-bakat kepemimpinan perempuan,” ujar Lia.

Baca juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Dalam hasil penelitian Sri Wahyuningsih juga disebutkan bahwa guru BK berperan memfasilitasi siswi perempuan yang mempunyai peluang atau keinginan untuk menjadi pemimpin, tak hanya di OSIS, tapi di berbagai bidang organisasi sekolah.

“Guru BK bisa jadi pintu gerbang perempuan untuk menjadi pemimpin, mereka harus mampu memfasilitasi siswa dengan informasi, penempatan dan penyaluran bakat dan minat,” tulis Sri.

Peran Orang Tua untuk Mendorong Anak Perempuan Jadi Pemimpin

Selain keterlibatan sekolah dalam mendorong siswa perempuan untuk menjadi pemimpin, orang tua juga punya peran penting untuk mengajarkan anak tentang nilai kepemimpinan sedari dini. Namun, menurut Lia, di banyak kasus, orang tua sekarang ini cenderung memilih sekolah untuk anak yang sesuai dengan ideologi dan kepercayaan mereka.

“Misalnya, ada orang tua yang memilih sekolah eksklusif berbasis Islam atau mungkin juga sekolah Kristen. Itu kan bentuk resonansi dari orang tua untuk menjaga iman dan takwa si anak di sekolah. Sedangkan, unsur-unsur apakah nilai kepemimpinan diajarkan di sekolah itu jarang dipertimbangkan orang tua,” ujar Lia.

Hal tersebut, tambahnya, diperparah dengan pola pikir orang tua yang tak jarang menyerahkan semua beban pendidikan kepada pihak sekolah saja. Padahal, hampir sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah. Peran gender normatif yang masih diberlakukan di rumah, misalnya, secara tidak langsung menjadi salah satu yang membentuk pola pikir anak.

Most of the time ayah yang biasanya ambil keputusan dan wejangan, sedangkan ibu ya dilihatnya sebagai sosok yang ada di dapur masak, atau enggak begitu punya power untuk ambil keputusan. Hal itu yang membuat mereka enggak dapat inspirasi bahwa mereka bisa mengambil keputusan dan jadi pemimpin. Mereka enggak punya contoh itu di keseharian,” kata Lia. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More
Guru hapus stereotip gender

Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Di banyak bidang pekerjaan, mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kesehatan, birokrasi, hingga macam-macam industri, perempuan masih kerap tertinggal dari laki-laki dalam hal kepemimpinan.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya bagaimana pendidikan mengenai peran gender dan kepemimpinan ditanamkan oleh masyarakat sejak seseorang masih kanak-kanak.

Keluarga adalah Pendidik Pertama

Sebagai unit terkecil masyarakat dan terdekat bagi seorang anak, keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran penting dalam menanamkan pendidikan mengenai peran gender yang setara; bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bisa punya cita-cita atau terjun dan memimpin di bidang apa pun.

Pendidikan mengenai peran gender ini dapat diterapkan orang tua mulai dari hal-hal sederhana sesuai kemampuan kognitif anak pada usianya. Misalnya terkait mainan, sikap kritis orang tua untuk tidak langsung membedakan mana mainan untuk laki-laki (seperti robot, mobil, bola) dan mainan untuk perempuan (boneka, alat masak, alat dandan) berpengaruh terhadap persepsi anak mengenai apa yang wajar dan tak wajar dilakukan orang-orang berjenis kelamin sama dengannya.

Demikian juga terkait peminatan terhadap bidang tertentu. Menurut penulis Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that’s Dividing the Workplace, Kim Elsesser, orang tua atau guru kerap menyetir anak untuk masuk atau tidak masuk ke bidang tertentu sesuai stereotip gender yang ada.

“Anak laki-laki misalnya, lebih didorong dibanding perempuan untuk menguasai bidang sains dan Matematika, bidang yang menghasilkan uang lebih banyak,” kata Elsesser dalam Forbes.

Dorongan dan kesempatan lebih besar bagi laki-laki untuk menguasai bidang-bidang tertentu dan lantas mendatangkan penghasilan lebih tinggi tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa laki-lakilah yang kelak memimpin keluarga dan menjadi pencari nafkah utama.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

“Karena itu, laki-laki akan diutamakan dalam pendidikan. Jika sebuah keluarga memiliki dana yang terbatas, maka keluarga tersebut akan mengutamakan anak laki-laki untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi karena dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya,” kata Niken Savitri, pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender Indonesia, seperti dikutip dalam laman Pusat Informasi Pembelajaran Unpar.

Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan, banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau sama seperti pasangannya, terjun banyak ke ranah publik. Hal seperti ini perlu dipandang sebagai hal yang wajar alih-alih sesuatu yang harus disalahkan dari perempuan.

