“Saya sangat bersyukur dan terhormat karena jurnalis mendapatkan perhatian, artinya komite menunjukkan jurnalis menerima serangan. Mungkin masa depan kita akan bergantung pada seberapa baik kita bekerja.”
Kata-kata ini diungkapkan Maria Ressa jurnalis Filipina kepada Al Jazeera, setelah meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 pada 8 Oktober lalu. Bersama Dmitry Andreyevich Muratov, Ressa memenangkan penghargaan tersebut karena upayanya melindungi kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat demokrasi dan perdamaian. Dengan berani ia menyoroti perihal penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme di Filipina.
Berprofesi sebagai jurnalis selama puluhan tahun, perempuan berusia 58 tahun itu menyatakan kehadiran teknologi membuat platform berita kehilangan kekuatannya dalam melakukan gatekeeping. Situasi ini membuat fakta menjadi diperdebatkan di ruang publik, sehingga batas antara fakta dan kebohongan menjadi kabur.
Kepada CNN, Ressa mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pemilihan presiden Filipina pada 2022. Ia menyampaikan, jika platform yang menyampaikan berita bias terhadap fakta, integritas pemilu dipertanyakan karena yang disebarkan adalah kebohongan dan kebencian.
“Filipina tidak akan keluar dari situasi ini apabila fakta, penalaran berdasarkan bukti, dan realitas bersama tidak didapatkan,” ujarnya, menggambarkan situasi negaranya yang akan semakin terpecah.
Baca Juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban
Mendapat Ancaman Karena Mengkritik Pemerintah
Berawal dari sebuah laman Facebook bernama MovePH pada Agustus 2011, Ressa mendirikan Rappler pada Januari 2012 bersama sekelompok jurnalis lainnya. Mengutip Sydney Morning Herald, Founder dan Senior Editor Rappler, Chay Hofileña mengatakan, mereka melihat jurnalisme dan media sosial berpotensi membentuk perubahan sosial.
Lewat platform berita, mereka ingin menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, isu-isu misoginis, menyelidiki pengusaha ternama di Filipina, perang narkoba oleh Presiden Rodrigo Duterte, dan kampanye pembunuhan yang merenggut 20.000 nyawa.
Pada Oktober 2016, Maria Ressa jurnalis Filipina memublikasikan sebuah artikel berjudul “Propaganda war: Weaponizing the internet” di situs Rappler. Artikel ini menyoroti Duterte dan pendukungnya yang mengerahkan pasukan untuk mengintimidasi oposisi, menyebarkan disinformasi di internet, dan membungkam kritik. Artikel tersebut dianggap mendiskreditkan pemerintah, dan banyak komentar yang menyerang jurnalis atau media yang memublikasikannya.
Sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak menurut We Are Social, masyarakat Filipina menggunakan media sosial sebagai alat propaganda, sehingga disinformasi tumbuh dengan cepat.
Dari peliputan tersebut, banyak yang mempertanyakan kredibilitas Ressa sebagai seorang jurnalis. Ada yang menuduhnya berbohong dan mengatakan informasi yang disampaikan dalam artikel tersebut tidak akurat. Lebih dari itu, ia menerima lebih dari 2000 sumpah serapah di Facebook pada 2017. Penyerang itu menjulukinya dengan istilah-istilah kotor, hingga diancam akan mati, ditangkap, dan dipenjarakan. Bahkan, seorang laki-laki menyumpahinya diperkosa hingga mati.
Serangan itu tak hanya dilakukan oleh pendukung Duterte, sang presiden pun melakukan aksinya dengan menyebut Rappler dimiliki oleh Amerika Serikat, didanai oleh Central Intelligence Agency (CIA), dan media yang menyebarkan berita palsu. Dari serangan yang terjadi, jelas tampak bahwa kebebasan pers di Filipina terancam.
Dilansir The Guardian, persoalan tersebut membuat Securities and Exchange Commission (SEC), sebuah lembaga pemerintah Filipina yang bertanggung jawab mengatur industri sekuritas, mencabut surat izin Rappler. Namun, saat kasus tersebut dibawa ke pengadilan banding, disebutkan kasusnya tidak berdasar sehingga dikembalikan ke SEC.
Baca Juga: Mengenal Jia Ling, Sutradara Perempuan Tiongkok yang Sedang Meroket
Ditangkap Akibat Pencemaran Nama Baik
Pada Oktober 2017, Wilfredo Keng menuntut Ressa dan Reynaldo Santos, karena Rappler mempublikasikan artikel penyuapan Keng ke Hakim Agung Renato Corona. Sebetulnya artikel itu dipublikasikan pada 2012, sebelum Benigno Aquino III menandatangani UU tindakan pencemaran nama baik di dunia maya.Namun, karena ada kesalahan pengejaan, Rappler menerbitkan kembali artikel tersebut pada 2014, dan karena pada saat itu UU tindak pencemaran nama baik di internet sudah disahkan, Departemen Kehakiman menilai kasusnya dapat dilanjutkan.
Dari kasus tersebut, Ressa baru dinyatakan bersalah pada 15 Juni 2020. Menurut hakim, Rappler tidak memberikan bukti bahwa mereka memverifikasi tuduhan kejahatan, jadi mereka dianggap mengabaikan kebenaran informasi tersebut.
Persatuan Jurnalis Nasional Filipina menilai keputusan hakim bisa membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun, juru bicara kepresidenan Harry Roque, meminta media menghargai keputusan pengadilan itu. Ia juga meyakinkan ke publik bahwa keputusan ini tidak berpengaruh ke komitmen Duterte tentang kebebasan pers.
Baca Juga: Nurul Bahrul Ulum Dakwah di Medsos Lawan Tafsir Tak Ramah Perempuan
Terlepas dari kasus pencemaran nama baik, sejak 2018 Ressa dan Rappler juga menghadapi 10 kasus investigasi lainnya, seperti penuduhan kepemilikan asing ilegal, dan penyelidikan atas pengembalian pajak.
Menanggapi persoalan ini, komunitas internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Reporters Without Borders, justru menilai perkara ini melibatkan politik.
Deputy Director Asia Division Human Rights Watch, Phil Robertson mengatakan dalam situs organisasi tersebut, vonis terhadap Ressa mencerminkan pemerintahan yang manipulatif karena menyerang kekritisan media yang menyuarakan kondisi negara. Ia mengkhawatirkan kasus ini memicu kebebasan pers di negara lain yang sebelumnya telah membebaskan media dalam peliputannya dan mengutamakan demokrasi.