Jejak Perempuan Pemimpin Kerajaan Nusantara

Dalam sebuah catatan Dinasti Tang dari Tiongkok pada abad ke-6 Masehi, diceritakan tentang keberadaan Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang berlokasi di sekitar Jepara, Jawa Tengah. Sebagai seorang pemimpin perempuan, ia dikenal tegas dan jujur. Ketegasannya itu membuat rakyatnya selalu berpaku pada kebenaran dan takut merampas hak orang lain. Tak peduli seberapa berharga suatu barang, selama bukan milik mereka, maka tidak akan diambil.

Ketegasan Ratu Shima dalam menegakkan kejujuran tersebut tersohor ke seantero negeri bahkan sampai ke negeri seberang. Ceritanya itu menarik seorang raja bernama Tha-Shih dari Tiongkok yang menguji kejujuran rakyat yang dipimpin Ratu Shima itu dengan jalan mengirimkan sekantong emas dan menggeletakkannya di jalan begitu saja. Dugaannya benar, tidak ada seorang pun yang berani mengambil kantong berisi emas tersebut, menahun dibiarkan begitu, sampai akhirnya tiba-tiba putra dari Sang Ratu, Pangeran Narayana tidak sengaja menginjak kantong itu.

Ratu Shima marah bukan kepalang mengetahui putranya menyentuh barang yang bukan miliknya. Ingin membuktikan keseriusannya dalam menegakkan kejujuran, sang ratu sampai menjatuhkan hukum mati pada anak semata wayangnya tersebut. Namun ia dicegah oleh para pejabat dan penasihat kerajaan, sehingga putranya hanya dihukum dengan memotong jari jempolnya.

Berkat ketegasan dan kepemimpinan Ratu Shima, Kerajaan Kalingga mencapai puncak periode keemasannya. Kalingga sendiri merupakan kerajaan Hindu yang jejaknya diakui terbesar di Jawa. Sayangnya, tidak banyak catatan atau peninggalan prasasti yang membahas secara rinci masa kepemimpinan Ratu Shima ini, padahal namanya banyak dicatut sebagai contoh pemimpin yang tegas dan mengedepankan kejujuran.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Selain Ratu Shima, pada masa kerajaan tradisional jejak kepemimpinan perempuan punya peran yang penting, banyak di antaranya menjadi pemimpin kerajaan besar. Menariknya, jika masyarakat Jawa pada masa sesudah kemunculan kerajaan Islam berubah menjadi sangat feodal serta patriarkal dan mendomestikasi perempuan dengan istilah kanca winking (dapur, sumur, kasur), pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam bukunya Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV, arkeolog Titi Surti Nastiti menulis bahwa pada abad ke-8 hingga abad 15, perempuan memiliki peran dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki oleh laki-laki maupun perempuan, itu mulai dari raja/ratu, putra/putri mahkota, pejabat hukum, pejabat keagamaan sampai pejabat desa.

“Di istana, seorang putri mahkota atau putra mahkota itu ditunjuk karena dia lahir dari seorang raja dan permaisuri kemudian akan dilanjutkan menjadi penguasa di masa depan, entah itu laki-laki maupun perempuan, seorang istri bisa saja memiliki gelar kebangsawanan lebih tinggi daripada suaminya,” tulis Titi.

Ratu Pelindung Semua Agama

Periode keemasan kepemimpinan perempuan terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1527) di wilayah Jawa Timur. Kerajaan terbesar di Jawa ini mungkin dianggap mencapai puncak kejayaannya lewat ekspedisi Mahapatih Gadjah Mada dalam menguasai Nusantara, di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Namun selama pemerintahan Hayam Wuruk, wilayah kekuasaan Majapahit banyak dipimpin oleh perempuan.

Sebelum Hayam Wuruk naik takhta ke tapuk kepemimpinan, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh ibundanya, Tribhuwana Wijayatunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1351). Ia merupakan putri dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya. Dengan bimbingan sang ibu Gayatri Rajapatni, Tribhuwani memerintah Kerajaan Majapahit selama 22 tahun. Tak hanya boleh menjadi raja, Tribhuwana juga mendapat gelar maharaja dengan nama abhiseka (pelindung semua agama). Sumber-sumber yang menceritakan tentang masa-masa kepemimpinannya banyak ditemukan dalam teks Negarakertagama (puisi Jawa Kuno)dan Pararaton (riwayat para raja).

