‘Bye Job Hopping, Halo Job Hugging’: Realitas Pasar Kerja Indonesia yang Kian Tak Pasti

Ini adalah tahun keempat “Andrea” bekerja di kantor yang sama. Selepas menamatkan strata satunya (S1), ia berkesempatan meniti karier di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.  

Seperti kebanyakan orang, mulanya Andrea senang lantaran beruntung bisa langsung mendapat kerja selepas kuliah. Tanpa proses yang sulit, ia bisa merasakan gaji pertama yang cukup dan tempat berkembang baru di usianya yang masih 20 tahunan. 

Sayang, euforia mendapat pekerjaan tak berlangsung lama. Di tahun keempat, Andrea merasa kariernya stuck dan bingung mau melangkah ke mana. Lama-kelamaan ia memutuskan tetap bertahan demi melanjutkan hidup semata. Pengembangan diri jadi barang mahal yang sulit digapai karena ia tak bisa bergerak ke mana-mana. 

Gue sebenernya mempertahankan pekerjaan ini biar ada pemasukan aja, biar gue tetep hidup, gitu. Soalnya gue udah merasa apa ya? Stuck kali ya. Kayak bingung ini mau ngembangin diri kayak gimana lagi?,” kata Andrea. 

Tak hanya Andrea, “Bima”, salah satu pekerja di badan usaha milik negara (BUMN) juga merasakan hal yang sama. Meskipun orang bilang pekerjaan yang ia dapat adalah cita-cita para orang tua, Bima belum merasa demikian. Setelah lebih dari tiga tahun bekerja di sana, ia tak punya alasan lain selain gaji untuk bertahan. Tak ada pengembangan diri yang signifikan, katanya. Mau mencari ke luar pun pilihannya tidak ada.  

“Lebih ke sekarang opsinya enggak ada. Kalau mau pindah harus ke entry level lagi karena ketersediaan untuk level-level menengah gini hampir enggak ada. Bisa dibilang bertahan emang lebih aman,” ungkap Bima.   

Seperti Andrea dan Bima, “Nisrina” pun punya keluhan yang sama. Hanya saja, keluhan Nisrina tak hanya soal karier yang stuck atau pengembangan diri yang nihil. Dalam kasusnya, Nisrina juga harus berhadapan dengan atasan yang toxic untuk bertahan hidup. Kerja lembur pun jadi makanannya sehari-hari. 

“Kayaknya kalau enggak buat makan sehari-hari, aku better cabut sih dari kantor yang sekarang. Kerjaannya tuh betul-betul overload banget. Belum lagi atasan juga baperannya minta ampun. Rasanya enggak sepadan gitu gaji dengan apa yang dikerjain. Mau pindah tapi enggak juga ada pilihannya,” cerita Nisrina.  

Belakangan pengalaman ketiga orang ini ramai dibahas di media sosial. Salah satu perusahaan aplikasi personalia di Amerika Serikat, Resume Builder, memotret fenomena ini sebagai job hugging. Maksudnya, para pekerja berupaya bertahan di posisi mereka kini, bukan karena loyalitas apalagi kepuasan kerja. Mereka cuma takut akan kehilangan pendapatan karena ketidakpastian pasar kerja. 

Melansir CNBC, berbeda dengan job hopping yang sempat jadi tren di Indonesia pada 2021-2022 lalu, job hugging merupakan fenomena di mana pekerja tidak punya pilihan untuk meningkatkan karier mereka. Akibatnya, mereka pun hanya berupaya menikmati pekerjaan yang sekarang–meski tanpa pengembangan diri, dan bahkan harus menelan lingkungan kerja yang juga tidak sehat.  

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z

Bergelut di Antara Rasa Aman dan Karier yang Stagnan 

Di Amerika, survei Resume Builder menemukan bahwa hampir setengah pekerja di sana berada dalam kondisi job hugging. Mereka yang memeluk pekerjaannya bilang, bertahan adalah pilihan yang paling masuk akal dan aman di tengah situasi yang tidak pasti. Sebagian dari mereka bahkan berupaya keras untuk mempertahankan posisinya saat ini. Upaya tersebut termasuk menelan jam kerja yang berlebih, sampai mengambil tugas tambahan dari rekan kerja yang lain. 

Meskipun di Indonesia survei sejenis belum dilakukan, kisah Andrea, Bima, dan Nisrina, bisa jadi gambaran bagaimana pekerja di Indonesia juga tengah memeluk erat pekerjaannya untuk saat ini. Meskipun berat dan tidak dapat memberikan pengembangan diri, ketiganya bertahan setidaknya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. 

Celaka dua belas, rasa aman ini juga dibarengi dengan tekanan yang sering kali menyerang kesehatan mental. Pada Andrea hal ini bahkan berujung pada kelelahan emosional (burn out) yang hampir dirasakan setiap hari. Karena kerja untuk sekadar menjaga cashflow, Andrea bingung untuk memastikan apa yang benar-benar sedang ia kerjakan. 

I’m questioning myself, my purpose everyday. Gue merasa setiap hari itu berat. Kayak gue bikin to-do list nih, tapi jadi overwhelmed juga kalau enggak semua terselesaikan. Ujung-ujungnya jadi nyalahin diri sendiri, ‘kok gue nggak perform kayak dulu ya?’, gitu.” 

Senada, bagi Bima bertahan untuk gaji sama saja dengan menggadaikan proses perkembangan kariernya ke depan. Bukan tidak bersyukur, sebutnya. Masalahnya Bima merasa kehilangan momentum untuk bertumbuh karena terpentok kesempatan kerja lain yang kosong dan usia yang terus bertambah. Ia pun kian merasa lesu ketika melakukan aktivitasnya sehari-hari.  

“Mungkin tepatnya unfulfilled ya. Karena ya itu, merasa kehilangan banyak momentum aja untuk dapat kesempatan lain. Tapi di sisi lain, usia terus nambah,” katanya.  

Kondisi ini pun dikonfirmasi Dr. Kaitlin Harkess, psikolog klinis, dalam wawancaranya bersama NT News pada (14/9). Ia bilang job hugging memang bisa menyebabkan kualitas hidup yang buruk, frustrasi, sampai gejala stres macam kelelahan dan kurang tidur. 

