Kalimat tersebut sering kali Nur Saadah dengar dari teman perempuan dan laki-lakinya saat ia memperkenalkan diri sebagai kepala divisi di sebuah perusahaan event organizer. Nur Saadah hanya satu di antara sekian banyak pekerja perempuan di posisi pemimpin yang sering diragukan kepemimpinannya hanya karena gendernya.
Awalnya Nadya mencoba untuk menjalani keduanya, tetapi hal ini semakin berat sebab kantornya tidak melakukan work from home.
Bagaimana Nadya menjalani kehidupannya sebagai ibu pekerja dan akhirnya memutuskan untuk menjadi full time ibu rumah tangga?
Awal merintis usahanya, ia menghadapi berbagai macam tantangan, salah satunya terkait akses ke pendanaan. Saking sulitnya, ia mesti berstrategi dengan ayahnya agar pengajuan bantuan dananya dikabulkan. Tidak hanya itu, Zena juga sering kali mendapat omongan miring soal pilihannya untuk membuka usaha.
Walaupun menghadapi berbagai tantangan, Debbie tetap melanjutkan cita-citanya bekerja di media. Bagaimana ya, cara Debbie menghadapi tantangan tersebut? Yuk kita dengar kisah Debbie selengkapnya yang dituturkan oleh aktivis feminis, Agri Merinda.
Hal ini sering dirasakan oleh para pekerja, salah satunya Syufra. Ketika baru terjun ke dalam isu humanitarian, atasannya sering kali meremehkan Syufra, dan membuat dirinya merasa sangat useless.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di ruang redaksi media. Rena, seorang pekerja media perempuan mengalami kekerasan seksual saat ia bekerja di sebuah media. Dengan berbagai modus termasuk …
Pernah nggak kamu mengalami atau mendengar curhat temanmu soal gaji yang lebih kecil, tapi beban kerjanya lebih banyak dari karyawan lain hanya karena masih single?
“Udah, kalau kamu disuruh berhenti sama suamimu, nurut aja. Kan memang sudah kewajiban istri buat tetep di rumah.” Kamu pernah mengalami atau mendapatkan curhat dari teman perempuanmu yang dilarang bekerja …
Kamu pernah punya masalah kepercayaan diri? Pernah nggak kamu sadari bahwa itu bisa dipengaruhi oleh pola asuh orang tuamu. Hal ini dialami Naning, seorang perempuan pekerja berusia 27 tahun, yang …
Berlindung di balik anonimitas, jempol warganet gampang banget menuliskan komentar-komentar jahat di akun-akun orang lain, terutama di akun perempuan.
Kenapa perempuan lebih rentan di-bully di dunia maya, ya? Menurut Dhyta Caturani dari Purple Code, pandangan masyarakat yang masih misoginis telah berujung pada banyaknya ujaran-ujaran misoginis serta seksis di dunia maya.
Waduh, apa ya dampaknya jika perisakan online seperti ini terus terjadi? Apa iya hanya dengan log out dari media sosial, semua akan beres? Bagaimana seharusnya kita menghadapi hal ini?
Simak selengkapnya dalam episode terbaru podcast FTW Media ini ya!
Pernah enggak kamu memperhatikan iklan-iklan yang cuma memperlihatkan perempuan mengurus rumah tangga aja, sedangkan laki-laki bekerja di luar rumah. Sementara dalam iklan produk kecantikan, perempuan selalu dituntut tampil cantik dan wangi untuk kepentingan laki-laki.
Iklan televisi bisa dibilang merupakan salah satu media yang efektif buat menyampaikan pesan secara luas. Iklan disampaikan dengan secara persuasif untuk akhirnya mendatangkan recall yang tinggi dan menciptakan keinginan para konsumen akhirnya tertarik untuk membeli.
Potret perempuan dalam iklan sering dipakai dan dibilang sangat efektif untuk membujuk konsumen. Kita pasti sering sekali melihat penggambaran potret perempuan dipakai dalam iklan media elektronik seperti televisi.
