Suzy Hutomo dan Bisnis Ramah Lingkungan, Ramah Gender
Mengembangkan The Body Shop Indonesia, sebuah perusahaan produk kecantikan yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip ramah lingkungan sekaligus kesetaraan gender, bukanlah pekerjaan yang mudah. CEO dan Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia, Suzy Hutomo, membagikan kisah bagaimana ia, bekerja sama dengan suaminya, berjuang membesarkan perusahaan itu sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Beberapa pelajaran penting soal bisnis maupun soal kehidupan berhasil dipetiknya, hingga mengantarkan Suzy menjadi pribadi yang bertekad untuk membuat organisasi atau perusahaan yang ramah terhadap lingkungan atau planet, ramah terhadap pelanggan maupun pekerjanya, tapi juga tetap menghasilkan keuntungan.
“Harus seimbang juga antara melakukan hal yang baik dan meraih keuntungan, supaya kita bisa terus melakukan hal yang baik,” ujarnya dalam wawancara dengan Magdalene baru-baru ini.
“Jadi saya melihatnya itu satu paket ya. It’s planet, people, profit. Dan saya yakin bahwa di masa depan, inilah arahnya. It’s going to be about businesss yang truly sustainable, karena sudah memperhatikan unsur people and also planet,” Suzy menambahkan.
Ia juga mengatakan bahwa hubungannya dengan sang suami yang setara dan sarat akan nilai kerja sama merupakan salah satu kunci kesuksesannya membesarkan The Body Shop Indonesia. Meski saat ini Suzy yang menjadi penanggung jawab penuh, tapi selama hampir dua puluh tahun lamanya, Suzy membangun perusahaan ini bersama suaminya.
“Kalau saya lebih baik dalam hal tertentu, ya saya yang tanggung jawab. Kalau dia lebih baik dalam hal tertentu, ya dia yang tanggung jawab. Tidak ada semacam power play,” ujarnya.
“Itu mungkin suatu hal yang membuat perusahaan kami cukup sukses, karena kami berdua tidak begitu menerima juga kalau orang lain bermain politik. Atau antara kami ada sesuatu yang tidak terbuka. Itu semua harus lebih didiskusikan dengan transparan,” ujar Suzy.
Berikut adalah cuplikan obrolan Suzy Hutomo dengan Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene.
Baca juga: Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha
Magdalene: Menurut Ibu, dari pengalaman dan pengamatan, apa saja sih hal yang harus dimiliki perempuan yang ingin menjadi pemimpin?
Suzy Hutomo: Saya kira yang pertama kali harus diketahui adalah, you’re worth it. Jadi harus punya keyakinan bahwa perempuan sudah earn the spot to be there. Setiap perempuan harus yakin bahwa mereka mempunyai hak untuk duduk di meja leadership. Karena kalau belum merasa percaya diri untuk berada di posisi itu, itu yang sering jadi sulit untuk menjadi perempuan pemimpin.
Yang kedua adalah siap untuk menanggung tanggung jawab sebagai pemimpin. Sebagai perempuan pemimpin memang masih ada tantangan yang lain. Dan kita siap untuk menghadapinya. Tidak akan mudah. Kita tahu ada mansplaining, sexism. Tapi ya itu adalah bagian dari lingkungan yang perlu kita ubah. Kalau buat saya sih, we need to change that. Kita tidak menerimanya, tapi kita mengubah perilaku kita, dengan cara yang baik. Surprisingly, attitude dari para pria akan berubah juga. Mereka akan lebih respect sebenarnya.
Itu yang saya lihat sih, pengalaman saya. Jadi kalau kita percaya diri dan tahu bahwa kita pantas, pelan-pelan kita bisa mengubah relasi yang tidak setara secara gender itu. Tidak mudah memang, tapi bisa dilakukan. Tentu saja dengan orang-orang yang masih tidak mau berubah, lebih baik kita disassociate.
