Indonesia adalah salah satu penghasil dan pengekspor emas terbesar di dunia. Namun, di balik keunggulan itu, masih banyak pertambangan emas skala kecil (PESK) menggunakan merkuri yang membahayakan manusia dan lingkungan.
Pada 2017, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata yang isinya mendorong negara-negara untuk mengatur penggunaan merkuri. Ratifikasi Konvensi ini ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM).
Hal itulah yang melatarbelakangi lahirnya proyek Global Opportunities For Long-Term Development Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small Scale Gold Mining (GOLD ISMIA) pada 2018. Program ini diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP).
Baca juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan
Dampak Merkuri bagi Kesehatan
Terlepas dari dampak negatif merkuri, masih banyak penambang emas skala kecil menggunakannya karena relatif mudah dan cepat. “Mudah” karena tak perlu pendidikan khusus untuk mengolah emas dengan merkuri. Segera setelah diolah, penambang dapat langsung menjual emasnya.
Sebanyak 20 persen merkuri yang digunakan untuk mengolah emas terbuang ke air. Jika seseorang terlalu sering mengonsumsi makanan laut dan ikan air tawar yang mengandung merkuri, mereka berisiko mengalami gangguan kekebalan tubuh dan sistem saraf.
Selain itu, telah banyak penelitian membuktikan bahwa paparan merkuri pada janin, bayi, dan anak-anak dapat menyebabkan kerusakan otak, keterbelakangan mental, gerakan tak terkoordinasi, kejang, kesulitan berbicara, kekacauan berbahasa, dan gangguan fungsi ginjal.
Fitri Handayani, pengurus koperasi Tambang Barokah Cair Sejahtera mengatakan bahwa banyak rekan-rekannya telah merasakan dampak paparan merkuri.
“Mereka lebih cepat capek, daya tahan tubuh berkurang, mengalami gangguan kulit, dan tremor,” kata perempuan yang juga bekerja sebagai penyuluh kesehatan di Puskesmas di Desa Cendi Manik, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Sugiyanti, anggota Koperasi Amanah Duo Tompat (Kabupaten Kuantan Singingi, Riau) menceritakan dampak kesehatan yang dirasakannya akibat sering terpapar merkuri.
“Kami mendulang emas dengan duduk atau jongkok. Di tubuh bagian belakang terasa gatal-gatal, panas, dan keluar bintik-bintik merah. Jadi, setiap hari, kami sedia obat yang dioleskan di bagian yang terpapar merkuri,” katanya.
Alat pelindung diri (APD) juga belum sepenuhnya digunakan oleh mereka yang berkegiatan di PSEK.
“Kami para pendulang tak punya kostum khusus. Malahan kami enggak pakai sandal dan APD seperti jas hujan, sepatu bot, dan sarung tangan karena akan menghambat pekerjaan kami,” tutur Sugiyanti.
Fitri menjelaskan, setelah para pekerja tambang diberikan penjelasan mengenai bahaya merkuri dan lokasi tambang, sudah ada sedikit perubahan pola pikir dari mereka.
“Kalau sedang di lokasi, bapak-bapaknya sudah mulai pakai sepatu. Meskipun bukan sepatu khusus, setidaknya mereka sudah pakai sepatu untuk menghindari terkena batu. Mereka juga mengenakan helm, masker, dan sarung tangan,” ujarnya.
National Project Manager GOLD ISMIA Baiq Dewi Krisnayanti mengatakan, untuk mengurangi penggunaan merkuri dan mendukung alih teknologi, proyek GOLD ISMIA telah merancang peralatan pengolahan emas tanpa merkuri.
“Sebagai contoh, kami mendesain peralatan bebas merkuri yang nantinya khusus dirancang untuk jenis batuan yang ada di Kuantan Singingi. Kami juga membantu mendesain alat yang cocok untuk jenis batuan yang ada di Sekotong,” ujarnya.
Baca juga: Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi
Kerentanan Pekerja Perempuan di Lokasi Pertambangan
Selain masalah keselamatan pekerja terkait penggunaan merkuri tadi, ada persoalan lain yang muncul di PESK: Ketidakdilan gender yang dialami kelompok perempuan penambang.
