Saat menjadi pembawa acara penghargaan film Golden Globes 2014, komedian Tina Fey menyindir diskriminasi usia atau ageisme yang marak di industri film Hollywood dalam monolog pembuka perhelatan tersebut.
“Meryl Streep brilian banget di film August: Osage County. Membuktikan bahwa masih ada peran-peran dahsyat di Hollywood untuk Meryl Streep setelah berusia 60 tahun,” ujarnya disambut gelak tawa hadirin.
Pernyataan itu akurat menggambarkan ageism atau diskriminasi usia terhadap perempuan di industri film tersebut. Aktris yang telah berumur biasanya lebih sulit mendapatkan pekerjaan, digantikan oleh wajah-wajah baru yang jauh lebih muda yang secara fisik dianggap lebih menarik. Hanya ada satu-dua pengecualian, seperti pada aktris peraih Oscar, Meryl Streep.
Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin
Di dunia kerja secara umum, diskriminasi usia terhadap perempuan juga marak. Perempuan yang berada di usia reproduksi aktif sering kali dihadapkan dengan stereotip tentang status mereka sebagai seorang istri dan ibu sehingga dianggap tidak dapat melakukan beban kerja sebanyak pria. Sementara perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung dikategorikan sebagai pekerja dengan performa yang kurang baik.
Meskipun sebagian di antaranya disampaikan secara tersirat, empat film ini telah menyuarakan isu ageisme terhadap perempuan di tempat kerja. Melalui karakter dan alur ceritanya, kita dapat mempelajari cara memperjuangkan hak untuk tetap bekerja jika suatu saat harus berhenti dipekerjakan karena alasan ageisme.
1. What Men Want (2019)
Film tentang ageisme pertama yang saya bahas adalah What Men Want. What Men Want menceritakan tentang Ali Davis (Taraji P. Henson), seorang agen atlet yang sukses, yang merasa dikucilkan oleh rekan-rekan kerjanya yang sebagian besar adalah laki-laki. Ia tidak pernah mendapatkan promosi jabatan karena sang atasan menganggapnya kurang mampu berhubungan baik dengan laki-laki.
Davis kemudian memutuskan untuk pergi ke paranormal agar ia dapat mengetahui isi pikiran pria. Tak disangka, kemampuan itu ia miliki setelah mengalami kecelakaan sepulang dari rumah sang paranormal.
Film ini menampilkan stereotip bagaimana perempuan cenderung suka hal-hal “mistis”. Namun, film ini menggambarkan bagaimana perempuan hanya perlu memprioritaskan dan memahami perasaan dan isi kepalanya sendiri, tanpa harus berupaya keras memahami isi pikiran pria, karena keberadaan mansplaining sudah sangat menjelaskan perspektif mereka.
2. The Intern (2015)
Selain karakter Ben Whittaker (Robert De Niro) yang mengalami ageisme sebagai seorang lansia, Jules Ostin (Anne Hathaway) selaku founder dan CEO sebuah perusahaan rintisan tempat Ben magang pun merasakan hal yang sama. Ia diminta untuk memberikan jabatannya ke orang lain lantaran para investor menganggap dirinya yang perempuan dan seorang ibu sudah tidak dapat mengatasi beban kerja.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
Padahal, Ostin telah mengembangkan startup itu menjadi sebuah perusahaan besar hanya dalam 18 bulan. Ia pun mempertimbangkan untuk melepaskan jabatan tersebut demi menyelamatkan pernikahannya
3. Film Tentang Ageisme Terhadap Perempuan Pekerja: The Devil Wears Prada (2006)
Posisi Miranda Priestly (Meryl Streep) selaku pemimpin redaksi Runway Magazine nyaris digantikan karena jajaran direksi menganggap perannya perlu dipegang oleh sosok perempuan yang lebih muda, yakni Jacqueline Follet (Stephanie Szostak).
Baca Juga: 5 Film yang Menunjukkan Kompleksitas Perceraian
Meskipun harus mengorbankan seorang rekan kerja demi menyelamatkan posisinya, Priestly dapat mengatasinya dengan memberikan opsi bagi Follet untuk mengisi bangku Creative Director bersama seorang desainer. Alhasil ia tetap menggerakkan Runway.
Memang terkesan licik, tapi karakter Priestly mencerminkan perempuan yang harus memperjuangkan haknya apalagi jika ia sudah berumur. Ia membuktikan bahwa usia bukan batasan bagi seorang perempuan untuk berhenti berkarya.
4. Duty Free (2021)
Mencari pekerjaan di usia lanjut merupakan salah satu kesulitan yang akan dihadapi seseorang karena dianggap optimalisasi dalam melakukan pekerjaan yang jauh berkurang. Hal ini terbukti melalui Duty Free, sebuah film dokumenter dengan karakter utama Rebecca Danigelis, yang dipecat dari profesinya sebagai seorang housekeeping supervisor di sebuah hotel.
Baca Juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor
Kehilangan pekerjaan membuatnya merasakan sesuatu yang kurang dalam dirinya, sedangkan ia merasa tidak dapat berbuat apa pun, sesederhana menyusun daftar riwayat hidup untuk kembali mencari pekerjaan.
Hati kita akan dibuat pilu akibat harus menyaksikan seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat ageism, saat ia hanya ingin memiliki sumber penghidupan agar merasa aman di lingkungan sosial. Untunglah anak sulungnya menghibur sang ibu dengan mengajaknya berkeliling ke dua benua.