Ketika melemparkan pertanyaan apa kodrat perempuan, jawabannya sering kali tidak lepas dari anggapan yang mendomestifikasi perannya, seperti perempuan ditakdirkan untuk di rumah saja. Pandangan tersebut juga semakin menjamur dengan ajaran ultrakonservatif yang beredar di dunia maya. Perempuan yang kemudian melakukan sesuatu di luar rumah, seperti bekerja, dianggap melanggar norma.
Meski demikian, tanggapan semacam itu sudah sering dipatahkan. Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Kajian Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta mengatakan, kodrat dipahami sebagai hal biologis, seperti menstruasi, hamil, dan melahirkan. Sedangkan hal yang berkaitan dengan urusan domestik, seperti membuat kopi dan menyapu bukan kodrat, ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.
Karenanya, perempuan bebas berkiprah di ruang profesional dan memulai karier. Selain itu, pemerintah juga memiliki misi membangun kesetaraan gender untuk mencapai poin kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tujuan tersebut bisa dicapai dengan meningkatkan peran perempuan di ruang kerja.
Akan tetapi, miskonsepsi tentang kodrat perempuan kerap menghambat kiprah di ruang profesional. Berikut empat kesalahpahaman itu dan penjelasannya:
1. Kodrat Perempuan: Sumur, Kasur, dan Dapur
Anggapan tugas perempuan hanya berkisar pada sumur, kasur, dan, dapur merupakan miskonsepsi kodrat perempuan yang dilanggengkan budaya patriarki. Karenanya, perempuan yang ingin mengambil peran lain akan dinilai menyimpang. Selain itu, kelompok konservatif agama menyebutnya sebagai bentuk perusakan nilai keluarga akibat feminisme. Sementara feminisme ingin menunjukkan ruang domestik adalah milik semua orang dan perempuan mempunyai hak untuk memilih peran yang diinginkannya.
Menurut Nurul Bahrul Ulum, seorang feminis muslim yang mengadvokasikan hak perempuan, kodrat tidak berkaitan dengan konstruksi sosial, seperti peran gender dan tugas domestik. “Sumur, dapur, dan kasur itu konstruksi sosial, artinya bisa dipertukarkan dan bisa diubah tergantung situasinya,” ujar Nurul dalam sesi Instagram live Magdalene, Bisik Kamis ‘Bicara Feminisme dan Agama Bisakah Seirama” (10/3).
Regional Director Ashoka Southeast Asia Nani Zulminarni juga mengatakan, pembagian tugas domestik yang adil pun dan membebaskan perempuan pekerja dari beban ganda akan membuka peluang lebih besar untuk perempuan berkarier.
“Ranah publik dan domestik sama-sama menjadi tanggung jawab pasangan, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan perempuan bisa semakin produktif,” kata Nani dalam webinar ‘Chose to Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja’, Maret lalu.
2. Kodrat Perempuan yang Tidak Boleh Bekerja
Miskonsepsi kodrat tentang perempuan dilarang bekerja juga menjadi hal utama yang menghambat perempuan berkompetisi di ranah profesional dan mengetahui potensinya. Tidak jarang juga pendapat ‘wanita fitrahnya di rumah. Jika dia suka keluyuran dan betah di luar rumah, berarti dia sudah keluar dari fitrahnya’ digaungkan untuk menghalangi perempuan berkarier.
Selain itu, ada juga yang menilai perempuan pekerja sangat terikat dengan hal duniawi dan egois karena bekerja untuk nilai materiil. Hasilnya, mereka yang memutuskan untuk bekerja dilabeli sebagai perempuan yang melanggar perintah Tuhan.
Meski demikian, dalam ajaran agama disebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, Iklilah MD Fajriyah mengatakan, semakin besar cakupan kemanfaatan seseorang, maka derajat kebaikannya akan lebih tinggi.
“Kalau kita melihat bahwa bagaimana hukum perempuan bekerja di dalam Islam, saya dalam posisi meyakini bahwa bekerja itu bukan hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan namun dianjurkan karena merujuk pada hadis tadi,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.
