Gaya Kepemimpinan Feminis

SOS Children’s Villages Indonesia Dukung Pekerja Perempuan, Serius Tangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kesempatan perempuan Indonesia untuk berpendidikan tinggi dan masuk dunia profesional kian meningkat. Badan Pusat Statistik melaporkan, pada 2018 terdapat 47,95 pekerja perempuan dan angkanya naik menjadi 48,75 juta orang pada tahun berikutnya.   

Akan tetapi, pekerja perempuan masih harus menghadapi banyak hambatan dalam menjalani kariernya karena minimnya kebijakan ramah perempuan yang diterapkan di kantor-kantor. Tidak jarang kita mendengar pekerja perempuan yang kesulitan untuk mendapatkan izin cuti haid, mempunyai jam kerja fleksibel, atau mengakses kesempatan berkembang dan menduduki berbagai posisi strategis di perusahaan seperti laki-laki.

Hanya sebagian kecil pekerja perempuan yang tidak menemukan kendala-kendala seperti tadi, di antaranya adalah mereka yang bekerja di kantor SOS Children’s Villages Indonesia, sebuah organisasi nonprofit di bidang pengasuhan alternatif berbasis keluarga untuk anak-anak yang berisiko atau telah kehilangan pengasuhan orang tua.

Baca juga: Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

Profil SOS Children’s Village Indonesia terkait kebijakan kantornya yang ramah perempuan menarik perhatian para juri kompetisi video #KantorDukungPerempuan yang diselenggarakan Magdalene bekerja sama dengan Investing in Women, sebuah inisiatif pemerintah Australia. Public Relations and Communications Executive.SOS Children’s Villages Indonesia Astridinar V. Elderia yang mengirimkan video tentang kantornya itu akhirnya diumumkan sebagai pemenang pertama kompetisi tersebut dalam acara Women Lead Forum 2021 #KantorDukungPerempuan pada 7 dan 8 April lalu.  

Penerapan Kebijakan Ramah Perempuan di Kantor

Astridinar mengatakan, kantornya menyediakan ruang istirahat untuk ibu hamil dan menyusui, bahkan memperbolehkan untuk membawa anak-anak. Fleksibilitas jam kerja juga diterapkan bagi perempuan hamil dan menyusui.

“Mereka cukup bisa ‘bernapas’. [Sebelum pandemi] seorang teman di divisi saya hamil dan dan perlu memeriksakan diri  ke dokter. Akhirnya pada hari itu, dia bekerja dari rumah dan itu enggak dipotong cuti tahunan,” kata perempuan berusia 25 tahun ini kepada Magdalene melalui telepon.

Pemenang kompetisi kantor dukung perempuan ini menjelaskan, kantornya juga membuka kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan karier. Peluang mendapatkan promosi jabatan selalu diumumkan ke semua pegawai.  

“Kalau ada training, informasi ini disebar kepada semua pegawai. Melalui e-mail, kami juga mengumumkan kesempatan bagi siapa pun untuk naik jabatan melalui prosedur rekrutmen internal. Bagi yang berminat, mereka bisa mengikuti tes,” ujar Astridinar.

“Belum lama ini ada salah satu manajer kami yang akan pindah dan anak buahnya sudah mengetahui hal ini. Yang mengundurkan diri laki laki, dan yang akan naik [jabatan] adalah seorang perempuan,” tambahnya.

SOS Children’s Villages Indonesia memiliki 467 pekerja dan 60 persennya adalah perempuan. Lembaga ini juga diperkuat para perempuan yang bertugas sebagai ibu asuh bagi anak-anak yang tinggal di SOS villages.

“Kekuatan kami ada pada ibu-ibu ini. Kami sangat mengedepankan para perempuan sehingga kami membangun support system bagi mereka. Core business kami melibatkan ibu-ibu, jadi wajar mereka lebih diistimewakan,” kata Direktur Nasional SOS Children’s Villages Indonesia Gregor Hadi Nitihardjo melalui Zoom.  

Serius dalam Penanganan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Tidak hanya membuat kebijakan kantor ramah perempuan, SOS Children’s Villages Indonesia juga berupaya memastikan tempat kerjanya bebas dari kasus pelecehan seksual.

Upaya ini dilakukan mengingat maraknya kasus tersebut di berbagai kantor. Dalam salah satu survei Never Okay Project pada November-Desember 2018 lalu, disebutkan bahwa 94 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Sayangnya, meski kejadian seperti ini marak, masih sedikit kantor yang mempunyai standard operational procedure (SOP) penanganan kasus pelecehan seksual. Padahal, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 membuat aturan bahwa lingkungan kerja harus merumuskan mekanisme pencegahan kekerasan seksual.

