“Han, gue ada kabar buruk yang mau disampaikan. Gue sudah ngirim surat resign. Bulan depan gue terakhir di sini.”
Di saat kami sedang beristirahat setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota, kata-kata itu tiba-tiba diucapkan oleh teman kerja sekaligus teman serumah saya. Rasa lelah yang saya rasakan langsung terganti perasaan kaget karena mendengar hal itu. Sebetulnya, saya sudah tahu bahwa dia ada rencana untuk resign dan ingin fokus pada penyembuhan diri karena selama ini ia sedang berjibaku dengan depresi, tapi tetap saja, I did not see it coming this fast.
Meski sudah dari lama mengantisipasi saat teman saya ini benar-benar resign, perasaan kehilangan itu cukup membuat saya terpukul. Di kantor mungkin kami hanya sebatas rekan kerja, tapi di luar itu kami dan teman-teman yang lain sering menghabiskan waktu bersama. Rasanya aneh ketika nanti berkumpul tak ada kehadirannya.
Sebetulnya, rasa kehilangan seperti ini bukan pertama kali saya rasakan. Setahun lalu, managing editor saya juga memutuskan untuk tak lagi terlibat di redaksi. Beberapa bulan setelahnya, disusul editor lain yang juga ikut hengkang. Tak mudah bagi saya untuk overcome kepergian mereka, mengingat keduanya adalah teman diskusi dan editor pertama saya semenjak memutuskan terjun ke dunia jurnalistik.
Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan
Walaupun saya tahu, keputusan itu merupakan jalan terbaik yang sudah mereka pilih, pada akhirnya saya hanya bisa memberi dukungan. Akan tetapi, selayaknya menghadapi proses patah hati dengan pasangan, rasa kehilangan juga sangat mungkin dirasakan saat teman kerja kita resign. Di minggu pertama kepergian mereka misalnya, saya merasa hampa, gelisah, dan tidak nyaman. Hal serupa juga dirasakan teman kerja lain. Dia bahkan menyuruh saya bertanya pada editor sebelumnya, apakah tidak mau balik lagi saja ke redaksi. Saya bisa paham, karena memang proses beradaptasi dengan orang baru itu sangat melelahkan, apalagi jika kita sudah nyaman dengan orang lama.
Psikolog organisasi asal New York, Amerika Serikat, Dr. Orbe-Austin, mengatakan bahwa perasaan kehilangan itu merupakan hal wajar karena kita sudah melewati banyak keseharian dengan rekan kerja.
“Kita membagikan momen-momen sedih, kecewa, dan menggembirakan dengan rekan kerja. Ada semacam koneksi, support dan hubungan sosial yang terjalin,” ujarnya kepada The New York Times.
Meski merupakan perasaan yang wajar, kebanyakan orang masih sering kali enggan mengekspresikannya karena menganggap hal itu hanya bagian dinamika pekerjaan. Padahal, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rasa kehilangan bisa memengaruhi kinerja kita dan produktivitas. Tak jarang, kehilangan rekan kerja juga bisa membuat pekerja lain punya keinginan untuk resign.
Dr. Brandon Koh dalam tulisannya Colleagues Who Resign Create an Emotional Hole in the Teams They Leave Behind juga mengatakan bahwa selain bisa berpengaruh secara psikologi, kehilangan rekan kerja bisa mempengaruhi cara kerja tim. Apalagi, jika penggantinya ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Lingkungan kerja dan teman kerja sekarang ini jadi salah satu aspek penting yang jadi pertimbangan pekerja bisa bertahan di suatu perusahaan.
“Mereka yang ditinggalkan akan mulai berpikir bahwa tempat kerja yang dulu nyaman kini tak lagi sama,” tulis psikologi industri-organisasi dan dosen Singapore University of Social Sciences itu, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menghadapi Rasa Kehilangan Teman Kerja yang Resign?
Hal pertama, yang penting dilakukan adalah meregulasi emosi yang dirasakan. Daripada menginvalidasi perasaan sedih dan kehilangan karena cuma tidak mau dianggap “lebay”.
Pahami bahwa apa pun yang dirasakan itu valid. Dalam tulisannya, Koh juga menyarankan untuk membicarakan apa yang kita rasakan ke sesama rekan kerja lain. Namun tentunya, kita juga harus memikirkan apakah orang yang nanti diajak bicara juga punya kesiapan mental yang sama dalam merespons hal ini.
Selain membicarakan secara terbuka apa yang kamu rasakan, berikut ini beberapa hal lain yang juga kamu bisa lakukan:
1. Menjaga relasi dengan rekan kerja meski sudah tidak satu kantor
Ketika mengungkapkan kesedihan setelah teman kerja saya mengabarkan resign, dia menegaskan bahwa kepergiannya dari perusahaan tak lantas membuat hubungan pertemanan kami kandas. Ia masih mau ikut berkumpul saat saya dan teman-teman lain makan bersama selepas kerja, atau sekadar nongkrong untuk melepas penat.
Meski mungkin, ini tidak semudah yang dibayangkan karena pasti nantinya kita akan punya kesibukan masing-masing. Namun, penting untuk memahami bahwa di luar pekerjaan, kita tetap teman. Kita bisa mulai dengan menjaga relasi baik walau di keseharian sudah tak ada hubungan kerja.
2. Mungkin rekan kerjamu hanya butuh dukungan
Kamu mungkin merasa sedih kehilangan rekan kerja karena tidak akan menemuinya lagi di kantor, tapi jangan lupa bahwa hal yang ia butuhkan adalah dukungan. Apalagi, jika alasan rekan kerjamu hengkang karena masalah kesehatan mental.
Keputusannya pergi bisa jadi sudah dipikirkan matang dengan segala konsekuensinya. Pada akhirnya, kita hanya bisa mendukung mereka.
Baca juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor
3. Merefleksikan kembali posisi dan pekerjaan
Kepergian rekan kerja sering kali membuat kita berpikir tentang posisi dan pekerjaan yang sedang kita jalani. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan hal itu. Kepergian dan kedatangan memang membuat kita berpikir bahwa kita tidak akan selamanya bekerja di tempat kerja sekarang.
Memetakan karier, posisi, dan value dalam diri penting agar kamu tahu apa yang akan dilakukan ke depannya.
4. Bicarakan dengan atasan
Proses resign seseorang biasanya diikuti dengan obrolan dan evaluasi dengan atasan. Orang yang akan pergi memberikan masukan agar perusahaan punya kebijakan yang lebih baik untuk pekerjanya.
Namun, selain orang yang resign, sebetulnya penting juga untuk kita terbuka pada atasan tentang apa yang dirasa setelah rekan kerja pergi. Tujuannya, untuk evaluasi tempat kerja yang sekarang, karena bukan tidak mungkin, kepergian mereka dipengaruhi faktor lingkungan kerja yang tidak suportif atau mungkin karena politik kantor.
5. Proses adaptasi yang harus pelan-pelan dijalani
Sama halnya dengan proses orang untuk move on, kita pasti harus melalui pendekatan dengan orang baru. The truth is, fase ini tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi jika kasusnya ternyata orang baru ini sangat berbeda dengan rekan kerja sebelumnya. Kita mungkin akan membandingkan bagaimana kenyamanan antara rekan kerja sekarang dengan sebelumnya. Hal itu berpotensi membuat kita semakin mengingat rekan kerja yang dulu.
Daripada begitu, lebih baik kita melakukan penyesuaian pelan-pelan. Jangan bebankan ekspektasi yang sama terhadap orang baru, karena cara orang mengatasi pekerjaan itu berbeda-beda.