Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Ditulis oleh Ika Krismantari dkk.

Ketekunan Adi Utarini, seorang ilmuwan perempuan Indonesia dan Guru Besar Bidang Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam meneliti sejak 2011 membuahkan hasil manis. Ia berfokus pada pembasmian demam berdarah di Indonesia dan hasil penelitiannya tersebut telah berhasil menurunkan 77 persen kasus demam berdarah di area Yogyakarta pada Agustus lalu.

Penelitian Prof Uut, panggilannya, mampu merekayasa dan membiakkan nyamuk penyebar virus demam berdarah, Aedes aegypti, yang mengandung bakteri Wolbachia. Bakteri ini terbukti membuat nyamuk tidak bisa mentransfer virus demam berdarah ke manusia.

“Jadi kita sudah berawal dari telur yang sudah ber-wolbachia, yang kemudian ini kita ternakkan dan kembangkan dengan nyamuk lokal sedemikian rupa, sehingga secara fisik dan genetik, ini memang match nyamuk lokal dan kemudian, they fall in love to each other,” tutur Prof Uut disusul tawa kecilnya.

Berkat keberhasilan proyek penelitian kesehatan ini, Prof Uut dianugerahi Habibie Awards, sebuah penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan yang aktif dan berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan inovasi pada tahun 2019.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Kata menyesal tidak pernah tersirat dalam pikiran Prof Uut dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka penelitian demam berdarah hingga pengalaman harus menjadi pasien COVID-19 yang akhirnya merenggut nyawa suaminya, Guru Besar UGM Iwan Dwiprahasto, mengajarkannya tentang hal itu.

Mengingat kembali peristiwa itu, terasa berat bagi Prof Uut untuk bisa menerima keadaan dan juga harus memberi penjelasan kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Ia harus melakukan berbagai cara untuk bisa menghadapi dan menerima cobaan tersebut secara tulus. Menulis jurnal adalah salah satu hiburan dalam kesehariannya di ruang isolasi ketika menjadi pasien COVID-19.

Lewat ujian ini, ia pun semakin menyadari betapa pentingnya setiap dukungan, termasuk relasi yang lebih intens kepada Sang Pencipta.

“Yang tadinya tidak terlalu ‘padat’ hubungannya dengan Tuhan, sekarang jadi lebih macetmungkin”, tuturnya.

Selama menjalani isolasi, Prof Uut menyadari pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar seperti teman, keluarga, kolega, dan bahkan tenaga kesehatan dalam kesembuhan pasien COVID-19. Pengalamannya itu menginspirasi dia untuk menulis dan menerbitkan artikel ilmiah tentang pelayanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang berpusat pada orang-orang terdekat.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Setelah sembuh dari COVID-19, banyak yang berubah dalam diri Prof Uut. Salah satunya adalah muncul kebiasaan baru untuk mengikuti senam bersama dengan tetangga sekitar.

“Saya sangat berterima kasih ke ibu-ibu tetangga saya yang selama pandemi mempunyai kebiasaan senam di luar, di jalan saban hari, saban hari, lho!” ujarnya.

Profesor Adi Utarini Merupakan Ilmuwan Perintis

Prof Uut menjelaskan bahwa dia tertarik menjadi dokter karena ingin jalan-jalan ke daerah terpencil di Indonesia.

“Awalnya sih pengen jadi dokter seperti biasa, itu kan artinya bekerja di klinik ya, bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan gitu. Nah, saat itu saya pengin banget kerja di Puskesmas. Asyik aja, bisa pergi agak jauh kemudian bisa bergaul dengan masyarakat,” ujar Profesor Adi Utarini.

Namun, kenyataan bahwa dia adalah putri paling kecil di keluarga membuatnya harus berpikir ulang. Akhirnya, berkat inspirasi dari mendiang ayahnya, Muhammad Ramlan, yang juga merupakan guru besar di Fakultas Sastra UGM, Prof Uut menjadi dosen dan akhirnya memutuskan terjun di bidang kesehatan masyarakat.

Selama perjalanannya menempuh pendidikan ini, ia punya berbagai kenangan manis. Salah satunya ketika dia melakukan perjalanan ke daerah pelosok di Sumatra Barat.

“Perjalanan setengah hari nonstop dan melewati sungai, batu-batuan, dan sebagainya untuk bisa sampai ke Puskesmas yang paling pinggir. Nah, itu kayak gitu tuh, haduh, sangat seru!” kata Prof Uut.

Baca juga: Bias Kelas dalam Diskursus Pemerintah soal COVID-19

Dengan jiwa petualangnya yang tidak pernah mati, ibu dari satu anak ini juga menekuni kebiasaan barunya yakni bersepeda. Perlahan dari 3-10 menit, 15 menit, hingga bisa menempuh jarak paling jauh yakni dari Yogyakarta ke Madiun, Jawa Timur, sejauh 180 kilometer.

Bersepeda membuat Prof Uut lebih memaknai filosofi kehidupan untuk terus maju dan mengayuh meski ada suatu tantangan atau kendala.

“Kadang-kadang hidup ada tanjakan, ada turunan, but it’s everything will be okay as long kita mencoba keep rolling,” kata dia.

Setelah sembuh dari COVID-19, Profesor Adi Utarini pun kembali menata mimpi-mimpinya yang lain. Ia kini punya tekad untuk bisa naik haji, menulis, dan fokus pada keluarga. Ia juga ingin memperluas proyek Wolbachia ke berbagai daerah.