Bahkan menurut Nadia Sarah, seorang entrepreneur dan founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, terjunnya perempuan di dunia profesional bisa menjadi hal positif dalam mendidik anak.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

Dalam interaksi sehari-hari pun, berbagai hal yang dikaitkan dengan sifat perempuan atau laki-laki ideal dapat dikritisi kembali dalam keluarga untuk menggeser stereotip gender dan mendukung kepemimpinan perempuan. Sebagai contoh, sifat ambisius yang dirasa wajar dipunyai laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, dalam wawancara dengan Magdalene untuk podcast “How Women Lead”.

Peran Guru Hapus Stereotip Gender dalam Kepemimpinan Anak Perempuan

Sebagaimana orang tua, guru juga dapat mendorong kepemimpinan anak perempuan lewat berbagai contoh dan respons dalam keseharian.

Dalam tulisan bertajuk “How schools can encourage girls to be leaders – from day one” di situs Ark, Kepala Deputi bidang Pengajaran, Pembelajaran, dan Kurikulum di Ark Greenwich Free School, Inggris Laura Yandell menjabarkan hasil risetnya mengenai kepemimpinan di kalangan siswi. Salah satu hal menarik dari temuannya adalah pendapat para siswi yang merasa jarang menemukan perempuan pemimpin, terlebih sebagai kepala sekolah perempuan.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

“Ini mendorong mereka merasa bahwa menjadi pemimpin adalah suatu tantangan bagi perempuan dan akhirnya mereka berkecil hati untuk bisa seperti itu kelak,” tulis Yandell.

Tidak hanya di Inggris, situasi kepala sekolah perempuan yang lebih sedikit juga ditemukan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Dalam studi yang dilakukan peneliti dari INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, meski kinerja guru perempuan mengungguli guru laki-laki, hanya 30 persen perempuan di SD dan 13 persen di madrasah yang menjabat kepala sekolah.

Mengubah representasi macam ini tentu tidak mudah dan sebentar. Namun, para pendidik di sekolah tetap dapat mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan lewat cara mereka berinteraksi dengan murid dan menyampaikan konten-konten pelajaran.

Dalam sebuah tulisan di Magdalene, seorang guru menceritakan pengalamannya melihat murid yang menerapkan stereotip gender dalam kesehariannya. Contohnya tentang anggapan anak laki-laki tidak boleh menangis. Alih-alih langsung menegur dan mencekoki muridnya dengan materi kesetaraan gender yang rumit, sang guru memilih pendekatan berdialog dengan bahasa yang mudah mereka terima. Ia menyatakan bahwa menangis adalah hal yang normal dan sehat bagi setiap orang sehingga menangis bagi laki-laki bukan pertanda ia lemah.

“Sebagai guru, saya percaya bahwa kita [para guru] punya peran penting dalam mendidik para murid di luar hal akademis. Bila hal-hal seksis seperti ini tetap dibiarkan, itu akan mendorong masalah lebih besar yang kita hadapi sekarang yakni patriarki,” tulisnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Sementara terkait konten pelajaran, Niken dari Unpar mengatakan, kerap kali guru meneruskan materi berstereotip gender yang dibentuk masyarakat dan ini perlu direkonstruksi.

“Di sekolah dasar, misalnya, ditanamkan pola: ibulah yang pergi ke pasar sedangkan ayah pergi ke kantor. Pilihan jurusan di universitas atau kepanitiaan mahasiswa juga (biasanya perempuan menjadi seksi konsumsi sedangkan laki-laki di bagian logistik) tidak terlepas dari konstruksi masyarakat atas gender,” kata Niken.

“Karena gender merupakan konstruksi budaya, maka pandangan tentang gender yang bias harusnya bisa direkonstruksi. Di sinilah pendidikan berperan sangat besar untuk mengubah pola dan persepsi tersebut.”

Upaya lain yang dapat dilakukan guru hapus stereotip gender adalah dengan menyoroti kontribusi-kontribusi penting para perempuan di berbagai spektrum akademis, serta menyebutkan tokoh-tokoh perempuan pemimpin dari mancanegara yang patut jadi panutan. Dengan melakukan ini, para guru bisa membantu murid-muridnya mematahkan persepsi negatif tentang perempuan dan anak perempuan dalam kepemimpinan.

Selain itu, penting pula bagi guru untuk mengajak murid untuk mengkritik pola pikir kaku di sekolah serta menantang ekspektasi sosial yang meminggirkan peran perempuan di bidang-bidang tertentu. Yandell mencontohkan, dalam cerita tentang Marie Curie, ilmuwan peraih Nobel bidang Kimia dan Fisika, kerap digambarkan bahwa capaiannya adalah hal langka dan “tidak normal” didapatkan seorang perempuan.

“Perempuan panutan seperti Marie Curie yang dipelajari oleh para siswi dikenal sebagai pemberontak dan mereka mencapai sesuatu karena mereka tidak mengikuti ekspektasi sosial. Ini sangat berbeda dengan banyak pelajaran di sekolah yang sangat mendorong para murid untuk selalu mengikuti aturan dan ekspektasi sosial,” ungkap Yandell.

Read More