Lalu bagaimana dengan tanggapan Mbak soal argumen “enggak masalah apa pun gender dokter pembicaranya, yang penting sudah berpengalaman bertahun-tahun menangani masalah itu [nyeri haid]”?
Kalau skill based, saya pribadi juga beranggapan kalau dia mampu, ya memang enggak apa-apa. Cuma masalahnya kan bukan hanya mampu atau tidak. Kadang berhadapan dengan argumen seperti ini suka mentok karena orang berpikirnya terlalu teknis.
Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba
Hambatan perempuan dalam masuk dunia kerja kan bukan hanya kemampuan, bukan hanya merit-based. Misalnya gini, ada satu narasi kalau perempuan jadi obgyn, dia harus siaga karena suka on-call malam-malam. Nah, kalau obgyn-nya perempuan dan harus mengurus keluarga, jadi enggak bisa kerja, dong? Itu argumen yang terus ada dan sebetulnya jadi hambatan bagi perempuan untuk jadi obgyn.
Memang enggak semua perempuan berpikir seperti itu. Tapi adanya beban ganda perempuan menjadi hambatan tersendiri untuk mereka bekerja di dunia yang enggak kenal waktu siang-malam.
Padahal, dia mampu misalnya. Itu kita enggak pernah tahu karena si orang yang punya beban ganda ini udah enggak sempat masuk ke dalam dunia itu (obgyn). Kita enggak bisa nge-judge dia mampu atau tidak karena dari awal dia udah enggak bisa masuk.
Jadi menanggapi argumen “kan dia [obgyn laki-laki” sudah berpengalaman”, sebelum bisa berpengalaman, kan si dokter harus masuk dulu. Entrance-nya aja udah ada hambatan berbasis gender, ya ngomongnya kejauhan kalau sampai ke output-nya (berpengalaman). Argumen seperti itu jadinya terlalu simplified, superficial.