Baca juga: Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan? 

Bagaimana dengan Pekerja Perempuan? 

Meskipun fenomena job hugging baru muncul belakangan, nyatanya, para pekerja perempuan tercatat sudah melalui rintangan ini jauh sebelum konsep tersebut ramai dibicarakan. Hariati Sinaga, Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, bilang hal ini berkaitan dengan stigma dan bias di dunia kerja yang sudah ada sejak dulu.  

Ia bilang mayoritas perempuan memang terpaksa bertahan pada pekerjaannya karena tak banyak pilihan yang bisa dicoba untuk mencari peruntungan. Banyaknya syarat yang tercantum dalam lowongan pekerjaan jadi penyebab mengapa perempuan lebih memilih memeluk pekerjaannya meski tak semenguntungkan itu. 

“Sebenarnya kalau membicarakan job hugging, hal ini mungkin sudah dirasakan perempuan dari dulu karena memang pilihannya terbatas,” kata Hariati pada Magdalene (16/9).   

Pernyataan ini selaras dengan temuan riset “Penggambaran Tubuh Perempuan dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2017). Di sana dijelaskan lowongan pekerjaan masih memuat syarat yang mengobjektifikasi tubuh perempuan, seperti harus berpenampilan menarik, atau bertubuh kurus.  

Selain itu, temuan lain dalam riset bertajuk “Bias Gender dalam Iklan Lowongan Pekerjaan” (2022), juga menemukan pekerjaan untuk perempuan masih terbatas pada bidang-bidang tertentu, seperti bisnis pelayanan. Enggak hanya itu, tuntutan kriteria terkait batas usia sampai status pernikahan juga jadi alasan sulitnya perempuan untuk mendapat opsi pekerjaan lain.  

Fenomena ini pun tergambar dalam kisah Nisrina yang terjebak dalam job hugging. Ia bilang pilihannya untuk menjaga profesi saat ini dipengaruhi oleh kondisinya yang sudah menikah dan memiliki anak. Menurut Nisrina, tak banyak perusahaan yang mau menerima perempuan yang sudah berkeluarga.  

Kayaknya enggak banyak juga ya yang mau nerima perempuan beranak kayak gue gini. Susah lagi nyarinya. Bertahan aja udah, cicilan terlalu banyak,” ungkapya. 

Hariati menambahkan, kondisi akan semakin parah apabila hal ini terjadi pada pekerja perempuan dengan pendapatan rendah. Pasalnya, mereka yang bertahan dengan gaji minim biasanya terjebak dalam situasi tanpa pilihan atas pekerjaan yang lebih baik.  

Bagi mereka, pilihannya adalah bekerja atau tidak makan sama sekali. Hal ini bukan hanya membuat mereka terjebak dalam pengembangan diri yang nihil. Para pekerja, termasuk perempuan, bakal menerima semua konsekuensi kerja yang bisa merusak kesehatan mereka.  

“Sebenarnya ini menunjukkan secara lintas kelas sosial, job hugging itu memberi dampak yang berbeda tapi sama-sama parah. Karena buat pekerja di kelas ekonomi yang lebih rendah, mungkin terlalu privilege gitu kalau ngomongin mental health atau pengembangan karier. Alasannya ya karena memang pilihannya kerja atau tidak makan sama sekali. Jadi mungkin banyak hak mereka yang bahkan enggak terpenuhi,” jelas Hariati.  

Baca juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Double Kill’ Pemerintah Egois, Lapangan Kerja Minim 

Kesulitan mencari pekerjaan kini dirasakan hampir semua lapisan masyarakat. “Kondisi ini menggambarkan bagaimana kesulitan ekonomi kian dirasakan lebih meluas di semua lapisan masyarakat,” ujar Hariati. 

Pernyataan itu diamini Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Ia menilai perekonomian Indonesia tengah terguncang dan berpotensi mengalami perlambatan pertumbuhan. 

Terkait fenomena job hugging, Bhima menjelaskan hal ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya ketersediaan lapangan kerja. Akar masalahnya, menurut dia, terletak pada keegoisan pemerintah yang lebih memilih mendorong investasi di industri padat modal dibandingkan padat karya. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja pun menurun secara berkala. 

“Sekarang ini investasi makin tidak berkualitas. Klaim serapan kerja per investasi yang masuk makin turun. Tahun 2015 setiap Rp1 triliun investasi menyerap 2.632 tenaga kerja, sedangkan semester 1 2025 cuma menyerap 1.273 orang tenaga kerja. Padahal banyak industri existing yang butuh suntikan modal, tapi karpet merah insentif diberikan ke investasi padat modal yang baru,” jelas Bhima (17/9). 

Apa Solusinya? 

Menurut Bhima, langkah cepat yang bisa diambil pemerintah adalah kembali melirik sektor padat karya untuk meningkatkan serapan tenaga kerja, agar industri yang masih bertahan tidak sampai gulung tikar. 

“Sebetulnya bisa mulai dengan menyelamatkan industri existing dari gelombang penutupan. Jangan boros kasih insentif pajak ke sektor padat modal,” ucapnya. 

Sebagai alternatif, Bhima menyebut masyarakat bisa mencoba berwirausaha dan menggerakkan perputaran ekonomi mandiri. Namun, ekosistem yang mendukung mutlak diperlukan, sehingga beban tidak sepenuhnya jatuh pada individu. 

“Kalau fresh graduate mau jadi wirausaha silahkan, tapi ekosistemnya harus dibangun pemerintah. Soalnya banyak karyawan takut jadi wirausaha karena mitos wirausaha bisa dilakukan semua orang mulai banyak yang meragukan itu. Korupsi perizinan usaha itu juga harus diberantas, bukan cuma gimik digitalisasi aja,” terangnya. 