Sejak 2012, SOS Children’s Villages Indonesia memasukkan pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk pelanggaran peraturan kerja. Lahirnya prosedur penanganan pelecehan seksual ini terinspirasi dari mekanisme penanganan kekerasan terhadap anak yang telah ada sejak lama.

Berdasarkan kebijakan departemen sumber daya manusia (SDM) di organisasi ini, beberapa hal yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual di antaranya adalah “melontarkan lelucon berbau seksual”, “tuntutan atau permintaan pelayanan seksual (permainan orang yang mempunyai otoritas dalam menawarkan kenaikan/promosi, dengan imbalan pelayanan seksual)”, “panggilan telepon/SMS/surat/e-mail yang bermuatan seksual”, dan “gerakan tubuh dan sikap yang tidak senonoh”.  

Jika seorang pekerja menjadi korban pelecehan seksual dan tak berani menegur langsung pelakunya, dia dapat menyampaikan keluhan kepada departemen SDM melalui penyelia yang bersangkutan.

Bagi Astridinar, prosedur penanganan ini penting untuk melindungi para pekerja.

“Awalnya saya pikir SOP ini ada di setiap kantor. Ada teman di kantor lain bercerita bahwa kalau mau naik jabatan, dia harus dekat dengan atasan dan atasannya ‘kurang ajar’. Dia enggak tahu mau ngomong ke siapa,” tutur Astridinar.  

“Meskipun saya tak pernah mengalami hal seperti itu, adanya SOP ini membuat saya tahu saya bisa lapor ke mana,” ujarnya.

Kendati telah delapan tahun memiliki prosedur ini, pihak kantor terus-menerus mengingatkan pekerjanya mengenai pentingnya tempat kerja yang bebas dari kekerasan seksual.  

“Kesadaran [mengenai pentingnya hal ini] dibangun sampai sekarang. Kalau ada karyawan baru, kami juga menyosialisasikannya,” kata Hadi dari SOS Children’s Villages Indonesia.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

Hadi juga mengatakan bahwa lembaganya membangun mekanisme agar laporan dapat ditangani secara cepat.

“Andaikan ada seseorang yang mengirimkan SMS dari nomor yang tidak saya kenal  [untuk mengadukan kasus kekerasan seksual], baik anonim atau tidak, saya harus meresponnya,” ujarnya.   

Keseriusan SOS Children’s Villages Indonesia dalam menyikapi perkara pelecehan seksual di tempat kerja terlihat dari dibentuknya investigator internal yang telah terlatih untuk menangani kasus seperti ini. Organisasi ini juga memiliki prosedur untuk melaporkan petinggi yang menjadi pelaku pelecehan seksual.

“Jika seorang petinggi melakukannya, ada sistem pelaporannya juga. Hanya saja mekanismenya berbeda. Orang-orang tahu bahwa sistem itu ada dan karena itu, keteladanan leader menjadi sangat penting,” kata Hadi.

Read More

Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah hal langka yang kita dengar. Tetapi, sering kali korban-korbannya tidak melaporkan pelecehan yang mereka alami pada saat kejadian.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di Australia (AHRC) pada 2018 mengenai pelecehan seksual di Australia menemukan bahwa sebagian besar pelecehan seksual terjadi di tempat kerja. Sebagai contoh, di industri media dan telekomunikasi, 81 persen pekerjanya dilaporkan mengalami pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir.

Sementara, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewan Balai Perdagangan Victoria (VTHC) di tahun 2016 menemukan sebesar 64 persen responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya.

Di Australia, sebagian besar pelecehan seksual di tempat kerja tidak dilaporkan. Survei AHRC menemukan bahwa hanya 17 persen orang yang pernah mengalami pelecehan seksual membuat pengaduan resmi.

Mengapa Korban Pelecehan Seksual di Kantor Tak Melapor?

Mereka yang mengalami pelecehan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa menyatakan bahwa mereka merasa hal tersebut akan dilihat sebagai reaksi yang berlebihan. Beberapa juga melihat bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk diam.

Sebuah survei pada tahun 2017 terhadap pekerja di industri media dan seni menemukan bahwa sebagian besar orang enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena takut melukai karier mereka. Studi VTHC menemukan 19 persen dari perempuan yang pernah mengalami pelecehan meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa tidak aman di tempat kerja. Dengan kata lain, mereka lebih suka meninggalkan tempat kerja yang berisiko daripada mengambil langkah-langkah untuk memastikan kasus pelecehan tidak terjadi lagi.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh mereka yang menyaksikan untuk menghentikan pelecehan seksual. Hampir 70 persen mereka yang menyaksikan terjadinya pelecehan atau mereka yang sadar akan pelecehan tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pelecehan tersebut atau mengurangi dampak negatif yang dihasilkan.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Akar Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Maraknya pelecehan seksual di tempat kerja menunjukkan sebuah budaya di mana kekerasan berbasis gender telah dianggap sebagai suatu hal yang normal. Hal ini juga tentunya menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidaksetaraan gender baik di tempat kerja maupun secara umum.