Pada masa Jawa kuno, posisi perempuan justru setara dengan laki-laki. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, dari mulai ekonomi, politik, hukum, sampai menjadi ratu.

Dalam teks tersebut diceritakan bahwa meski keberhasilan ekspedisi Gajah Mada untuk melebarkan kekuasaan Majapahit, membangun sebuah kemaharajaan dan menguasai Nusantara ada pada saat kekuasaan Hayam Wuruk, namun gagasan akan kemaharajaan sebetulnya tercetus pada masa kepemimpinan Tribhuwana.

Selama kekuasaan Tribhuwana, Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di Nusantara. Ia juga dikenal karena berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada 1331 M. Menurut sumber prasasti yang ditemukan, Tribhuwana banyak membangun candi bagi Empu Prapanca, pujangga sastra Jawa Kuno yang menulis Negarakertagama. Ia juga membangun Candi Singhasari untuk memperingati Mahabrahman dan bekas patih Singhasasi yang gugur bersama dengan raja Kertanegara.

Walau tapuk kekuasaan kemudian jatuh ke Hayam Wuruk, kepemimpinan perempuan tetap berperan penting dalam memimpin wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Prasasti Waringin Pitu (1369) menunjukkan jika 14 dari 19 pemimpin wilayah kekuasaan kerajaan adalah perempuan, terutama daerah Lasem.

Dalam Nagarakertagama tercatat jika semua penguasa Lasem adalah perempuan. Beberapa diantaranya adalah adik Hayam Wuruk, mereka biasanya diberi gelar Bhre Lasem. Bhre Lasem I adalah adik perempuan Raja Hayam Wuruk, bernama Sri Rajasadhitendudewi, sementara Bhre Lasem II dipimpin oleh putri dari Hayam Wuruk dengan permaisurinya Paduka Sori, bernama Kusumawarddhani. Bhre Lasem III dijabat oleh Nagarwarddhani yang merupakan keponakan Hayam Wuruk.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Pemimpin Perempuan Terakhir di Kerajaan Jawa Kuno

Selan diizinkan untuk memimpin daerah, putra atau putri mahkota pun tidak selalu naik takhta, Kusumawarddhani misalnya, tidak menggantikan ayahnya menjadi ratu Majapahit ketika Hayam Wuruk turun dari tapuk kepemimpinan (1389). Kusumawarddhani memilih memberikan tapuk kepemimpinan tersebut pada suaminya Wikramawarddhana. Hal ini menyebabkan kecemburuan anak selir Hayam Wuruk, Bhre Wirabumi, yang berakibat pada perang saudara Paregreg (1404), yang dimenangkan oleh Wikramawardhana. Setelah wafat pada 1428, tampuk kepemimpinan dikembalikan pada Kusumawarddhani, ia menjadi raja perempuan kedua Majapahit, meski kepemimpinannya tergolong singkat hanya berlangsung tiga tahun saja.

Setelah Kusumawarddhani lengser, Majapahit kembali dipimpin oleh perempuan, yang tak lain adalah putrinya bernama Dyah Suhita, yang sukses memimpin Majapahit selama 18 tahun (1429-1447), dan disebut-sebut sebagai raja perempuan terakhir di Jawa Timur. Selama kepemimpinannya, Dyah Suhita berusaha menghidupkan kearifan lokal yang sempat terabaikan selama masa tegang perang Paregreg. Karena Dyah tidak memiliki keturunan, penguasa Majapahit selanjutnya adalah Kertawijaya, adik bungsu Dyah Suhita.

Tulisan Nagarakertagama maupun kitab Pararaton tidak menggambarkansecara detail bagaimana gaya kepemimpinan para perempuan di masa kerajaan. Namun menurut Titi, dalam teks Kakawin Kresnayana jelas tercatat bahwa seorang perempuan ideal dan seorang ratu tidak hanya persoalan cantik belaka, tetapi juga terpelajar dan mahir memimpin. Salah satu sebabnya adalah karena pada masa itu, pendidikan tidak terbatas pada laki-laki saja. Sehingga para pemimpin perempuan pun jelas bukan hanya karena garis keturunan, tetapi karena mereka juga memiliki kemampuan yang mumpuni.