Meski demikian, bukan berarti ibu rumah tangga rendah derajatnya karena mereka memberi manfaat bagi keluarganya. Selain itu, perlu dipahami juga poin kritis menghalangi perempuan untuk memiliki kemandirian finansial adalah bentuk kekerasan. Karenanya, ketika ada pilihan untuk tidak bekerja dilakukan tanpa paksaan, keinginan sendiri, dan tidak merugikan bagi semua yang terlibat.
3. Perempuan Bukan Seorang Pemimpin
Ketika perempuan mulai berkancah di ranah profesional mereka kerap terbentur oleh prasangka perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena terlalu emosional, sehingga sulit mengambil keputusan secara logis. Tanggapan semacam itu juga yang menegaskan bukan kodrat perempuan menjadi pemimpin.
Hal tersebut juga terus langgeng karena ranah kerja belum ramah akan kesetaraan gender. Belum lagi dibumbui dengan ungkapan bahwa perempuan tidak akan fokus bekerja karena mereka harus mengurus rumah tangga.
Meski demikian, kemampuan kepemimpinan seseorang tidak bergantung pada jenis kelamin dan gendernya. Selain itu juga dibutuhkan ruang kerja inklusif yang mendukung keberagaman, dan aturan fleksibel untuk perempuan dengan peran ganda di ruang domestik dan profesional.
Selain itu, jika perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang dicap ‘feminin’, seperti lembut, komunikatif, dan berempati, bukan sesuatu yang buruk. Merujuk pada buku Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future oleh John Gerzema dan Michael D’Antonio, tipe kepemimpinan feminin lebih efektif untuk mencapai kesuksesan.
Keduanya menekankan, model kepemimpinan itu lebih diharapkan daripada karakteristik yang sering dicap maskulin karena mengutamakan koneksi antar pekerja dan pemimpin, lebih terbuka, serta jujur dalam menyampaikan perspektif beragam untuk menemukan solusi.
4. Perempuan Harus Menikah dan Menjadi Ibu
Pernikahan dan menjadi ibu sering dibingkai sebagai perjalanan terakhir yang harus dilakukan perempuan. Setelah memutuskan untuk menikah dan menjadi ibu lalu dibenturkan dengan pernyataan untuk tidak melanjutkan kerja. Pasalnya, sebagai ibu dan istri harus mengurus dan berbakti pada keluarga dengan tinggal di rumah.
Meski demikian, tidak semua perempuan menikah dan menjadi ibu. Beberapa perempuan yang menikah juga tidak memiliki anak, childfree menjadi salah satu alasannya. Konsep kodrat yang berkaitan dengan hal biologis, seperti melahirkan pun menjadi pilihan, sama halnya dengan menikah atau tidak.
Mengutip Ann Oakley, feminis asal Inggris, miskonsepsi kodrat perempuan menjadi ibu berakar dari konsep motherhood bahwa semua perempuan harus menjadi ibu karena dilahirkan dengan naluri keibuan. Oakley sendiri berpendapat konsep naluri ibu tidak ada.
Oakley juga mengatakan ada asumsi ibu biologis yang paling dibutuhkan anak, akan tetapi ibu sosial juga bisa memberikan kasih sayang kepada anak. Selain itu, anak membutuhkan collective mothering, orang dewasa terlibat dalam proses pertumbuhan anak tanpa memandang gendernya.
Ketika perempuan juga telah berkeluarga, tetap menjadi haknya memilih untuk lanjut bekerja atau tidak. Perempuan bebas memilih peran, menjadi ibu, pekerja, atau keduanya. Masalah terletak ketika masyarakat mengotak-ngotakkan dan menyalahkan peran yang mereka pilih. Selain itu, ketika menjalankan perannya perlu kantor yang menyediakan hak perempuan serta dukungan keluarga agar perempuan tidak sendiri menanggung beban ganda.