ilmuwan perempuan muslim

5 Ilmuwan Perempuan Muslim yang Sangat Berpengaruh di Dunia

Terlahir menjadi seorang perempuan tidak jadi batu sandungan untuk menciptakan suatu karya yang berkesan untuk dunia. Contohnya adalah para ilmuwan perempuan muslim berikut ini.

Mereka sangat pintar dan berani sehingga bisa melahirkan sesuatu yang mengubah dunia. Kesuksesan mereka tersebut membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa menjadi ilmuwan dan berperan dalam memajukan peradaban, tetapi perempuan juga. 

Yuk kita bahas lebih dalam mengenai ilmuwan  perempuan muslim yang sangat berpengaruh di dunia, dirangkum dari berbagai sumber berikut ini.

1. Ilmuwan Perempuan Muslim yang Ahli Matematika: Sutayta al-Mahamali

Sutayta merupakan nama ilmuwan muslim, yang merupakan seorang ahli Matematika abad ke-10. Ia sangat pintar dalam bidang aljabar. Kepandaian Sutayta dalam bidang Matematika tidak cuma didapatkanya dari sang ayah, Abu Abdallahal-Hussein. Sutayta juga memperoleh ilmu Matematika dari beberapa ahli Matematika pada zaman itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omarbin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafirbin Salamah al-Homsi.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Tidak hanya mahir di bidang tersebut, faktanya Sutayta al-Mahamali merupakan sosok perempuan yang punya pengetahuan yang sangat luas. Misalnya, ia memiliki keahlian dalam bidang hadis dan syariah. Tapi dari semua kelebihan yang ia miliki, ia lebih populer sebagai pakar matematika, khususnya aritmatika. Aritmatika adalah cabang ilmu Matematika yang mendalami bilangan bulat positif lewat penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada zaman tersebut, aritmatika menjadi cabang Matematika yang berkembang cukup baik, dan Sutayta menjadi salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sukses menemukan solusi sistem persamaan dalam Matematika. Keberhasilannya ini ternyata banyak berkontribusi terhadap pengembangan ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan Matematika lainnya.

2. Dr. Bina Shaheen Siddiqui

Prof. Dr. Bina Shaheen Siddiqui lahir di Pakistan pada tanggal 02 Februari 1948 dan merupakan ilmuwan perempuan muslim yang juga punya banyak kontribusi. Ia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Pakistan pada tahun 2001. Ia juga berhasil mendapatkan 12 paten, termasuk konstituen antikanker.

Mungkin kamu masih ada yang belum mengenalnya, namun hasil dari kerjanya sudah dipakai di seluruh dunia. Biarpun beliau lahir bukan dari keluarga kaya, ia sukses mendapatkan titel doktor (S3) dan sekarang ini ia dipercaya buat memegang jabatan sebagai Profesor HEJ Research Institute of Chemistry.

Baca Juga: Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Bina produktif dalam membuat riset di bidang pertanian serta obat-obatan. Karena itu, dalam tiga dekade terakhir ini, ia sangat banyak memperoleh penghargaan atas kinerja ilmiahnya itu.

3. Mariam Al-Ijiliya

 Mariam al-Ijliya nama ilmuwan muslim yang hidup pada abad ke-10 di Aleppo, Suriah. Dia merupakan cendikiawan yang namanya populer karena membuat rancangan serta membangun astrolabe. Astrolabe adalah piranti global positioning yang menentukan kedudukan matahari dan planet-planet. Piranti buatannya ini dipakai untuk keilmuan astronomi, astrologi, dan horoskop.

Astrolobe juga dipakai untuk melihat waktu dan sebagai navigasi dengan cara mencari lokasi lewat lintang dan bujur. Sedangkan untuk umat Muslim sendiri, astrolobe dipakai untuk memastikan arah kiblat, waktu shalat, dan awal Ramadhan serta hari raya Idul Fitri.

Mariam termasuk salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sangat sedikit diceritakan kiprahnya dalam sejarah. Sosok Mariam merupakan seorang perempuan berprestasi dalam dunia astronomi. Hal ini diceritakan dalam bibliografi oleh Al Fihrist Ibnu al-Nadim.