Di sisi lain, bagi mereka yang masih merasa terjebak dalam pekerjaan sekarang, ada cara lain untuk tetap bertahan. Neuropsikolog Theo Tsaousides lewat tulisannya di Psychology Today menyarankan pekerja untuk membuat tujuan hidup di luar pekerjaan. Langkah ini, menurutnya, bisa membantu menemukan keseimbangan di tengah kebingungan karier. Meski bukan solusi utama, setidaknya pekerja dapat merasa lebih tenang di kondisi yang serba terimpit. 

Read More

Di Balik Rangkap Jabatan Pemerintah, Ada Gen Z yang Jadi Pengangguran Tetap

Amarah “Farhan”, 25, memuncak saat melihat perbincangan daring soal rangkap jabatan di pemerintahan. Menurut laporan Tempo, 30 Wakil Menteri aktif saat ini juga merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya adalah Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang kini turut menjabat Komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. 

Kegeraman Farhan bukan tanpa alasan. Sudah dua tahun ia menganggur sejak lulus S2. Lebih dari 250 lamaran kerja dikirimkan, tapi semua berujung pada penolakan. 

“Pernah merasa enggak capable karena enggak dapat kerjaan terus,” ujarnya pada Magdalene (15/7). 

Ia bahkan sempat vakum selama tiga bulan dari kegiatan melamar pekerjaan karena merasa tak ada gunanya. Namun, setelah merefleksikan ulang, Farhan mulai memahami bukan dirinya yang bermasalah, melainkan kondisi pasar kerja yang kian menyempit. 

Kayaknya emang lagi susah semua, deh.” 

Baca juga: Apa Itu Nillionaire? Istilah Viral untuk Generasi yang Gajinya Cuma Numpang Lewat

Situasi serupa dialami “Yasmin”, 25. Meskipun sudah pernah bekerja, ia sudah sembilan bulan menganggur sambil mencari posisi baru. Namun, ia terus terbentur batasan usia pelamar yang tidak masuk akal. Naik ke posisi lebih tinggi juga belum mungkin karena pengalaman kerjanya yang baru 2–3 tahun dianggap belum cukup. 

“Lowongan yang fit dengan experience dan benefit yang pas tuh dikit banget. For us, yang masih ingin explore new things in this age, kadang batas usia juga jadi halangan,” katanya. 

Farhan dan Yasmin cuma segelintir contoh Gen Z yang sulit cari kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7.465.599 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen atau 5.188.781 orang adalah Gen Z—mereka yang berusia 15–29 tahun. 

Katadata mencatat mayoritas Gen Z yang menganggur, sedang aktif mencari kerja. Mereka tidak sedang menunggu, apalagi berpangku tangan. Bahkan dalam kategori BPS, kelompok ini terbagi menjadi tiga: Mereka yang menganggur dan aktif mencari kerja, yang pesimistis akan mendapat kerja, serta yang sedang mempersiapkan usaha. Namun, 78,6 persen dari mereka adalah pencari kerja aktif. 

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI turut menegaskan: 1 dari 10 Gen Z yang termasuk angkatan kerja saat ini sedang menganggur. Mereka yang hanya lulusan SMA dan SMK menjadi kelompok dengan angka pengangguran tertinggi. Jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total pengangguran Gen Z. Artinya, akses ke pendidikan tinggi tidak otomatis menyelesaikan masalah, tapi justru bisa memperumitnya. 

Baca juga: Yang Muda, Yang Tak Kerja: Apa Sebenarnya Penyebab Pengangguran di Indonesia? 

Negara Gagal Buka Jalan tapi Beri Karpet Merah untuk Elite 

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), ada tiga faktor utama yang membuat Gen Z kesulitan masuk ke dunia kerja: Rendahnya upah, ketidaksesuaian sistem pendidikan, dan sistem politik yang menutup ruang. 

Pertama, soal upah. Bhima menyebut gaji yang ditawarkan di pasar kerja tidak sebanding dengan biaya hidup, apalagi investasi pendidikan yang dikeluarkan generasi ini. 

“Gen Z ini menghadapi dilema karena uang yang dihabiskan untuk kuliah, termasuk belanja bulanan, dengan lapangan pekerjaan yang tersedia enggak sesuai. Banyak sekali pekerjaan dengan upah di bawah upah minimum,” ujarnya. 

Farhan menghabiskan sekitar Rp30 juta per semester untuk kuliah S2. Jika dijumlahkan selama empat semester, ia harus membayar Rp120 juta. Itu belum termasuk ongkos hidup harian. Jika ingin “balik modal”, ia harus mendapat pekerjaan dengan gaji minimum Rp5–6 juta per bulan. Namun kenyataannya, lapangan kerja dengan gaji sebesar itu sangat langka, apalagi bagi lulusan baru. 

Data CELIOS pada 2024 menyebutkan ada 109 juta pekerja Indonesia yang digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Ini naik tajam dari 83 juta pada 2021. Sementara biaya hidup terus melambung. 

Kedua, soal pendidikan. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar menjadi penghambat besar. 

“Proses pembusukan kualitas di perguruan tinggi juga mengakibatkan apa yang dipelajari (di sekolah) dengan kebutuhan (pasar kerja) yang sudah sangat dinamis sekarang ini tidak bisa dikejar oleh para Gen Z,” jelas Bhima. 

Trade Union Rights Centre (TURC) menyebut, persoalan kurikulum ini diperparah dengan regulasi ketenagakerjaan yang belum sinkron dengan kebutuhan lapangan, serta sertifikasi pelatihan yang masih diragukan validitasnya. 

Mengutip Hukum Online, dalam sistem kapitalis, pendidikan cenderung mengikuti arah pasar, bukan kebutuhan masyarakat. Ini menjelaskan mengapa gelar tinggi tidak menjamin kerja, dan kenapa banyak lulusan akhirnya tetap menganggur. 

Baca juga: Stres Ibu Pekerja: Antara Ambisi, Tanggung Jawab, dan Kurangnya Dukungan

Ketiga, yang tak kalah besar adalah watak kekuasaan. Bhima menyebutkan karakter militeristik pemerintahan Prabowo–Gibran turut mempersempit ruang kerja bagi Gen Z. Salah satunya lewat praktik rangkap jabatan yang merajalela di lembaga negara dan BUMN. 