Salah satu tantangan terbesar perempuan pekerja adalah bagaimana perempuan bisa menaiki tangga karier, tapi pada saat yang sama juga harus membawa beban ganda yang mereka miliki, terutama tanggung jawab sosial untuk mengurus rumah tangga. Dari The Body Shop Indonesia sendiri, adakah kebijakan yang women friendly dan bisa mendukung perempuan untuk bisa menghadapi tantangan ini?
Yang pertama tentu saja kita punya ruang laktasi. Kita juga punya budaya yang cukup ramah perempuan, dalam arti tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga. Kalau anak sakit, kalau mau pulang ke rumah, silakan. Basically, you need to prioritize your child.
Dan kita enggak pernah mau meeting malam-malam. Itu salah satu hal yang sangat penting. Jadi meeting, selesailah dalam waktu yang pas begitu, jam lima atau whatever. Tapi pulanglah ke rumah. Itu buat kami, we encourage people to go home. Dan kami sedang dalam proses tanda tangan dengan UN Women, ada dokumen-dokumen tentang kebijakan untuk perempuan, saat ini sedang kita proses untuk menetapkan kebijakan yang lebih formal untuk memastikan ada kesetaraan gender di dalam perusahaan kita.
Baca juga: 5 Drama Korea yang Tampilkan Ragam Karier Perempuan
Ada beberapa penelitian yang mengemukakan bahwa bagaimana nilai-nilai feminin yang diasosiasikan dengan perempuan, seperti empati, kolaborasi, ternyata membuat kepemimpinan lebih efektif. Bagaimana komentar Ibu tentang hal ini?
Itu betul sekali. Karena, selama ini mungkin karena patriarki, digambarkan bahwa kesuksesan itu sangat maskulin. Tapi kenyataannya tidak. Ketika kita merekrut manajer, terutama laki-laki, kita ingin laki-laki yang progresif, yang memiliki kualitas empati, caring, being kind, and listening. Bukan cowok-cowok yang dibesarkan dalam kultur yang sangat maskulin dan agresif.
Dan itu menjadi pertimbangan karena kami adalah organisasi yang ramah perempuan, dan kita butuh semua orang, termasuk laki-laki, untuk tahu bagaimana memperlakukan perempuan secara benar.
Ibu dulu mengenyam pendidikan di all-girls school?
Saya sempat sekolah di Singapura. Waktu SMP saya di all-girls school. Lalu switch lagi ke yang mix lagi.
Menurut Ibu, apa itu punya pengaruh besar terhadap karakter dan perspektif Ibu? Karena ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan yang bersekolah di sekolah khusus perempuan biasanya lebih percaya diri, lebih resourceful, dan well-rounded.
Waktu saya di sekolah khusus perempuan itu umur saya 11-16 tahun lah kira-kira. Itu sih menurut saya cukup menolong, karena lebih fokus ke pencapaian di sekolah, tidak ada distraksi dengan cowok dan lainnya. Memang ada plusnya dalam hal itu.
Tapi di pihak lain, anak saya enggak di sekolah khusus perempuan, tapi dia percaya diri. Karena keluarga dan lingkungannya tidak membedakan perempuan dan laki-laki.
Jadi menurut saya, kalau dalam kultur yang masih membedakan perempuan dan laki-laki, tentu saja berguna jika kita sekolah di sekolah khusus perempuan. Tapi jika keluarga dan lingkungan sudah cukup setara secara gender, efeknya tidak akan terlalu signifikan. Karena saya lihat anak saya di sekolah campur itu dia tetap asertif.
Ibu sudah lama tertarik dengan lingkungan hidup. Apa yang mendorong ketertarikan ini, dan bagaimana sektor bisnis seharusnya bisa berperan dalam melestarikan lingkungan?
Mungkin karena orang tua saya juga cinta lingkungan dalam cara-cara mereka. Orang tua saya dari Makassar, jadi umumnya waktu kecil tuh kita kalau akhir pekan, kalau liburan, kalau enggak mancing ke laut, pasti ke gunung. Jadi untungnya dulu belum ada gadget, jadi mainnya selalu di alam.