Read More
standar ganda perempuan di tempat kerja

Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Secara kasat mata, mungkin kita melihat dunia profesional hari ini sudah ramah-ramah saja pada perempuan. Sepertinya, sudah tidak ada lagi perbedaan hak dan perlakuan berdasarkan jenis kelamin. Tapi kenyataannya, masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan bekerja. Ada banyak nilai-nilai seksis sebagai produk budaya patriarki yang mengakar, seperti standar ganda kepada kaum perempuan. Akibatnya, perempuan memiliki lebih banyak hambatan untuk berkarier atau naik ke posisi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki.

Hal itu diawali dari segregasi atau pemisahan gender dalam pekerjaan, bagaimana laki-laki bertugas di ranah publik, seperti di pemerintahan, pekerja kasar, dan sebagainya. Sementara itu, perempuan bertugas di ranah privat/domestik dengan tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat anak dan keluarga. Karena yang menghasilkan uang/alat tukar lainnya adalah pekerjaan di ranah publik, maka laki-laki lagi-lagi mendapatkan lebih banyak kekuasaan dalam kehidupan sosial. Mereka bisa membeli dan membayar banyak hal untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Hal ini mengakar pada kehidupan sosial masyarakat Yunani kuno.  Keran keterlibatan perempuan dalam urusan publik dan pembuatan keputusan tidak pernah dibuka. Peran perempuan pun semata-mata untuk fungsi reproduksi. Seorang istri harus menerima ketika suaminya memiliki selir atau perempuan lain dari “hadiah perang” dan budak yang selalu diasosiasikan untuk kegiatan seksual.

Pola pikir ini masih terpatri di benak banyak orang sampai hari ini, yang menimbulkan tantangan bagi perempuan bekerja. Akibatnya, jumlah perempuan yang memiliki pekerjaan di sektor formal rendah. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan berjudul “Women at Work” (2015), hanya 1,3 miliar perempuan di dunia yang dipekerjakan, sementara laki-laki sebanyak 2 miliar orang. Rasio perekrutan perempuan hanya mencapai sebesar 46 persen, sementara laki-laki hampir mencapai 72 persen. Belum lagi kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki yang dieprkirakan mencapai angka 23 persen. 

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Standar Ganda dalam Pekerjaan Bersifat Feminin

Tak mendapat dukungan dari suami dan keluarga adalah salah satu tantangan perempuan bekerja. Selain itu, mereka juga harus menghadapi berbagai bentuk diskriminasi di kantornya. Rania Salem dan Kathryn M. Yount dalam penelitian “Structural accommodations of patriarchy: Women and workplace gender segregation in Qatar” (2019) menyatakan, pekerja perempuan kerap ditempatkan di pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya feminin dan/atau berada di tingkatan hierarki dan jabatan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Satu alibi yang kerap dipakai perusahaan dengan kebijakan seperti ini adalah karena bobot pekerjaan rumah tangga dan merawat anak bagi perempuan lebih besar. Dalam hal ini, bias agama juga berperan memberikan sumbangan yang memvalidasi subordinasi perempuan atas laki-laki sebagai “pemimpin”.

Di negara-negara Timur Tengah, dengan pengaruh ajaran Islam yang kental, banyak sekali tantangan bagi perempuan bekerja yang sulit mendapatkan promosi di kantornya. Mereka dianggap tidak bisa berinteraksi secara fleksibel dengan kolega laki-lakinya atau pihak-pihak lain di luar kantor. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama di balik tingginya angka perempuan yang menganggur dan sulit mendapat pekerjaan.

Para perempuan pekerja juga harus menghadapi pahitnya standar ganda dan dangkal yang membayang-bayangi penilaian orang terhadap kualitas diri mereka. Misalnya standar mengenai cara bersikap. Di satu sisi, “pekerjaan laki-laki” yang sifatnya maskulin dan dianggap sulit lebih dihargai. Tapi perempuan yang memilih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini malah menghadapi tantangan baru, yaitu standar ganda yang mengharuskan mereka kapabel dalam pekerjaan tapi juga ramah dan disukai banyak orang. Entah di dunia pekerjaan ataupun di keseharian, perempuan selalu saja dituntut untuk bersikap lemah lembut, tidak terlalu ambisius, dan tidak terlampau menunjukkan emosi agresif seperti laki-laki.