Penggambaran perempuan yang sebatas ruang domestik seperti dalam gambar kaleng Khong Guan kayaknya sudah jadi standar atau playbook yang kudu dipatuhi, bahwa kalau pengen produknya dibeli perempuan, ya harus menampilkan perempuan yang distandarisasi juga penggambarannya.
Contohnya, penggambaran perempuan yang ruang geraknya hanya dalam ranah domestik, meja makan atau dapur itu misalnya. Nggak cuma dalam kemasan produk, dalam iklan-iklan produk yang sama, penggambaran semacam itu secara otomatis juga jadi pilihan.
Atau seperti produk-produk yang sebenarnya menyasar kaum pria, tetapi di iklannya sering sekali menampilkan model perempuan seksi yang tidak ada hubungannya dengan produk yang dijual. Potret perempuan dalam iklan ini seperti jadi hal yang biasa di era sekarang ini.
Potret perempuan dalam iklan seakan-akan dibuat menjadi alat untuk memasarkan produk saja. Tubuh yang dieksploitasi hanya untuk melepaskan definisi cantik versi standarisasi market dengan cara memamerkan bagian rambut yang panjang dan lebat untuk iklan shampo atau dalam iklan obat kurus yang menampilkan perempuan dengan fisik yang ramping.
Iklan yang cuma memperlihatkan fisik dari perempuan bisa kita bilang mengandung eksploitasi. Eksploitasi merupakan pengusahaan, pendayagunaan atau pemanfaatan, kalau dilihat memang eksploitasi tidak selalu bersifat buruk tapi bisa punya value yang baik. Tetapi dalam hal ini bergantung dari konteksnya.
Jangan dikira iklan produk itu enggak ada dampaknya, loh. Apa saja dampaknya? Apakah sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik? Episode terbaru podcast FTW Media yang satu ini mengupas tuntas soal ini. Cuss dengerin!
Mau bentuk wajah terlihat tirus, Kulit muka terlihat glowing, bulu mata lentik, dan bibir merah merona?Sekarang hal itu bisa kita dapatkan dengan mengutak-atik filter kecantikan di kamera ponsel yang juga sering disebut beauty camera. Poof, kamu langsung bisa cantik dengan instan tanpa perlu susah-susah make up.
Eh tapi tunggu dulu, semakin canggih beauty camera atau filter kecantikan ini mengubah bentuk wajah hingga tubuh, hal ini ternyata berdampak sangat buruk bagi individu, apalagi perempuan yang sering menjadi target standar kecantikan yang tidak realistis.
Beauty Camera dan Dampaknya Terhadap Standar Kecantikan Masyarakat
Kalau kamu sendiri, pernah enggak mengubah bentuk wajahmu dengan filter-filter kecantikan di beauty camera?
Pada 2019 lalu, seorang fesyen fotografer asal Inggris, John Rankin Waddell, menggelar pameran foto bertema “Selfie Harm”. Bersama dengan M&C Saatchi dan MT Art Agency, Rankin meminta 15 orang remaja untuk mengedit swafoto atau selfie mereka hingga ke tahap yang mereka anggap “social-media friendly”.
Kebanyakan remaja mengubah wajah meniru para idola mereka. Yang diubah adalah hidung yang semakin kecil, mata yang besar, warna kulit yang lebih cerah, bibir yang lebih mungil dan bentuk muka yang semakin tirus.
Jadi penasaran, mengapa banyak orang yang sangat bergantung dengan filter kamera? Dan bagaimana filter kamera ini berdampak pada pandangan kita terhadap ide soal standar kecantikan yang ideal?