“Pekerja perempuan di PESK mencapai 30 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mereka tak hanya bekerja di sektor pelayanan, tetapi juga di kegiatan penambangan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam diskusi daring “Perempuan Berdaya, Kunci Kesejahteraan Komunitas Penambang Kecil” yang diadakan Katadata (21/4).
“Upah perempuan juga lebih rendah, padahal mereka bekerja sama beratnya dengan laki-laki sambil menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan yang besar,” imbuhnya.
Dewi dari GOLD ISMIA menjelaskan, peran perempuan sebagai penambang masih sering luput diperhatikan meskipun banyak dari mereka yang melakukan pekerjaan ini sejak lama.
“Peran signifikan perempuan lebih terlihat di PESK dibandingkan sektor pertambangan skala besar atau industri. Perempuan memainkan peran-peran tambahan sebagai juru masak, penumbuk batu, pencuci karung limbah, dan pencampur merkuri,” kata Dewi.
Dewi menambahkan, untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam industri tambang, sejak awal telah ditargetkan jumlah perempuan minimal 20 persen, baik dalam hal pembentukan regulasi, akses pembiayaan, akses terhadap teknologi, dan kampanye.
Pendapatan Pekerja Perempuan Penambang Emas Skala Kecil yang Tak Pasti
Kegiatan PESK telah menjadi sumber pemasukan bagi banyak keluarga. Kendati demikian, jumlah uang yang diperoleh dari penjualan emas masih tak menentu.
“Saya mendapatkan rata-rata Rp200.000.- per hari dan itu pun belum tentu (selalu) ada (hasilnya) setiap hari. Menurut saya pribadi, kami belum sejahtera,” ujar Sugiyanti.
“Makanya kami enggak hanya kerja sebagai penambang. Kami juga membuka usaha laundry untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kami menolong suami untuk mencari nafkah karena penghasilannya, yang juga (didapat dari) menambang, tidak menentu,” tambahnya.
Meskipun pendapatan penambang tak pasti, Paulien Umboh, pengurus Koperasi Batu Api di Kabupaten Minahasa Utara menilai bahwa usaha PESK prospektif. Hal itulah yang menyebabkannya beralih profesi ke sektor pertambangan.
“Sebelumnya saya adalah seorang karyawan bank. Melihat di wilayah kami ada pertambangan emas, saya melihat usaha ini bagus dan menjanjikan,” ujarnya.
Paulien sudah delapan tahun mengelola koperasi yang terdiri dari sepuluh orang penambang dan satu orang pengawas. Usaha yang dikembangkannya sudah tidak lagi menggunakan merkuri. Biasanya, dia mendapatkan rata-rata hasil bersih Rp7 juta per bulan setelah dibagi dengan para penambang dan pengawas.
Dewi mengatakan, penambang tak selalu mendapatkan hasil maksimal setiap hari karena deposit emas tergantung dari proses pembentukannya. Dengan demikian, tak dapat diprediksi tempat dan jumlahnya. Namun, aktivitas PESK telah berkontribusi terhadap perekonomian lokal dan menjadi solusi bagi perempuan yang tak memiliki pekerjaan tetap.
“Yang perlu saya garis bawahi adalah bahwa dampak pertambangan skala kecil ini justru terlihat secara lokal. Ibu-ibu ini membelanjakan apa yang didapat dari PESK untuk kegiatan ekonomi lokal,” tuturnya.
Sementara itu, Fitri dari koperasi Tambang Barokah Cair Sejahtera berharap agar proyek ini memberikan skill yang dapat digunakan oleh para perempuan untuk menambah pendapatan mereka.
“Semoga pemerintah bisa ngasih izin (pertambangan rakyat) lebih mudah lagi. Untuk teman-teman saya dan teman-teman di sini, semoga kami semua juga bisa diajarkan membuat kerajinan emas supaya enggak perlu meninggalkan rumah untuk pergi ke lokasi tambang,” ujarnya.