Kayak food estate itu sekarang (isinya) TNI dan Polri. Gen Z pun akan susah masuk ke sana. Menekan upaya Gen Z (untuk dapat kerja) juga di pedesaan,” katanya. 

Laporan Imparsial menyebutkan pada 2023 ada 2.500 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Angka ini belum termasuk pejabat TNI dan Polri yang juga merangkap jabatan di sektor strategis. 

Selain itu, orientasi ekonomi rezim yang ekstraktif, berfokus pada pertambangan dan industri besar justru mengikis kesempatan kerja di akar rumput. 

“Ekonomi ekstraktif itu menjadi substitusi dari ekonomi yang dikerjakan oleh masyarakat yang ada di pedesaan. Contohnya yang tadinya bertani, akhirnya lahannya direbut tambang, akhirnya orang tuanya jual lahan, akhirnya anaknya nganggur, dan seterusnya.” 

Bagi Bhima, kondisi ini hanya bisa berubah jika Gen Z bersatu dan mulai menyuarakan tuntutan kolektif. Sayangnya, hingga kini, respons mereka masih individual dan terjebak pada narasi kegagalan diri dan masalah mental health semata. 

“Ini udah bukan urusan mental health atau masalah personal lagi,” tegasnya. 

“Perlu ada gerakan nyata yang berujung pada reformasi struktural. Selama itu tidak dilakukan, ke depan, dengan adanya bonus demografi, akan makin banyak Gen Z yang menyalahkan dirinya sendiri.” 

Read More

Office Gossip isn’t Just Idle Chatter. It’s a Valuable but Risky

Gossip flows through the offices and lunchrooms of our workplaces, seemingly filling idle time. But perhaps, through these ubiquitous and intriguing conversations, we are influencing our workplace relationships more than we realise.

Is gossiping a route to friendship or a surefire way to make workplace enemies? It turns out the answer hinges on how the recipient of the gossip perceives the intentions of the gossiper.

Workplace gossip – defined as informal and evaluative talk about absent colleagues – is pervasive yet often misunderstood.

Traditionally frowned upon and branded as unproductive or even deviant, recent research paints a more complex picture of gossip.

While some studies imply that gossip leads to friendships between coworkers, others suggest it undermines workplace relationships. Our research indicates these apparently contradictory findings stem from misunderstanding the nuances of how gossip shapes workplace social relations.

We focused on gossip recipients – the listeners – and asked how they perceived these exchanges, and what effect receiving gossip had on their relationships with coworkers.

Also read: ‘The Power of Gossip’: Bisa Membunuh tapi Tak Melulu Buruk

Understanding Workplace Gossip

Researchers use three frameworks or concepts to make sense of workplace gossip.

The “exchange perspective” holds that gossip binds coworkers to one another through a sort of quid pro quo. A colleague may offer informational morsels, with an expectation of social support and inside information in return.

The “reputational information perspective” focuses on how gossip shapes recipients’ views of targets – the people the gossip is about. Vital information might be shared to warn others about toxic personalities or to signal someone as particularly trustworthy.

Finally, the “gossip valence” refers to whether gossip conveys positive or negative information about its target.

The Effect of Hearing Gossip

Our research looks at how gossip affects the recipient’s perception of the person sharing the gossip.

Data was collected from participants using two techniques: written incident reports and follow-up interviews. This approach provided the researchers with detailed descriptions of how workplace gossip incidents affected interpersonal relationships from the recipient’s perspective.

Our findings show that the recipients’ perceptions of these exchanges matter a great deal. In particular, their interpretation of the gossiper’s intentions can set off a chain reaction.

If the recipient judges the gossiper’s intentions as genuine and authentic – a way of opening up about one’s real views of coworkers – gossip can spark a new friendship or rekindle an old one.

When one person says, “I find it so frustrating when Mark talks down to me like that”, for example, the recipient has been trusted with the gossiper’s true feelings about Mark, a problematic colleague. This creates a stronger bond – especially if the recipient agrees with the opinion.

Curiously – and perhaps a little worryingly – we found negative gossip was a stronger way of building friendships than positive gossip, provided intentions were interpreted as genuine.

If the recipient evaluates the intention as prosocial – in other words, sharing accurate and valuable information that benefits people other than the gossiper – trust increases and collegial relationships are strengthened.

As one research participant explained:

I actually noticed that the source is the kind of guy that only really says positive things about people […] That’s why I think I began to trust him because he doesn’t run people down too much.

If the gossiper’s intentions are perceived as self-serving, the recipient’s trust in them goes down and there’s little likelihood of the two becoming friends.

One participant explained:

They said this to damage her reputation and cause drama in the workplace.

While another said:

After listening to him gossiping about another waitress, I felt very uncomfortable. I was afraid of him saying negative things about me if I make mistakes.

Also Read: Gosip, Penyihir, dan Usaha Mencabut Taring Perempuan

Not Just Idle Chatter

Our study supports the idea that gossip isn’t merely idle chatter but a valuable (and risky) social currency.

We often engage in gossip without even thinking about why we’re doing so. But our findings show other people pay a lot of attention to our motivations for gossiping.

Given we have little control over how our intentions are interpreted by others, this study is a timely reminder to think before you share gossip.

Rachel Morrison, Associate Professor, Auckland University of Technology; Helena Cooper Thomas, Professor, Auckland University of Technology, dan James Greenslade-Yeats, Research Fellow in Management, Auckland University of Technology.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
Self Efficacy di Lingkungan Kerja

Beban Kerja Mahasiswa Magang Setara Pekerja Penuh Waktu, tapi Mayoritas Tak Diupah

Baru-baru ini, warganet membicarakan praktik magang mahasiswa yang umumnya tak mendapatkan upah. Ada yang pro, ada juga yang kontra dengan alasan beban kerja yang cukup berat.

Soal magang sendiri secara umum diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020, sering dianggap sebagai sarana praktik sebelum memasuki dunia kerja, memperoleh jejaring profesional, hingga pengembangan kapasitas individu.