Saya tuh memang dari dulu suka di alam. Pelan-pelan kita sekolah mengerti lebih banyak tentang binatang, that was my world as a child. Jadi merasa sangat dekat dengan hal-hal yang natural. Dan kembali lagi Indonesia yang kaya keberagamannya. Itu yang membuat saya cukup kagum dengan apa yang kita punya ini. Lalu kemudian muncullah masalah-masalah. Mulai kita tahu dari climate change, hilangnya biodiversity yang begitu tajam, semakin hari semakin banyak. Isu-isu itu membuat saya gelisah.
Dan saya berpikir, gimana sih bisa hidup dengan berkelanjutan? Pasti bisa lah. Apalagi saya seorang perempuan yang punya keluarga, saya dari kelas menengah, saya kelas menengah, saya mampu beli panel surya, dan lain-lain. Kalau saya sendiri tidak melakukannya untuk mengurangi jejak karbon saya di planet ini, bagaimana saya bisa meminta orang lain melakukannya?
Di dalam perusahaan kami juga melakukannya. Bahkan sekarang kami sedang menuju circular economy, di mana botol-botol yang dikembalikan akan kita buat jadi barang lain yang bisa kembali lagi ke pembeli. Dan di rumah juga.
Jadi mungkin kekhawatiran saya adalah bagaimana kita bisa hidup secara berkelanjutan di planet ini. Itu pertanyaan besar yang selalu saya pikirkan.
Apa ini jadi salah satu consideration Ibu untuk tidak tinggal di Jakarta?
Dua sih (pertimbangannya). Sebenarnya waktu di Jakarta sudah mulai, rumah saya juga sudah punya panel surya, (saya) ngurus sampah. Lalu saya tuh lahir di Jakarta, jadi sebetulnya masih oke di Jakarta. Tapi suami saya enggak suka di Jakarta, karena terlalu hiruk-pikuk dan semakin macet. Dia tidak merasa tenang di Jakarta. Dan anak-anak juga, kita senang dekat dengan alam.
Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat
Jadi kayaknya pindah ke Bali itu opsi yang sangat baik karena semua bisa didapatkan. Dekat dengan alam karena kami tinggal tidak jauh dari pantai; bisa banyak waktu bersama karena enggak macet, dan transisi ke periode dalam hidup saya di mana I have more time to think.
Dan betul juga, karena di sini bisa di-explore lebih banyak tentang sustainability. Ada waktu dan ruang untuk itu.
Followers dan pembaca Magdalene lebih banyak perempuan muda, Gen Z dan Milenial. Apa pesan Bu Suzy agar mereka bisa menghadapi dunia yang semakin berat ini?
Pesan saya adalah to be confident about the future. Karena meskipun kita sekarang banyak masalah, sebenarnya ada perubahan yang luar biasa yang sudah berjalan. Yaitu sudah dimulai dan ada kesadaran tentang masalah lingkungan dan sosial. Ini satu hal yang terjadi, padahal saya tidak harapkan. Karena untuk sekian lama, banyak orang yang meremehkan kalau kita jadi environmentalist. Tapi sekarang berbeda. Jauh lebih banyak orang yang tertarik dengan isu-isu lingkungan dan sosial, termasuk kesetaraan gender. Jadi saya pikir, waktunya sudah tiba. Untuk semua anak muda di sana, ini momen Anda untuk betul-betul memahami mengenai isu-isu ini di dunia. Dan karena dunia juga sudah digital, begitu banyak yang bisa Anda lakukan untuk belajar, mempengaruhi orang lain untuk mengerti tentang isu-isu, dan juga mengenai bagaimana Anda bisa stand up for these issues because you can create contents. Or to make your voice heard online. It’s a wonderful time in the next 10 years.
Read More