Perempuan yang masuk ke ranah kerja sudah bukan hal yang asing di Indonesia, namun perempuan masih dihadapkan dengan stigma tidak bisa bekerja seefektif seperti laki-laki karena dibebani tugas-tugas rumah tangga. Selain itu, perempuan juga masih menghadapi diskriminasi berlandaskan nilai patriarkal, seperti kesulitan mencapai posisi kepemimpinan karena dinilai sebagai ranah laki-laki, hingga tidak menerima insentif finansial tambahan akibat dianggap bukan pencari nafkah utama atau kepala rumah tangga.
“Ada perbedaan kesempatan perjalanan karier karena masih banyak yang diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Alasannya karena dinilai kurang produktif, fokus, dan harus mengurus anak dan keluarga,” ujar Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE), pada Women Lead Forum 2021 (7/4), yang diadakan oleh Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia.
Maya menambahkan, kesenjangan gender juga masih ditunjukkan dengan kurangnya representasi perempuan dalam posisi pemimpin senior di sebuah perusahaan.
“Angka perempuan menduduki posisi CEO kurang dari 5 persen, padahal perempuan lulusan perguruan tinggi mencapai 57 persen. Ketika masuk kerja angka menjadi 47 persen, dan terus turun mencapai 20 persen ketika masuk level middle management,” ujarnya.
Meski demikian, menurut hasil riset The Business Case for Women in Business and Management In Indonesia (2020), yang dilakukan oleh IBCWE, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Investing in Women, 77 persen perusahaan di Indonesia sangat setuju dengan keberagaman gender di tempat kerja karena mampu memperbaiki performa bisnis. Persentase tersebut menjadi yang paling tinggi di Asia dan wilayah Pasifik.
Agar tercipta ruang kerja profesional yang setara, menurut Maya, komitmen kesetaraan gender di kantor akan memberikan ruang ramah perempuan harus dimulai dari posisi paling atas sebuah perusahaan atau top to bottom.
“Pemimpin perusahaan kemudian harus mengkomunikasikan kepada pekerja dan manajemen. Karena ada juga CEO dukung perempuan tapi level manajemen tidak mendukung, jadi tidak mengalir ke bawah,” ujarnya.
Baca juga: Marta Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha
Cara Perusahaan Indonesia Dukung Pemimpin Perempuan di Tempat Kerja agar Terciptanya Kesetaraan Gender
Suzy Hutomo, Executive Chairperson dan Owner The Body Shop Indonesia, mengatakan, pihaknya membuka lebar kesempatan agar perempuan bisa terus berkarier hingga posisi pemimpin. The Body Shop juga hanya merekrut calon pekerja yang terlepas belenggu nilai patriarkal dan tidak mendiskriminasi perempuan, ujarnya.
“Dalam jajaran board director, dari delapan orang ada empat perempuan, termasuk saya. Kami sangat mempersilakan perempuan menjadi direktur karena fokus pada gender balance,” kata Suzy.
Ia mengatakan, isu perempuan di level pemimpin senior tidak lepas dari isu sistemis. Karenanya, perusahaan harus memperhatikan pertimbangan lain yang dimiliki perempuan untuk menerima dan menolak posisi pemimpin. Misalnya, seorang perempuan yang menolak pindah ke daerah lain untuk menduduki posisi direktur karena keluarga.
“Itu juga pilihan dia dan kita harus menghargai itu,” kara Suzy.
CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi mengatakan, kesetaraan gender di kantor atau tempat kerja untuk Citi secara global berangsur-angsur baik. Jika pada 2007 hanya Citi di tiga negara yang memiliki country head perempuan, sekarang ini jabatan tersebut telah diisi perempuan di lebih dari 20 negara.
Dalam Citi Indonesia sendiri ada 57 persen pekerja perempuan dan 43 persen laki-laki, ujarnya. Meskipun begitu, Batara memiliki fokus pencapaian tersendiri agar perempuan di posisi senior, seperti vice president, senior vice president, director, dan managing director mencapai 53,6 persen tahun ini, naik dari 52,8 persen pada tahun sebelumnya. Upaya peningkatan tersebut merupakan bentuk nyata agar kesetaraan gender di kantor terlembagakan dalam sebuah perusahaan, ujarnya.
“Kita ingin memberikan diversity, inclusivity, dan equity. Kalau ada yang bicara perempuan kurang dari laki-laki itu perlu dihapuskan. Jadi ini harus terlembagakan agar tidak dipandang sebagai tokenisme perempuan di posisi strategis,” ujarnya.
Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan
Aturan Kerja yang Fleksibel Dukung Perempuan Berkarier
Maya mengatakan banyak perusahaan yang telah mengupayakan ruang setara dalam ranah profesional, melalui kebijakan. Namun, implementasinya masih belum maksimal karena ketidaktahuan personil perusahaan atas kebijakan tersebut atau dinilai masih kurang penting, ujarnya.
Selain itu, upaya kesetaraan gender di kantor yang dilakukan masih sering melupakan pengalaman berbeda yang dimiliki perempuan dengan laki-laki, sehingga berpengaruh pada keputusan mereka mengambil posisi strategis dalam ruang kerja, kata Maya.
Ia mengatakan, ketika kesempatan menduduki posisi pemimipin yang setara hadir, perempuan cenderung mempertimbangkan apakah dirinya telah memenuhi kriteria seorang pemimpin. Dan jika merasa tidak memenuhi syarat, maka ia akan mempertimbangkan lagi kesempatan itu. Hal ini menunjukkan, perempuan lebih perfeksionis karena sering dituntut untuk mampu multitasking, ujar Maya.
“Menurut saya, penting perusahaan menyadari beban psikologis perempuan akibat cara kita dibesarkan. Karena equal opportunity saja tidak cukup, harus ada affirmative action. Harus proaktif dalam mendukung perempuan naik ke level atas,” ujarnya.
Batara mengatakan, rasa ragu untuk mengambil posisi pemimpin juga dipengaruhi dari generasi seseorang berasal. Generasi milenial dan Z merasa lebih percaya diri dan tidak ragu mengambil kesempatan pemimpin karena menilai itu sebagai hak dan juga dibesarkan dengan cara pandang yang lebih setara. Hal tersebut berbanding terbalik dengan generasi X yang harus didukung oleh kebijakan perusahaan yang proaktif, ujarnya.
“Generasi X mungkin masih tradisional dan konservatif dalam memandang sesuatu, maka kebijakan setara lebih bermanfaat untuk mereka. Generasi milenial dan Z langsung go for it saja. Mereka lebih muda, mengglobal, dan itu kultur mereka,” tambahnya.
Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan
Selain affirmative action, Maya menilai regulasi untuk mencegah kekerasan berbasis gender, kekerasan rumah tangga, dan pelecehan seksual harus diberlakukan. Suzy mengatakan dalam sebuah organisasi atau perusahaan besar perlu dilakukan pendekatan dan survei agar mengetahui apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual. Selain itu, edukasi tentang apa itu kekerasan dan pelecehan seksual menjadi penting.
“Kadang ada yang menjadi korban, merasa tidak nyaman, tapi tidak tahu itu pelecehan dan harus bertindak atau melapor ke mana,” ujar Suzy.
Menurut Maya, regulasi lain yang perlu diimplementasikan adalah aturan lebih fleksibel dalam pembagian tugas kerja atau flexible work arrangements policy yang mendukung perempuan menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kariernya.
“Buktinya saat pandemi dan semua harus kerja fleksibel ternyata kita bisa melakukan itu, ini sangat membantu perempuan,” katanya.