Sayangnya, meski para pemagang dipekerjakan penuh waktu layaknya pekerja, Pemernaker tersebut tak mengamanatkan kompensasi berupa upah dan hanya berupa uang saku yang meliputi “biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan” yang layak.

Yang lebih parah lagi justru adalah peserta magang akademik, utamanya yang melibatkan pelajar dan mahasiswa.

Relasi kerja yang diatur dalam Permenaker di atas, sebenarnya merujuk pada “percantrikan” (apprenticeship), yakni pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke posisi jabatan tertentu. Sedangkan, magang yang melibatkan pelajar dan mahasiswa bukan bertujuan untuk itu, melainkan untuk tujuan pembelajaran (internship) – dan kegiatan ini belum memiliki payung hukum yang formal di Indonesia.

Akibatnya, meski juga kerap dipekerjakan secara penuh waktu, pemagang akademik bahkan tak mendapat hak uang saku sama sekali.

Hasil sementara dalam penelitian saya (belum dipublikasikan) memberi gambaran bagaimana alih-alih mengasah kompetensi pemagang, praktik magang akademik justru menempatkan mereka dalam posisi yang rentan di tempat kerja. Banyak dari mereka bekerja penuh waktu tanpa upah dan hak kerja layak.

Studi ini melibatkan 215 responden pekerja magang selama menjadi pelajar atau mahasiswa.

Berdasarkan jenjang pendidikan mereka ketika magang, sebanyak 88 persen merupakan mahasiswa sedangkan 12 persen berjenjang sekolah menengah. Di antara mahasiswa, sebanyak 66 persen dari rumpun ilmu sosial dan humaniora sedangkan 34 persen dari rumpun ilmu sains dan teknologi.

Instansi magang mereka berada di sektor lembaga publik (44 persen), swasta (41 persen), dan sebanyak 15 persen lainnya tersebar di sektor lain seperti Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D), sektor pendidikan, dan nonprofit.

Baca juga: 9 Jurus Penting Sebelum Sah Jadi Anak Magang

Lemahnya Pemagang Akademik dalam Hierarki Kerja

Akibat absennya regulasi, banyak pemberi kerja di Indonesia menyamakan beban kerja pemagang akademik setara dengan pekerja formal.

Misalnya, mayoritas pemberi kerja sering menerapkan durasi kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu sesuai Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Padahal, regulasi ketenagakerjaan berlaku hanya jika ada hubungan pekerja dan pemberi kerja secara formal, bukan dalam konteks magang akademik.

Tak hanya itu, para pemagang dibebankan mekanisme target, kewajiban, kontrol, serta sanksi yang diberlakukan selayaknya pekerja penuh waktu.

Namun, berbeda dengan pekerja, pengelompokan pemagang akademik sebagai orang yang masih belajar atau mencari pengalaman juga membuat mereka rentan ditekan dalam “kultur kepatuhan” terhadap atasan dan instansi.

Seluruh dinamika tersebut membuat pekerja magang akademik justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja – tanpa timbal balik yang setara buat mereka.

Hasil survei, misalnya, menunjukkan bahwa 53 persen responden pemagang menyatakan mereka seringkali bekerja di luar jam kerja hingga terpaksa membawa pekerjaan ke rumah karena beban kerja yang tinggi. Target yang harus mereka selesaikan juga setara dengan pekerja.

Ini bisa berupa penanganan keluhan pelanggan, rapat, membuat laporan, menginput data, atau observasi yang menyebabkan pemagang bekerja lembur.

Bahkan, beberapa menyatakan pernah bekerja lembur sampai dini hari, dan 3 persen responden bekerja lebih dari 8 jam per hari untuk menyelesaikan target.

Survei Magang Layak, Wulansari (2023)

Tak hanya itu, para responden kami juga melaporkan berbagai tekanan kerja akibat beberapa hal lainnya, termasuk:

  • hambatan teknis yang meliputi miskomunikasi, alat dan instrumen kerja yang tidak berfungsi, dan pendelegasian tugas yang buruk,
  • fasilitas pembelajaran yang tidak sesuai ekspektasi mulai dari minimnya ruang untuk berpendapat hingga mentor yang kurang handal dan responsif, serta
  • diskriminasi karena status mereka sebagai pemagang yang posisinya dianggap rendah.

Selain itu, sebanyak 72,6 persen responden menyatakan tidak memiliki kesempatan untuk memilih minat pekerjaan dan kompetensi yang mereka inginkan saat magang.

Pemagang justru hanya bisa menerima beban kerja yang diberikan oleh tempat magang, bahkan oleh oknum pekerja yang melimpahkan beban kerja penuh waktu mereka pada pemagang.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Mayoritas Tak Diupah dan Tanggung Ongkos Sendiri

Meski sering menanggung beban dan target kerja yang sama dengan pekerja penuh waktu, kekosongan hukum dan kerangka kerja pemagang akademik sebagai “pembelajar” membuat mereka tidak punya jaminan hak-hak kerja yang layak dan adil.

Banyak dari mereka harus mengandalkan “kebaikan hati” pemberi kerja untuk memberikan upah. Misalnya, hanya 23,72 persen responden pemagang akademik menyatakan menerima upah.

Survei Magang Layak, Wulansari (2023)

Di antara mereka, mayoritas yang dibayar oleh perusahaan hanya berkisar Rp1-2 juta.

Sedangkan, bagi mereka yang melaksanakan program magang pemerintah, seperti lewat Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mayoritas dibayar sebesar Rp2-2,9 juta.

Survei Magang Layak, Wulansari (2023)

Ongkos produksi yang harus ditanggung oleh pemagang akademik pun menjadi salah satu persoalan besar. Sebanyak 65,58% responden menyatakan tidak diberikan kompensasi ongkos transportasi dan uang makan.

Bagi mereka yang menerima, besarannya per bulan mayoritas hanya berkisar Rp 200-400 ribu.

