Salah satu tantangan di lingkungan kerja terkait dalam industri film adalah pelecehan seksual dan kurangnya pemahaman mengenai perilaku seperti apa yang termasuk dalam tindak pelecehan seksual. Banyak yang masih mengira candaan yang merendahkan tubuh (body shaming), atau merendahkan gender (termasuk catcalling) belum termasuk pelecehan seksual dengan dalih, “Kan belum ada kontak fisik?”.
Namun, kontak fisik seperti merangkul/menyentuh (lazimnya kru perempuan) dengan dalih ekspresi keakraban padahal tidak disukai dan dianggap mengganggu, masih dianggap wajar. Jenis pelanggaran yang dianggap “enteng” semacam ini masih kerap terjadi di lingkup kerja terkait produksi film yang termasuk pelecehan seksual dalam industri film.
Berulangnya tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam industri film telah mendorong sejumlah pegiat perfilman pada 2019 untuk meluncurkan inisiatif “Sinematik Gak Harus Toxic”, yang membuka kotak aduan pelecehan dan atau kekerasan seksual di lingkungan komunitas dan kegiatan perfilman.
“Tujuan dari kampanye ini adalah menghapuskan dan mencegah terulangnya tindak pelecehan dan atau kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan komunitas film dan atau kegiatan perfilman, baik yang baru terjadi maupun yang sudah terjadi bertahun-tahun silam,” tulis mereka dalam keterangan resmi.
Sayangnya, tindak pelecehan seksual itu terus berlangsung. Awal tahun 2020, aktris Mian Tiara menulis sebuah utas di Twitter yang mengisahkan kronologi pelecehan seksual terhadapnya oleh aktor senior “Burhan”. Ia menyatakan bahwa cukup lama cerita itu ia simpan karena tidak mau mengacaukan proses syuting yang sedang berjalan. Ia kemudian berbicara kepada salah satu pemain, kemudian para sutradara dan produser yang sesama perempuan. Burhan sendiri malah tersinggung dan menampik pengakuan Tiara.
Pernyataan Tiara mendorong aktris Hannah Al Rashid dan editor film Aline Jusria untuk berbagi pengalaman mereka menghadapi pelecehan seksual dari orang yang sama. Sejumlah teman Aline juga mengisahkan pengalaman serupa, baik oleh pelaku yang sama ataupun berbeda. Tapi rata-rata para pekerja film ini enggan melaporkan atau bercerita soal pelecehan yang dialami, mungkin akibat kemunculan kesadaran akan pelecehan seksual yang terlambat di Indonesia.
Baca juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi