Manel masih sering terjadi sekarang in

Laman Berisi Basis Data Narasumber Perempuan Hilangkan Alasan ‘Manel’

Semakin tidak ada lagi alasan untuk panel laki-laki atau all male panel (manel) karena sebuah laman berisi profil tokoh-tokoh perempuan yang kompeten dalam berbagai bidang baru saja diluncurkan.

Fenomena ‘manel’ atau ‘all male panels’ adalah munculnya otoritas atau dominasi kaum pria sebagai koresponden, baik untuk pewartaan media, konferensi ataupun seminar. Keadaan ini akhirnya membuat perspektif kaum pria jadi lebih mendominasi produksi pengetahuan, dan dalam banyak sisi mendatangkan masalah tersendiri.

Organisasi kemanusiaan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) meluncurkan WomenUnlimited.id, yang dibuat karena hanya sedikit tokoh perempuan yang dijadikan narasumber dalam berbagai pemberitaan di media. Aktivis perempuan dan Direktur Eksekutif Yayasan Hivos, Tunggal Pawestri mengatakan, ada banyak sekali perempuan yang kompeten di berbagai bidang, tapi tidak banyak diketahui orang-orang.

Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia

Terlebih pada masa pandemi ini, banyak acara virtual seperti webinar yang diselenggarakan, tapi semua pembicara yang dihadirkan adalah laki-laki, ujarnya.

“Saya sering dimintai rekomendasi nama-nama perempuan yang ahli dalam bidang tertentu. Mereka sering mengeluh, sulit menemukan perempuan yang bisa bicara untuk sebuah isu. Apalagi bidang-bidang yang maskulin, seperti arsitektur, tata ruang, dan tata kota,” ujarnya dalam acara virtual “Peluncuran WomenUnlimited.id: Situs Data Narasumber Perempuan” (25/3).

Manel Masih Sering Terjadi di Ruang Akademis

“Saat ini, basis data WomenUnlimited memang belum lengkap. Ada sekitar 200 nama yang sudah kami terima. Targetnya tahun ini bisa mengumpulkan 500 nama. Sehingga butuh kerja sama dari pihak lain, tidak bisa dikerjakan sendiri,” ia menambahkan.

Dina Afrianty, peneliti dari La Trobe Law School Australia, mengatakan bahwa manel juga kerap terjadi di ruang akademis, termasuk di kampus, sebagai buah dari budaya patriarki yang berpadu dengan budaya hierarki dan senioritas. Jumlah dosen perempuan yang lebih sedikit daripada dosen laki-laki kemudian kerap dijadikan alasan akan manel, ujar Dina.

“Padahal sudah banyak sekali perempuan akademisi yang kompeten dan setara dengan laki-laki. Kehadiran mereka justru bermanfaat dan bisa menyuarakan perspektif-perspektif yang berbeda,” ia menambahkan.

“Masih jauh untutk mewujudkan kampus jadi tempat yang tidak mendiskriminasi perempuan.Tapi platform seperti WomenUnlimited.id ini adalah salah saut upaya yang bisa digunakan oleh seluruh lapisan.”

Dina juga mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan perempuan akademisi untuk bisa berkembang di tengah sistem yang tidak mendukung ini adalah dengan membuat diri kita terlihat, membangun jejaring, dan mengisi forum-forum di ruang publik. Dengan begitu, profil para perempuan akademisi pun akan tersebar, mulai dikenal, dan bisa menjadi role model bagi perempuan-perempuan lainnya.

Baca juga: Tidak untuk ‘Manel’, Ya untuk Kesetaraan Gender!

Narasumber Perempuan Memperkaya Diskusi

Jamshed M. Kazi dari United Nation Women (UN Women) Indonesia, mengatakan, sebuah percakapan atau diskusi akan menjadi lebih kaya bila perempuan dari berbagai latar belakang keilmuwan dan kelompok turut terlibat di dalamnya. Ia mengatakan, menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai acara dan urusan akan mempengaruhi perkembangan karier para perempuan.

“Ketika kita menyelenggarakan acara, sering kali kita bersikeras agar pembicara yang hadir haruslah pemimpin tertinggi perusahaan. Tapi, kalau kita melakukan itu, kita menghilangkan kemungkinan adanya perempuan untuk hadir, karena di posisi-posisi tinggi itu jumlah perempuan masih sedikit,” ujar Jamshed.

“Kita bisa membuat acara dengan berfokus pada topik apa yang dibahas. Misalnya, kalau topiknya perdagangan, tidak perlu CEO dari perusahaan yang hadir. Kalau ada perempuan-perempuan yang kompeten, ya mereka yang dibawa masuk, selama mereka punya kepakaran di bidang tersebut,” tambahnya.

Minimnya representasi perempuan juga terjadi di media massa, baik dari segi konten-kontennya yang melanggengkan serangkaian stereotip terhadap perempuan, maupun sistem di dalam ruang redaksi yang tidak mengakomodasi kesempatan perempuan untuk menduduki posisi pembuat kebijakan, ujar redaktur senior harian Kompas, Ninuk Pambudy.

“Sesuatu yang muncul media katanya merepresentasikan budaya masyarakatnya. Saya tidak 100 persen setuju, karena media sebenarnya bisa berperan jauh daripada itu. Media bisa mengambil peran untuk menggambarkan perempuan dengan lebih baik,” ujarnya.

Baca juga: 5 Hal yang Tidak Media Massa Katakan Soal Representasi Perempuan

Melihat tidak representatifnya sosok dan peran perempuan dalam ruang publik, perempuan adat sekaligus aktivis muda asal suku Dayak, Kalimantan, Olvy Tumbelaka, menginisiasi pembentukan ruang-ruang belajar bagi para perempuan Dayak. Bersama teman-temannya, Olvy berusaha memberikan pengetahuan dasar sekaligus memberikan semangat kesetaraan bagi para perempuan di daerahnya.

“Setelah ikut ruang belajar, ada banyak teman perempuan yang bersikeras untuk hadir di musyawarah-musyawarah desa kalau mereka dilarang. Di setiap kampung juga ada beberapa perempuan yang berusaha mengambil alih kepemimpinan di kampung,” ujarnya.

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Read More