Survei Magang Layak, Wulansari (2023)
Survei Magang Layak, Wulansari (2023)

Padahal, banyak pemagang harus menanggung ongkos transportasi dan uang makan sebesar Rp400-720 ribu per bulan. Banyak dari mereka membayar bahan bakar kendaraan dan banyak pula yang menggunakan moda transportasi umum untuk pulang dan pergi magang.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Pemangkasan Biaya Produksi

Relasi kerja magang akademik juga menunjukkan adanya fenomena penggeseran risiko kerja dan ongkos produksi dari perusahaan ke pemagang.

Pada sektor swasta atau profit, ada banyak kasus juga ketika kompensasi justru diberikan oleh negara, misalnya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang disebutkan sebelumnya.

Sebagai gambaran, lewat skema magang akademik seperti pada program MBKM, ada kisaran Rp55,9-78,3 miliar anggaran yang seharusnya menjadi ongkos pengupahan dari 216 perusahaan “mitra” yang justru ditanggung oleh pemerintah.

Padahal, skema ini mempermudah perusahaan melihat dan menguji talenta, kecocokan, dan kualifikasi profesional spesifik dari pegawai – dengan biaya rendah atau bahkan tanpa ongkos rekrutmen.

Di satu sisi, program ini pada kenyataannya memang memfasilitasi program magang yang lebih layak pada pekerja magang.

Di sisi lain, mekanisme ini menunjukkan adanya penyimpangan amanat regulasi kewajiban hak atas upah layak dalam relasi kerja yang idealnya dibebankan pada pemberi kerja.

Selain itu, karena adanya batasan kuota, tidak semua pendaftar program magang yang diupah pemerintah, dapat diterima.

Baca Juga: 7 Tips Latihan ‘Interview’ Kerja demi Pikat HRD

Mendorong Program Magang Layak

Dalam praktiknya, alih-alih ditempatkan sebagai pembelajar, mayoritas pemagang akademik justru terjebak dalam sistem sukarelawan (volunteer) yang hanya mengandalkan kebaikan hati pemberi kerja untuk sekadar mendapatkan kompensasi atas ongkos produksi.

Dengan skema ini, posisi tawar pemagang – apalagi pemagang akademik – yang secara politik lebih lemah menyebabkan mereka sering kali harus pasrah dengan mekanisme kerja yang rentan.

Pemerintah perlu melakukan intervensi untuk menutup celah regulasi yang ada terkait pemagangan, baik akademik dan nonakademik. Harus ada kerangka hak dan kewajiban yang adil, beserta mekanisme pendisiplinan untuk pemberi kerja, agar tidak ada lagi praktik magang yang tidak layak.

Menegaskan kelayakan upah atau uang saku juga dapat mencegah praktik ketidakadilan karena timpangnya ongkos produksi yang dibebankan pada pemagang. Batasan minimum ini perlu dikaji – misalnya menggunakan survei kelayakan upah dan survei pengeluaran ongkos kerja oleh pemagang di setiap daerah.

Jika merefleksikan magang dalam kultur akademik, penting untuk menjamin regulasi yang menempatkan pemagang sebagai pihak otonom agar dapat memilih kompetensi yang mereka ingin dalami selama magang. Target dan beban kerja ditentukan berdasarkan kesepakatan yang demokratis antara pemagang, pemerintah yang menaungi relasi kerja, dan pemberi kerja dengan memperhatikan hak-hak kerja layak.

Anindya Dessi Wulansari, Research Fellow at Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) and Lecturer, Universitas Tidar Magelang.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Read More

5 Cara Tepat Terima Kritik dari Atasan

Salah satu keterampilan penting di dunia kerja adalah mampu menerima kritik yang diberikan oleh atasan maupun rekan kerja. Sayangnya, banyak orang yang masih menganggap kritik merupakan beban dan melulu negatif. Padahal kritik bisa mendorong diri kita untuk bekerja jadi lebih baik lagi.

Tentu saja, kritik yang baik itu perlu disampaikan dengan intonasi serta penggunakan kata yang tidak menyinggung. Namun, jika kritik sudah terlanjur disampaikan dan ternyata tak berkenan di hati, bagaimana?

Apa yang harus kamu lakukan waktu harus menerima kritik dari atasan yang mungkin tidak mengenakkan?

Kritik di Tempat Kerja Relatif Penting

Kritik yang baik itu mesti bersifat membangun. Kritik yang seperti ini juga merupakan bentuk dari feedback. Menurut Indeed, dalam artikel yang berjudul Why Is Feedback Important in the Workplace? (2022), feedback yang membangun berguna untuk perkembangan karyawan.

Feedback tersebut akan menjelaskan ekspektasi, membantu seseorang untuk belajar dari kesalahan, dan bikin kepercayaan diri meningkat.

Baca Juga: 7 Amunisi Sebelum Kamu Dievaluasi Rutin oleh Atasan

Masalahnya, kritik semacam ini biasanya disalahartikan sebagai kelemahan, sehingga sulit diterima dengan legowo. Padahal, meskipun tidak enak untuk didengar, kritik di tempat kerja bisa membantumu membangun karier yang lebih baik.

Tanpa kritik, kita bakal cenderung berpuas diri dan enggan melakukan pembaruan. Karena itulah, mustahil kita bisa menaikkan performa di tempat kerja.

Cara Menerima Kritik yang Tepat di Tempat Kerja

Untuk dapat bersikap profesional dalam menghadapi kritik dari atasan atau rekan kerja, berikut ini beberapa caranya.

  1. Jangan anggap personal

Saat mendapat kritik dari atasan, mungkin kamu akan refleks tersinggung, apalagi jika itu disampaikan di depan rekan kerja lain. Ini merupakan hal yang wajar. Dalam kondisi seperti ini, harus diusahakan kamu bisa berpikiran terbuka, dan mampu memisahkan lingkungan kerja dengan lingkup pribadi.

Bahwa kritik yang diberikan itu bukan serangan personal, tetapi masukan supaya kamu mengoreksi kinerja. Jadi, jangan sampai langsung emosi atau berasumsi kalau atasan tidak suka dengan kamu.

Terlepas dari itu, dalam ranah profesional, kritik yang baik seharusnya disampaikan dengan sopan. Akan tetapi, jika kamu mendapat kritik yang lumayan keras dari atasan, tetap berikan respon yang baik tanpa perlu melontarkan argumen tambahan.