Dalam episode perdana FTW Media, kami mengajak kamu untuk kembali melihat bagaimana tiap-tiap media massa menggambarkan perempuan dalam produknya. Iklan bumbu dapur yang selalu memperlihatkan perempuan dalam peran-peran domestik, serial televisi yang lebih banyak menggambarkan perempuan tidak berdaya dan selalu ditindas sang suami, hingga novel-novel populer yang mengglorifikasi karakter laki-laki yang super toksik
Dengarkan podcast FTW Media di Spotify
Selain itu kami juga akan mengajakmu mengeksplorasi solusi-solusi apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah penggambaran perempuan yang lebih baik. Nah, pantengin terus setiap Selasa ya!
Meski masih menjadi PR besar semua pihak, beberapa perusahaan sudah mulai memiliki kebijakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendorong keseteraan gender.
Apa saja contohnya dan apa sih keuntungannya bagi perusahaan atau tempat kerja? Lalu apa peran pemerintah dalam mendorong lebih banyak perusahaan untuk melakukan ini?
Cari tahu jawabannya di episode episode terakhir How Women Lead, yang bisa kamu dengarkan di Spotify, Apple POdcast, dan layanan streaming podcast lainnya.Read More
Jarang sekali ada pembahasan soal apa yang diinginkan dan dibutuhkan perempuan pekerja. Padahal kendala yang dihadapi perempuan pekerja itu berlapis, termasuk hambatan saat mau menjadi pemimpin.
Kita denger yuk, apa yang diinginkan dan dibutuhkan perempuan, untuk mengembangkan dirinya lebih baik lagi. Simak di podcast How Women Lead, di Spotify, Apple, dan layanan podcast lainnya.Read More
Mengawali karier sebagai reporter Tempo tahun 1988, Gabriel Sugrahetty telah menduduki berbagai posisi di media tersebut, mulai dari editorial hingga divisi bisnis perusahaan. Setiap tantangan dia hadapi dengan pembelajaran tersendiri, hingga kini, sebagai konsultan bisnis, dia membantu perusahaan-perusahaan media di Indonesia dan Asia Tenggara membangun usaha mereka dan menghadapi krisis.
Di Episode 10 How Women Lead ini, simak bagaimana Hetty mengatasi berbagai tantangan yang sering kali ada karena gendernya, dan kenapa perempuan sering kali ditempati dalam posisi “tebing kaca” ketika perusahaan sedang mengalami situasi yang sulit.Read More
Ketika krisis moneter 1997 menghantam Asia, perusahaan Sariayu ikut terpukul. Namun, demi tidak mem-PHK para karyawan, perusahaan melakukan inovasi dan tidak hanya bertahan, tapi mengeruk keuntungan. Di tengah pandemi Covid-19, inovasi kembali dilakukan agar para pekerja tidak terkena imbas krisis.
Pemimpin Martha Tilaar Group, yang memiliki brand kecantikan Sariayu, Martha Tilaar dan Wulan Tilaar, paham bahwa jika bisnis ingin selamat, perusahaan agile, adaptif, juga berani.
Simak kisah kepemimpinan mereka di Spotify dan layanan streaming lainnya.Read More
Banyak yang meremehkan kemampuan Nyai Masriyah Amva, saat suaminya meninggal dan ia harus mengambil alih kepemimpinan Pesantren Pondok Jambu Al Islamy, Cirebon. Namun dengan dengan sabar, tekun, dan rasa penuh empati, Masriyah membuktikan bahwa ia tidak hanya mampu memimpin pesantren, tapi juga membawanya ke arah yang lebih baik dan progresif.
Simak kisah Nyai Masriyah dalam podcast How Women Lead, di Spotify dan layanan streaming podcast lainnya.Read More
Pandemi menghantam banyak sekali perusahaan, salah satunya perusahaan garmen PT Pan Brothers Tbk. Namun dengan gesit, perusahaan ini kemudian melakukan ‘pivot’ yang berarti untuk bertahan di tengah krisis.
Simak perbincangan podcast How Women Lead bersama Anne Patricia Sutanto, Vice CEO PT Pan Brothers, tentang cara menavigasi bisnis selama pandemi, dan bagaimana fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi sangat penting sebagai pemimpin.Read More