4. Ilmuwan Perempuan Muslim Bidang Kedokteran: Rufaida Al-Aslamia

Dikutip dari Saudi Gazette, Rufaida Al-Aslamia merupakan serorang ilmuan perempuan Islam yang tangguh dan tercatat dalam sejarah Islam. Dia merupakan perawat perempuan sekaligus dokter bedah pertama dalam dunia Islam.

Rufaida Al-Aslamia lahir pada 570 Masehi serta tinggal di Madinah, Arab Saudi. Ayahnya, Saad Al Aslami merupakan seorang dokter.

Rufaida termasuk dalam kelompok pertama yang menganut Islam di Madinah. Bersama kaum perempuan Ansor yang lain, dia ikut punya andil dalam penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Karena ayahnya merupakan seorang dokter, Rufaida yang pintar pun ikut terdorong mempelajari dunia kesehatan. Dia juga tertarik untuk merawat dan membantu pengobatan orang sakit.

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

Kemampuannya ini diperdalam dengan menangani banyak pasien dengan bermacam penyakit. Saat terjadi perang, Rufaida mengabdikan dirinya untuk ikut merawat korban akibat perang tersebut. Perempuan tangguh itu juga ikut serta dalam Perang Badar sebagai perawat, serta perang-perang yang lain seperti Perang Uhud, Khandaq dan Khaibar.

5. Profesor Nesreen Ghaddar

Nesreen Ghaddar merupakan insinyur dari Lebanon yang sudah dikenal banyak orang karena keberhasilannya. Dia merupakan profesor Teknik Mesin di American University of Beirut dan juga editor Journal of Applied Mechanics, Islamic World Academy of Sciences.

Tidak cuma itu saja, ilmuwan perempuan muslim ini sudah mendapatkan gelar Ph.D. dari MIT dan pada tahun 1984 memperoleh penghargaan makalah terbaik dalam bidang Termofisika dari American Institute of Aeronautics and Astronautics.

Read More

Sebuah Ode untuk Ilmuwan Perempuan Kala Pandemi

Pertandingan tenis antara Novak Djokovic melawan Jack Draper belum juga dimulai, tapi tepuk tangan 7.500 penonton sudah bergemuruh di Stadion Wimbledon, Inggris. Hari itu, 28 Juni 2021, Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford yang melepas hak patennya atas vaksin COVID-19 AstraZeneca jadi sorotan. Sarah bersama rekannya, sesama ilmuwan perempuan, Catherine Green termasuk dua di antara perempuan yang jadi buah bibir karena membantu masyarakat di dunia bisa mengakses vaksin itu dengan lebih mudah dan murah. Video yang diunggah di akun Youtube Wimbledon dan viral itu sendiri telah ditonton oleh lebih dari 70 ribu orang.

Sarah Gilbert adalah contoh ilmuwan yang mendobrak gelas kaca dan membuktikan bahwa perempuan yang berkarier di bidang pengetahuan dan riset juga patut dilirik. Kita mungkin hanya beberapa kali mendengar nama harum ilmuwan perempuan. Marie Curie, pelopor penelitian radioaktivitas dan perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel contohnya. Lalu ada ilmuwan roket NASA Yvonne Brill yang menemukan pendorong roket hemat bahan bakar yang menjaga satelit tetap di orbit saat ini. Pun, Rosalind Franklin dengan penelitiannya yang paling sohor terkait dengan struktur double-helix DNA.

Ilmuwan perempuan yang berada di garda depan seperti mereka patut diapresiasi, mengingat titik berangkat mereka untuk meniti karier, proses, hingga hambatan yang dihadapi relatif berlapis. Seorang Yvonne Brill masih dianggap sebagai pengekor karier suaminya dan dikenang sebagai ibu dengan tiga anak, kendati ia berjasa buat NASA. Bahkan, obituarinya saat meninggal delapan tahun silam ditulis oleh The New York Times secara seksis dengan menyisipkan keterampikan sebagai ibu rumah tangga dengan diksi mean beef stroganoff (hidangan daging sapi terkenal ala Rusia. Red).