“Ya kita merencanakan yang terbaik, tapi nanti Tuhan yang menentukan.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ika Krismantari adalah Deputi Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Prodita Sabarini adalah Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Wiliam Reynold adalah Editor, The Conversation Indonesia.

Read More

Episode 7 – Adaptable and Flexibility

Pandemi menghantam banyak sekali perusahaan, salah satunya perusahaan garmen PT Pan Brothers Tbk. Namun dengan gesit, perusahaan ini kemudian melakukan ‘pivot’ yang berarti untuk bertahan di tengah krisis.

Simak perbincangan podcast How Women Lead bersama Anne Patricia Sutanto, Vice CEO PT Pan Brothers, tentang cara menavigasi bisnis selama pandemi, dan bagaimana fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi sangat penting sebagai pemimpin.
Read More

Episode 6 – The Power of Connection

Ketika konflik di Poso pecah pada 2002 silam, Pendiri sekolah perempuan dan institute Mosintuwu, Lian Gogali menemukan banyak cerita dari para perempuan Poso yang jarang sekali ia dapatkan dari pemberitaan media nasional, salah satunya bagaimana perempuan-perempuan di Poso justru saling membantu satu sama lain antar agama antar komunitas.

Salah satu hal yang digarisbawahi oleh Lian dalam percakapan bersama Tim kami beberapa bulan lalu yaitu pentingnya kita menjadi seorang pendengar yang baik dan juga aktif. Menurut Lian mendengarkan itu juga berakar pada kemauan kita untuk memahami hidup sehari-sehari mereka itu seperti apa.

Read More

Episode 5 – The Builder

Panggung politik adalah kawah Candradimuka bagi perempuan. Budaya super maskulin dan patriarkal menghambat keterlibatan dan keterwakilan perempuan di sektor ini.

Titi Anggraini dari Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) termasuk yang paling aktif dan vokal dalam menyuarakan isu ini. Apa saja tantangan yang dihadapinya selama satu dekade memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik?

Read More

Episode 4 – The Courageous Pioneer

Meski sejak kecil tidak tertarik dengan sains, Wakil Kepala Lembaga Eijkman Profesor Herawati Sudoyo sekarang menjadi salah satu bagian penting di jajaran Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Seperti apa kesibukannya? Bagaimana Prof. Hera berhasil membuktikan kemampuannya dan membuktikan pentingnya sains ketika saat itu kebanyakan orang tidak terlalu peduli?

Read More

Episode 3 – Athena Model: Nilai-Nilai yang “Feminin” untuk Dunia yang Lebih Baik

Ada yang sudah membaca buku The Athena Doctrine, How Women and the men who think like them will rule the future? Ada yang berpikir kalau yang disampaikan penulis sebuah utopia belaka?

Yang jelas, penulis ternama John Gerzema dan tandemnya, pemenang Pulitzer Michael D’ Antonio melakukan riset panjang sebelum menuangkan gagasannya pada buku itu. Gak main-main keduanya hampir empat kali menjelajah keliling dunia, mewawancarai 64 ribu orang di 25 negara. Dari Kolombia ke Bhutan, Berlin ke Burma. Mereka mempelajari bagaimana para inovator mengerahkan kekuatan dan nilai-nilai feminin untuk dapat pulih dari krisis ekonomi dan sosial serta menciptakan masa depan yang lebih penuh harapan.

Di episode ini Devi Asmarani dan Hera Diani juga bertanya kepada sejumlah orang tentang bagaimana persepsi mereka terhadap kepemimpinan perempuan. Selamat mendengarkan!

Credit: Saint Seiya Legend of Sanctuary Trailer (Youtube), Athena – Epic Music Orchestra for the Goddess of War and Wisdom – Ancient Gods ( Composer: Sebastien Angel), Athena Doctrine ( Youtube:Wiley)
Read More

Episode 2 – Bye Kepemimpinan Macho!

Era kepemimpinan macho sudah tamat. Perempuan-perempuan yang teropresi dalam sebuah negara bernama Gilead itu melakukan perlawanan. Anda sudah membaca novel The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood, atau menonton serial televisi dengan judul yang sama? Film ini memang dipenuhi penggambaran nilai-nilai maskulinitas tradisional yang ditegakkan dan ditentukan oleh karakter-karakter laki-laki di dalam sebuah rezim. Nah, dalam kehidupan nyata, perlawan perempuan terhadap ketidakadilan dan diskriminasi bisa kita temukan dalam sejarah.

Selengkapnya kita simak cerita Devi Asmarani dan Hera Diani di episode ke dua How Woman Lead.
Selamat mendengarkan!

Credit: The Handmaid’s Tale (TV Series)
Read More

Episode 1 – Giliran Perempuan Memimpin

Laki-laki lebih pantas jadi pemimpin karena perempuan terlalu emosional? Itu pendapat yang so yesterday!

Sudah banyak sekali perempuan yang membuktikan mereka bisa menjadi pemimpin yang baik dan sangat efektif. Artinya, semua perempuan punya peluang berhasil memimpin, meskipun menghadapi tantangan berbasis gender dalam kehidupan personal maupun profesional mereka. Salah satu kuncinya adalah kebijakan tempat kerja yang inklusif, yang tidak hanya membantu karier perempuan, tetapi juga mendatangkan keuntungan lebih bagi perusahaan atau institusi.

Mengawali podcast How Woman Lead, Devi Asmarani dan Hera Diani membahas problem umum yang kerap dihadapi perempuan pekerja dan bagaimana hal itu mestinya direspons. Selamat mendengarkan!

Credit:
Christine Lagarde in conversation with Women In The World founder
and CEO Tina Brown (YouTube: Women in the World, 2018)
Read More