Ketidaksetaraan gender di tempat kerja mencerminkan bahwa hal tersebut ada dan nyata di masyarakat. Sikap dan perilaku seksis yang mengarah kepada kekerasan di luar pekerjaan tidak berhenti sebatas gerbang pabrik atau pintu keluar kantor.

Our Watch, sebuah badan nasional Australia yang bergerak di pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan gender berada di tengah-tengah berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan Australia di rumah mereka, dalam hubungan personal mereka dan di dalam komunitas yang lebih luas.

Riset yang dilakukan oleh Our Watch mendokumentasikan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan:

  • Normalisasi kekerasan terhadap perempuan;
  • Kontrol pria terhadap pengambilan keputusan dan batasan untuk independensi perempuan;
  • Konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas;
  • Rasa tidak hormat terhadap perempuan; dan
  • Hubungan teman sebaya pria yang menekankan agresi. Pemicu ini tercermin dalam struktur dan budaya tempat kerja.

Dalam sebuah artikel ilmiah yang saya tulis bersama kolega saya, Sally Weller dan Tom Barnes, kami berpendapat bahwa peraturan di tempat kerja yang dirancang untuk melindungi perempuan tidak efektif karena peraturan tersebut gagal menjawab masalah ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan.

Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan termasuk juga ketidaksetaraan upah berbasis gender, kerugian, dan diskriminasi karena tanggung jawab perempuan untuk merawat keluarganya, dan sebagai korban kekerasan berbasis gender.

Pada akhirnya, ketidaksetaraan ini merusak kapasitas perempuan untuk mengajukan keluhan, merampas hak pilihan dan suara mereka dan menciptakan rasa tidak aman. Tanpa kapasitas untuk mengajukan keluhan dan menuntut hak-hak mereka, hak-hak ini tidak dapat terealisasi. Karena itu, setiap strategi yang dirancang untuk mengakhiri pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan gender di tempat kerja harus membahas struktur dan budaya ketidaksetaraan dan seksisme yang ada.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Bagaimana Mengatasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja?

Langkah pertama yang penting adalah pengakuan perusahaan bahwa ada masalah ketidaksetaraan gender di kantor mereka. Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terdokumentasi, akan sangat membantu jika pengusaha memulai dengan mengakui bahwa kekerasan gender mungkin ada di organisasi mereka.

Penerimaan ini akan mempromosikan pendekatan proaktif untuk mengatasi faktor-faktor yang mendorong kekerasan daripada pendekatan reaktif saat ini yang melihat mereka menangani keluhan ketika korban maju. Mengubah peraturan di tempat kerja untuk memastikan bahwa organisasi memiliki tugas untuk menghilangkan risiko kekerasan gender akan memperkuat ini. Namun, perubahan struktur, perilaku dan sikap yang mendorong ketimpangan juga penting.

Gerakan serikat buruh Victoria telah mengembangkan strategi yang komprehensif untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Program mereka berfokus pada, salah satunya adalah, penerapan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan gender.

Pertama-tama, mereka memasukkan masalah kekerasan berbasis gender ke bidang kesehatan dan keselamatan, mewajibkan WorkSafe–semacam BPJS di Victoria, Australia–untuk menjadi lebih aktif mengidentifikasi dan memberantas risiko terjadinya kekerasan berbasis gender.

Kedua, serikat buruh Victoria membangun jalur pengaduan kolektif pelecehan seksual dan kekerasan gender ke hadapan komisi pekerja yang adil melalui penjaminan hak-hak mereka dalam perjanjian bersama.

Akhirnya, serikat buruh Victoria juga membahas seksisme dan meningkatkan kapasitas gerakan serikat pekerja untuk proaktif dalam ruang ini dengan mengadopsi program pendidikan komprehensif untuk perwakilan kesehatan dan keselamatan, delegasi serikat pekerja dan pejabat serikat pekerja.

Sistem hukum untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja bergantung pada pengaduan orang-orang yang telah mengalami pelecehan. Jika mereka tetap enggan melapor, tidak akan ada banyak perubahan. Untuk perubahan nyata, kita harus mengatasi penyebab mendasar pelecehan seksual dan kekerasan gender yaitu masalah ketidaksetaraan gender.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.Lisa Heap adalah Adjunct Professor di Institute of Religion, Politics and Society, Australian Catholic University. Ia juga merupakan anggota Dewan Menteri Pemerintah Victoria untuk Kesetaraan perempuan. Antara 2015 dan Januari 2018 Lisa memimpin unit Hak dan Keselamatan perempuan di Victorian Trades Hall Council (VTHC). Saat ini ia adalah kandidat Phd di RMIT University.

Read More