  1. Memahami kritik yang diberikan

Dibanding langsung menelan kritik bulat-bulat, kamu dapat memberikan sedikit waktu untuk lebih memahami substansinya. Selama kritik tersebut memang membangun, kamu dapat mencoba lebih terbuka dan memahami. Dengan begitu, rekan kerja atau atasan akan jadi lebih nyaman dalam menyampaikan feedback di kemudian hari.

  1. Bertanya kepada atasan

Menurut Indeed, setelah memahami kritik yang diberikan, kamu dapat bertanya lebih jauh untuk mengklarifikasi kritik tersebut. Mungkin kamu setuju, bisa juga tidak. Namun, anggaplah itu sebagai masukan untuk berefleksi.

Baca Juga: Di Balik Menolak Pujian: Rendahnya Kepercayaan Diri Hingga Budaya

Ingat kamu berhak untuk bertanya dan mendiskusikannya supaya lebih jelas. Ini juga penting agar tidak muncul kesalahpahaman di kemudian hari.

  1. Evaluasi kerja

Setelah mendengarkan kritik dan mencatat poin-poin pentingnya, sekarang saatnya untuk menggunakannya sebagai bahan evaluasi kerja. Tujuannya agar kamu tak perlu mengulangi kesalahan yang sama.

Dalam hal ini, ada bagusnya membuat catatan yang berisikan do’s and don’ts dari kritik yang masuk. Lalu kamu perlu menghadapi kritik dengan mengimplementasikannya secara nyata.

  1. Berhati-hati saat memberikan tanggapan

Dalam artikel Indeed yang berjudul Steps to Handle Criticism at Work, kamu perlu lebih hati-hati dalam memberikan respons, baik secara verbal maupun nonverbal.

Contohnya, kalau sedang bertatap muka, hindari menyilangkan tangan dan bernapas dengan tempo yang teratur supaya bisa menurunkan level stres.

Menghadapi kritik memang bukan perkara yang gampang, namun dengan lebih hati-hati dalam merespon, akan membuat kamu jadi lebih profesional.

Read More

7 Manfaat Olahraga Jalan Pagi Sebelum Berangkat Kantor

Kegiatan yang padat setiap harinya akan membuat kita terlalu lelah berolahraga. Apalagi buat pekerja yang harus datang ke kantor setiap hari atau Work From Office. Padahal sebenarnya ada olahraga yang tidak butuh banyak waktu dan tenaga, yaitu jalan pagi.

Olahraga jalan pagi sebelum bekerja ternyata punya banyak manfaat untuk tubuh serta pikiran. Dengan jalan pagi secara teratur, kamu bisa berpotensi tidur lebih nyenyak dan badan lebih bugar. Tak cukup sampai di sini, masih ada sejumlah manfaat olahraga lainnya untukmu.

Manfaat Olahraga Jalan Pagi Sebelum Bekerja

  1. Menambah energi

Manfaat jalan pagi yang pertama adalah bisa meningkatkan energi kamu. Dalam hal ini, energi yang meningkat bakal sangat membantu menjalani hari-harimu ketika di kantor.

Baca Juga: 7 Tips Kembali Produktif Usai Liburan Panjang

Ada beberapa kajian yang menunjukkan, orang dewasa yang rutin olah raga jalan pagi selama 20 menit di luar rumah, akan memperoleh energi lebih, dibandingkan mereka yang cuma berjalan 20 menit dalam ruangan.

Kalau kamu sekarang kerap merasa kurang bersemangat saat bangun di pagi hari, melakukan jalan pagi dapat menjadi aktivitas positif yang dapat dicoba.

  1. Meningkatkan suasana hati

Dikutip dari Healthline, dalam artikel yang berjudul The Benefits of Starting Your Day with a Walk, jalan pagi sebelum berangkat bekerja dapat meningkatkan suasana hati atau mood.

Olah raga jalan pagi selama 20 hingga 30 menit setidaknya 5 hari seminggu, punya manfaat:

  • mengurangi stres
  • menurunkan rasa cemas
  • mengurangi rasa kelelahan
  • meredakan gejala depresi atau mengurangi risiko depresi
  1. Bisa Membantu Berpikir Kreatif

Manfaat olahraga jalan pagi yang selanjutnya adalah membantu kamu untuk berpikir lebih kreatif. Alasannya, saat berjalan, kamu bisa melihat lingkungan dan aktivitas di sekeliling, sehingga bisa mendapatkan ide-ide cemerlang.

Selain bisa memantik untuk berpikir kreatif, jalan pagi juga bisa membuat otakmu lebih jernih. Pasalnya, saat jalan pagi, kamu bisa menghirup udara segar, mengamati suasana dengan warna hijau dari pepohonan.

Jadi, bila kamu mulai merasa kesulitan dan susah menemukan ide, jalan pagi sebelum berangkat bekerja mungkin bisa jadi jalan ninjamu.

Baca Juga: Apa itu Pekerja Kreatif dan Siapa Saja Mereka?

  1. Menurunkan risiko diabetes

Dikutip dari Halodoc, jalan kaki selama 30 menit setiap hari bisa membantu menaikkan kontrol gula darah serta membantu manajemen insulin pada diabetes tipe 2. Berjalan kaki akan membuat sel-sel dalam tubuh memanfaatkan glukosa yang tidak terpakai, sehingga lemak dalam tubuh bisa diolah dengan baik, dan menurunkan risiko obesitas.

  1. Menghilangkan rasa malas

Jalan pagi juga bisa menghilangkan rasa malas kamu. Terlebih jika dilakukan secara rutin, itu membantumu membakar kalori yang tersimpan di tubuh. Hal ini secara tidak langsung bisa mendorong tubuh jadi lebih aktif dan menyegarkan pikiran. Sehingga, kamu akan jadi lebih bersemangat dan produktif saat bekerja di kantor.

  1. Menaikkan fungsi otak

Olahraga jalan pagi juga bisa menaikkan fungsi otak. Pasalnya, sirkulasi darah dan oksigen dalam tubuhmu berjalan lancar saat berolahraga. Tidak cuma itu saja, berjalan kaki juga akan mengurangi tingkat stres.

