Salah satu artikel yang dimuat di situs UN menyebutkan bahwa kurikulum kedokteran di AS terkait kesehatan perempuan itu lebih minim dibahas karena riset-riset yang ada kebanyakan respondennya laki-laki. Waktu Mbak belajar di kedokteran, apakah ada penekanan penyakit tertentu dan hubungannya dengan gender yang digali lebih?
Sejauh aku tahu, kita enggak pernah ditarik perhatiannya ke arah efek gender pada penyakit atau kesehatan. Itu bukan titik fokusnya. Biasanya yang dibahas terkait gender kalau penyakitnya berhubungan dengan seks, misalnya infeksi menular seksual, karena berhubungan dengan alat kelamin. Atau obgyn karena itu organ reproduksi perempuan. Tapi kalau untuk penyakit-penyakit yang seolah netral, tidak berhubungan dengan jenis kelaminnya, biasanya diajarkannya juga netral, seolah enggak ada biasnya.
Baca juga: Impitan Peran Gender Sangat Pengaruhi Karier Tenaga Kesehatan Perempuan
Aku baru ngeh setelah lulus dan lebih banyak belajar, gender tuh sangat determinan dalam kesehatan, pengaruhnya ke sini, sini. Tapi sayangnya, masih banyak tenaga kesehatan (nakes) yang belum punya perspektif gender.
Saya sempat mengamati pernyataan-pernyataan Mbak terkait representasi perempuan saat belum lama ini ada twitwar di Twitter antara dokter dan sejumlah warganet soal poster diskusi tentang nyeri haid yang semua pembicaranya obgyn laki-laki (all male panel). Mengapa Mbak merasa representasi perempuan ini penting?
Kita bisa bicara dari dua perspektif: Nakesnya sendiri dan klien/pasien. Dari perspektif nakes, Secara global, sekitar 70 persen nakes adalah perempuan. Tapi, mereka biasanya berada di posisi lebih rendah di manajemen dan dibayar lebih rendah, ini yang dinamakan segregasi vertikal. Spesialis juga begitu, masih didominasi laki-laki. Itu pola yang ditemukan di mana-mana walau persentasenya beda-beda.