Tentu saja standar ini tidak berlaku buat para pekerja laki-laki, dan ini sangat terlihat menjadi standar ganda dalam perusahaan. Perempuan yang menunjukkan sikap-sikap agresif atau mengarah pada maskulinitas akan mendapatkan banyak kritik atau bahkan dikucilkan perusahaan. Sementara itu, menurut Gorman dalam penelitiannya “Gender Stereotypes, Same-Gender Preferences, and Organizational Variation in the Hiring of Women” (2005), semakin banyak sikap-sikap maskulin yang ditunjukkan seorang calon pekerja laki-laki, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk diterima bekerja.

Narasi seksis lowongan pekerjaan

Standar-standar ini juga kerap membuat perusahaan menjebak perempuan melalui narasi lowongan pekerjaan untuk karyawan baru. Banyak sekali kita temui lowongan pekerjaan yang menyertakan kriteria-kriteria tak masuk akal, seperti berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Mirisnya, kriteria-kriteria ini banyak diberikan pada para calon pekerja perempuan. Ini merupakan cerminan lain mengenai bagaimana perempuan selalu ada di bawah bayang-bayang standar kecantikan yang semu, bahkan di dunia profesional sekalipun yang mana dihuni oleh orang-orang mayoritas berpendidikan.

Padahal, ILO bahkan sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks. Misalnya dengan membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. Hal itu dituliskan dalam kajiannya yang berjudul “ABC of women workers’ rights and gender equality” (2007).

Pemahaman bahwa penampilan fisik, bentuk tubuh, maupun cara bersikap setiap manusia pasti berbeda-beda dan sama sekali tidak bisa ditakar berdasarkan satu-dua standar yang absolut, seharusnya sudah mereka miliki. Apalagi, kriteria fisik itu sama sekali tidak mempengaruhi performa dan kualitas kerja perempuan. Sedikit banyak ini juga mengindikasikan bagaimana pandangan-pandangan masyarakat kuno mengenai perempuan masih bisa ditemukan di kehidupan hari ini.  Misalnya dengan menganggap perempuan sebagai perhiasan, sehingga mereka harus selalu terlihat cantik sesuai dengan keinginan laki-laki.

Beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang lebih tidak masuk akal dan sangat seksis. Misalnya mengharuskan para pekerja perempuannya untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk “menunjang” penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokong. Padahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. Perusahaan seharusnya mempertimbangkan para pekerja yang harus menempuh jarak jauh antara rumah dengan kantornya, harus menaiki kendaraan umum, serta melalui medan perjalanan yang berat.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels. Bertahun-tahun menghadapi ini, akhirnya pada tahun 2019, lebih dari 19 ribu orang di Jepang menandatangani petisi untuk menghentikan aturan perusahaan yang mengharuskan perempuan untuk mengenakan high heels di tempat kerja. Kampanye dengan tuntutan serupa juga muncul di Inggris pada tahun 2016 yang diikuti lebih dari 100 ribu orang.

Itu membuktikan bahwa tempat kerja juga belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, sama seperti tempat-tempat lain di keseharian. Mereka dituntut untuk memenuhi standar agar bisa mencapai posisi tertentu yang lebih baik, entah standar itu cocok atau tidak dengan tiap-tiap individunya. Sementara itu, mereka yang tidak bisa memenuhi standar akan dijadikan objek lelucon atau kritik yang berlebihan dan sering kali menjelma menjadi bentuk pelecehan seksual.

Bentuk yang banyak digunakan adalah lelucon seksis (sexist jokes). Lelucon ini mengakomodasi subordinasi perempuan, kerap mengandung unsur seksual non-konsensual, serta kerap kali sengaja dibuat untuk mempermalukan perempuan.  Menurut penelitian Hemmasi, Graf, dan Russ yang berjudul ‘Gender-Related Jokes in the Workplace: Sexual Humor or Sexual Harassment?’ (1994), meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemungkinan untuk melontarkan lelucon, tapi lelucon seksual yang seksis lebih banyak dilontarkan laki-laki kepada perempuan di tempat kerja. Dibandingkan perempuan, laki-laki juga menganggap lelucon-lelucon seksis yang mendiskreditkan perempuan ini lebih lucu.

Read More