Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Pemimpin Perempuan Kendalikan Covid-19: Terbuka, dan Komunikatif

Selain sigap dan berempati, kebijakan berdasarkan hasil riset ilmiah serta keterbukaan data juga sangat berperan penting jika ingin mengontrol pandemi ini. Hal ini absen pada negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, yang masih menempati posisi teratas dalam jumlah kasus COVID-19.

Dalam setiap pidatonya, Presiden Donald Trump banyak mengeluarkan pernyataan yang keliru dan tidak berdasarkan kepada data ilmiah. Dilansir dari The Guardian pada 27 Maret lalu, Trump membuat klaim bahwa COVID-19 sama dengan virus flu, padahal para ahli kesehatan publik sudah memperingatkan virus ini tidak boleh disamakan jenisnya dengan flu musiman.

Sikap yang sama ditampilkan oleh Presiden Brazil Jair Bolsonaro dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang sering meremehkan virus ini. Keduanya kemudian terjangkit COVID-19.

Jika Trump dan Bolsonaro sejak mula memperlihatkan sikap remeh terhadap krisis ini, Kanselir Jerman, Angela Merkel secara tegas mengatakan di awal pandemi bahwa pemerintah dan masyarakat Jerman harus melihat situasi ini secara serius. Tidak hanya  itu, Merkel yang juga memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan Kimia Kuantum, juga mengandalkan tenaga ahli dalam bidang sains untuk mengatasi krisis ini. Hingga tanggal 29 Juli, jumlah pasien sembuh di Jerman sebanyak 191 ribu pasien.

Sementara itu, Inggris gagal memberikan informasi sudah berapa banyak pasien yang sembuh. Dilansir dari The Guardian, Pemerintah Inggris tidak memiliki mekanisme pengawasan bagi pasien yang dinyatakan positif atau mekanisme pelacakan hasil jangka panjang setelahnya. Sedangkan Di Jerman, jumlah orang yang dilaporkan pulih adalah perkiraan berdasarkan jumlah orang yang diasumsikan menjadi lebih baik dua hingga tiga minggu setelah hasil tes jika mereka tidak memerlukan intervensi lebih lanjut. Namun, pasien yang telah didiagnosis di luar rumah sakit juga tetap dipantau oleh para tenaga kesehatan lewat panggilan telepon

Bersikap Kolaboratif dan mengandalkan tenaga ahli di bidang sains juga dilakukan oleh Perdana Menteri Islandia, Katrin Jakobsdottir. Hingga 22 Juli, Islandia mencatat jumlah kasus positif sebesar 1.838 kasus, total kematian sebesar 10 kasus, dan kasus yang sembuh sebesar 1.816 kasus. Dilansir dari The Forbes Islandia mengambil tindakan menggratiskan Tes virus Corona untuk semua masyarakatnya.

Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh usaha pemerintah Islandia menjalin kemitraan publik dan sektor swasta antara Rumah Sakit Universitas Nasional Islandia dan lembaga sains deCODE Genetics yang memungkinkan Islandia melakukan pengujian agresif sejak Februari lalu.