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan

  1. Membantu mengurangi berat badan

Dikutip dari Healthline, berjalan kaki di pagi hari sebelum pergi bekerja ternyata juga bisa membantu menurunkan berat badan.

Berjalan kaki dengan kecepatan sedang selama 30 menit dapat membuang sebesar 150 kalori. Kalau dikombinasikan dengan pola makan yang sehat serta latihan kekuatan, berat badanmu pun dapat berkurang secara efektif.

Read More
Mengembalikan produktivitas kerja setelah liburan

7 Tips Kembali Produktif Usai Liburan Panjang

Sejumlah pekerja merasa kesulitan mengembalikan produktivitas mereka setelah liburan panjang Natal dan Tahun Baru. Hal ini sebenarnya relatif wajar, sebab biasanya kita masih terngiang-ngiang dengan suasana bersantai liburan yang lebih nyaman.

Meski wajar, kondisi susah kembali fokus 100 persen pada pekerjaan pascaliburan nyatanya tak bisa dibiarkan. Risikonya, pekerjaan bisa terbengkalai, produktivitas juga bakal menurun.

Supaya hal itu tidak sampai terjadi, berikut ini beberapa tips yang dapat mengembalikan produktivitas kerja di kantor setelah asyik liburan.

Tips Meningkatkan Produktivitas Kerja Setelah Liburan

  1. Membuat jadwal kerja di hari pertama

Dikutip dari Huffpost, banyak orang yang datang ke kantor setelah liburan malah jadi stres, karena melihat pekerjaan yang sudah menumpuk di mejanya. Bahkan, banyak juga yang jadi bingung lantaran tak mampu menemukan cara yang tepat untuk membereskan pekerjaan tersebut.

Baca Juga: Apa itu ‘Coping Mechanism’ dan Manfaatnya untuk Pekerja

Karena itulah, untuk mengembalikan produktivitas kerja setelah liburan, kamu perlu membuat jadwal pekerjaan dengan rapi di hari pertama kerja. Hal ini akan sangat membantu ketika menghadapi tumpukan pekerjaan yang menanti.

Membuat daftar sederhana di hari pertama juga akan membuat kamu lebih semangat. Sebab, dengan jadwal kerja yang jelas, pekerjaan akan jadi terasa lebih ringan dan tidak membebankan.

  1. Merapikan meja kerja

Cara selanjutnya untuk mengembalikan produktivitas kerja setelah liburan adalah dengan merapikan meja kerja.

Meja kerja yang rapi tentu akan membuat suasana hatimu jadi baik. Hasilnya, kamu akan jadi lebih semangat saat kembali bekerja di kantor.

  1. Menentukan goals baru

Cara berikutnya kamu dapat membuat goals baru. Dari daftar pekerjaan yang sudah dibuat setiap hari, pastikan kamu membuat target baru yang harus dicapai dari pekerjaan tersebut.

Mengapa hal ini dirasa penting? Sebab, dengan adanya tujuan baru, semangat kerjamu dapat kembali lagi dengan cepat.

Kamu juga nantinya bisa mempunyai pandangan lebih jelas mengenai hal-hal yang harus kamu kerjakan di kantor.

Tujuan ini dapat dibuat dengan cara membandingkan target-target sebelumnya belum sempat terselesaikan.

  1. Menyelesaikan pekerjaan dengan bertahap

Untuk mengembalikan semangat di hari pertama masuk, sangat disarankan untuk tidak langsung berhadapan dengan pekerjaan yang berat. Supaya bisa kembali produktif setelah liburan, sebaiknya kamu menyelesaikan pekerjaan dengan bertahap, dari yang paling gampang sampai yang paling sulit.

Baca Juga: Habis WFH Terbit ‘Workcation’, Ini Fakta-fakta yang Perlu Kamu Tahu

Hal ini perlu dilakukan supaya pikiran dapat beradaptasi dengan deadline dan tumpukan pekerjaan. Bekerja dengan bertahap juga bisa menjadi cara yang tepat untuk menaikkan kualitas kerja setelah berlibur.

  1. Istirahat sebentar di sela-sela pekerjaan

Cara yang berikutnya adalah dengan mengambil waktu sebentar untuk istirahat di kantor. Istirahat di sini bukan berarti istirahat jam makan siang. Namun, kamu dapat mengambil jeda waktu singkat di saat pekerjaan yang menumpuk.

Dengan mengambil istirahat singkat seperti ini, kamu bisa jadi lebih fokus dan disiplin. Sederhananya, memaksa diri untuk bekerja di saat fisik dan mental masih belum siap cuma akan menurunkan kualitas kerja serta membuatmu stres.

  1. Datang ke kantor lebih pagi

Awali hari pertama kembali bekerja dengan datang ke kantor lebih pagi, paling tidak 20 menit lebih awal. Kamu dapat memanfaatkan waktu tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan kantor yang telah lama ditinggalkan saat liburan.

Kamu dapat membuka kembalifolder pekerjaan, untuk mencari tahu pekerjaan terakhir yang ditinggalkan.

  1. Memikirkan liburan yang selanjutnya

Supaya kamu jadi lebih semangat di hari pertama, coba pikirkan, ke mana kira-kira kamu akan liburan berikutnya? Kapan waktu yang tepat untuk kembali mengambil cuti dan melakukan perjalanan lagi? Merencanakan liburan selanjutnya dapat menaikkan produktivitas kerja kamu. Bahkan, lebih baik lagi kalau kamu dapat membuat rencana liburan selama satu tahun, kamu dapat mengatur keuangan dan membagi pekerjaan.

Itulah beberapa tips yang dapat kamu coba untuk meningkatkan produktivitas kerja setelah liburan. Intinya, di hari pertama setelah berlibur, sindrom pascaliburan memang susah untuk dihilangkan secara total.

Namun, jika kamu dapat melakukan tips-tips di atas dengan bertahap, dijamin semangat kerjamu akan kembali dengan sendirinya.

Read More