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Apalagi di tengah pandemi saat ini, ilmuwan perempuan dihadapkan pada beban yang jauh lebih berat ketimbang laki-laki. Sebuah riset bertajuk “Only Second-Class Tickets for Women in the COVID-19 Race” yang dilakukan oleh Flaminio Squazzoni dkk. (2020) menyebutkan, perempuan telah menerbitkan lebih sedikit makalah, memimpin lebih sedikit uji klinis, dan menerima lebih sedikit pengakuan atas keahlian mereka selama pandemi. Sebabnya sesuai dugaan: Perempuan mengalami pergolakan emosional dan tekanan pandemi, protes atas rasisme struktural, kekhawatiran tentang kesehatan mental dan pendidikan anak-anak, serta kurangnya waktu untuk berpikir atau bekerja. Celakanya beban semacam ini sudah memberatkan langkah perempuan sejak sebelum pandemi.

Dalam liputan Times, beberapa ilmuwan perempuan di Imperial College yang diwawancara wartawan menyebutkan, harus datang lebih pagi dan pulang ke rumah di waktu petang dalam kondisi sangat lelah. Beruntung jika mitra dan keluarga penuh memberi dukungan untuk mereka berkarier.

Buntung jika mereka terjebak dalam lingkungan yang tak cukup suportif. Ini mirip seperti kumpulan kisah ilmuwan perempuan yang dikutip The New York Times. Daniela Witten, ahli biostatistik di University of Washington di Seattle misalnya menuturkan, yang dihadapi ilmuwan perempuan tak cuma jalan curam untuk mencapai puncak karier mereka atau apresiasi yang sepadan, tapi juga seterotip yang terus menggema di mana-mana. Bahwa perempuan tak sepandai pria, bahwa perempuan yang sukses pastilah melawan kodratnya dan menelantarkan keluarga.

Bagi seorang ilmuwan perempuan yang juga menjadi ibu, tantangan dan stereotip yang dihadapi lebih ngeri-ngeri sedap. Di Amerika, bahkan selama cuti hamil, ilmuwan perempuan diharapkan tetap mengikuti praktikum, persyaratan mengajar, publikasi, dan pendampingan mahasiswa pascasarjana. Ketika mereka kembali bekerja, sebagian besar tidak memiliki penitipan anak yang terjangkau. Di buku Mothers in Science: 64 Ways to Have it All (2008) yang ditulis ahli biologi tanaman Dame Ottoline Leyser, ia menguraikan, sebanyak 64 ilmuwan perempuan terkemuka, merencanakan karier dengan melawan kehidupan rumah tangga mereka. Artinya, kecemasan ibu-ibu yang juga menjadi ilmuwan perempuan adalah valid dan jadi hal jamak.

Baca juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Ini belum termasuk dengan diskriminasi berbasis gender di dunia akademis dan riset. Dilansir dari Times, STEM Women, sebuah agen rekrutmen di Inggris mencatat, hanya 35 persen dari lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika adalah perempuan. Pun, perempuan hanya 22 persen dari angkatan kerja STEM. Survei lain tahun lalu oleh perusahaan elektronik RS Components mengklaim bahwa hanya 17 persen profesor sains adalah perempuan. Angka-angka ini cukup beralasan mengingat perempuan kerap dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tak akan mampu mengatasi tantangan berat di dunia yang dicap oleh lelaki, maskulin ini.

Kita tentu masih ingat, peraih Nobel Inggris Sir Tim Hunt sempat melontarkan keluhan seksis bahwa ilmuwan perempuan cuma bisa menangis di laboratorium ketika dikritik. Jangankan di dunia akademis, buat saya yang jurnalis, beberapa lapangan kerja memang didesain dan ditahbiskan sebagai tempat kerja lelaki.

Beberapa teman jurnalis pernah bercerita, ia ditempatkan di desk liputan gaya hidup karena dinilai tak mampu bertahan di politik-hukum-nasional, kendati artikel-artikel ia terbilang bernas. Ada juga yang bilang, ia urung masuk tim investigasi di kantornya atau liputan bencana hanya karena ia perempuan, dan sebagaimana lazimnya perempuan, ia disebut-sebut takkan bisa tidur sembarangan di emperan atau depan gerbang rumah narasumber hingga tengah malam.

Buat saya sendiri, beberapa kisah ilmuwan perempuan di atas menjadi pengingat bahwa kondisi yang dihadapi mereka belum cukup ideal. Sehingga, dibutuhkan kebijakan afirmatif yang membuat para ilmuwan perempuan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengembangkan kariernya. Dukungan dari teman, keluarga, dan kepercayaan publik juga jadi faktor kunci agar perempuan jadi lebih berdaya berkarier di bidang ini. 

Read More