Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Selain soal keterwakilan perempuan di tubuh partai politik, ongkos politik yang mahal untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat menjadi alasan lain mengapa eksistensi perempuan di panggung politik kurang.

Bupati Jember, Faida, pernah menggambarkan sulitnya mendapatkan rekomendasi partai karena sebagai perempuan dan ia menolak membayar mahar politik dengan jumlah miliaran kepada partai politik. Menurutnya, dukungan publik dan kontribusi besar untuk partai tidak serta merta memberikannya peluang untuk mencalonkan diri kembali.

“Saya pernah merasakan enggak dikasih rekomendasi oleh partai karena saya perempuan dan katanya tokoh agama enggak mau punya pemimpin perempuan. Belum lagi saya enggak mau ngasih mahar bermiliar-miliar untuk dapat rekomendasi,” ujar Faida dalam Diskusi Publik Perempuan Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Pola Kebijakan yang diselenggarakan oleh Cakra Wikara Indonesia (CWI) tahun lalu.

“Mungkin saya bisa terpilih meski enggak bayar mahar tapi itu juga jarang terjadi kepada yang lain. Sementara gaji bupati itu cuman Rp6 jutaan. Dengan puluhan miliar itu sulit jadi pemimpin yang tegak lurus. Itu cara-cara yang tidak terhormat dengan membeli suara,” ia menambahkan.

Mahar politik dengan jumlah fantastis ini sudah menjadi rahasia umum di dunia politik Indonesia. Dari banyak pengakuan para politisi yang gagal ke Senayan, ongkos kampanye bisa mencapai Rp2-3 miliar, sedangkan untuk calon kepala daerah dan bupati bisa mencapai Rp20-25 miliar.

Baca juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Padahal Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) hanya memperbolehkan dana kampanye dari dua sumber, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dana perseorangan untuk calon anggota legislatif adalah maksimal Rp750 juta, sedangkan sumbangan dari badan hukum dan usaha Rp1,5 miliar. Di tingkat pemilihan presiden, dana dari badan hukum maksimal Rp25 miliar serta perseorangan Rp2,5 miliar.

Tanpa Mahar Pun Biaya Politik Sudah Besar

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, tanpa adanya biaya-biaya ilegal seperti mahar dan biaya lain-lainnya pun ongkos kampanye sebetulnya sudah cukup besar. Hal ini karena populasi pemilih yang besar di Indonesia dan kondisi geografis yang luas akan menguras kantong, ujarnya.

“Mahar-mahar politik itu tentu bukan uang yang sedikit. Ditambah dengan biaya operasional kampanye, bayar saksi lah, bayar petugas, belum kalau ada serangan fajar. Meski sebetulnya itu tanda politik yang tidak sehat, namun hal-hal seperti itu sulit sekali dihilangkan,” ujar Titi kepada Magdalene

Dana-dana ilegal tersebut tentu tidak dibayar oleh partai. Semua ongkos politik yang membengkak itu sepenuhnya datang dari uang pribadi para calon kandidat, sehingga tidak heran jika banyak kandidat yang jor-joran mengeluarkan dana agar bisa berkompetisi di panggung politik, ujar Titi.

“Iklim politik yang tidak sehat sepeti ini membuat para politisi kebanyakan datang dari pengusaha atau para elite yang berduit, bukan dari orang-orang yang benar-benar punya visi untuk memajukan rakyat,” ia menambahkan.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Struktur Partai Politik Maskulin dan Elitis

Selain fakta ongkos politik yang selangit, struktur partai politik yang maskulin dan elitis membuat rekomendasi pencalonan kandidat di pemilihan umum maupun Pilkada cenderung elitis, meski sebetulnya setiap anggota memiliki hak yang sama, termasuk perempuan.

“Proses pencalonan politisi dalam partai itu sangat elitis. Rasa kepemilikan terhadap kontestan dan anggota partai itu enggak begitu kuat. Seharusnya dalam proses pencalonan itu ada unsur gotong royong, dan dilihat mana yang punya kapasitas mumpuni,” ujar Titi.

“Proses pencalonan ini menjadikan para anggota yang tidak punya kekuasaan yang kuat dan dana yang kuat cenderung mundur, apalagi kalau perempuan,” ia menambahkan.

Kesadaran politik di Indonesia yang masih rendah menjadi faktor lain sulit terwujudnya proses pemilihan yang murni mempertimbangkan visi misi kandidat. Berbeda dengan negara-negara maju yang memiliki kesadaran politik besar dan mau berkontribusi untuk perubahan. Di Amerika Serikat misalnya, kandidat yang punya misi untuk perubahan masyarakat yang lebih baik bisa maju dengan dukungan dari donasi publik. Hal ini terjadi pada mantan Presiden Barack Obama dan anggota Kongres Alexandria Ocasio Cortez.

Cortez terpilih sebagai perempuan anggota Kongres termuda mewakili New York. Ia mendapat simpati publik karena memiliki pengalaman politik di akar rumput, serta cukup vokal memperjuangkan kelompok-kelompok termarginalkan dan hak perempuan. Kultur politik yang lebih sehat seperti ini lebih membuka ruang bagi orang-orang yang secara serius ingin terjun ke dunia politik untuk perubahan.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

“Di sana politik itus udah jadi persoalan personal dan keseharian. Orang mau mendengarkan dan berkontribusi, jadi orang-orang yang bukan berasal dari elite atau pengusaha punya ruang untuk maju. Sayangnya, Indonesia belum sampai pada tahap itu,” ujar Titi.

Di Indonesia anggapan para kandidat yang maju dalam pemilihan otomatis punya uang untuk membiayai dirinya sendiri, turut melanggengkan masalah ini, tambah Titi.

Menyuburkan Politik Dinasti

Persoalan partai politik yang elitis ini juga berpotensi menyuburkan politik dinasti. Banyak pemimpin daerah perempuan terpilih karena suami ataupun keluarganya punya kekuasaan. Karenanya, tidak bisa dikatakan bahwa perempuan berhasil naik ke posisi atas di dunia politik itu murni punya kepentingan untuk membela hak perempuan. Alasan itu pula yang menjadikan perempuan semakin enggan masuk politik.

“Padahal sebetulnya kalau iklim politik lebih sehat dan partai politiknya mendukung para anggota yang punya misi besar, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang dari akar rumput atau perempuan yang tidak segan terjun ke politik,” ujar Titi.

Konsekuensi lainnya dari ongkos politik yang besar selain meminggirkan perempuan adalah makin suburnya benih-benih korupsi ketika kandidat terpilih. Korupsi menjadi jalan pintas untuk menutupi pengeluaran selama masa kampanye yang membengkak.

“Semuanya itu elitis, selama ikatan proses elitis dengan struktur/anggota partai itu enggak kuat dan dana operasional politik yang mahal, dunia politik akan terus menjadi arena mereka yang punya uang saja,” kata Titi.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Jumlah perempuan di DPR belum mencapai kuota 30 persen, demikian juga di partai politik. Hal ini berhubungan dengan dunia politik yang masih sangat maskulin. Perempuan dalam politik baru mendapat ruang untuk diakui kehadirannya pada masa Reformasi. Adanya pembungkaman kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa dan hilangnya suara kelompok terpinggirkan selama masa otoriter Orde Baru membuat salah satu prioritas utama Reformasi dalam ranah politik adalah memperbaiki kualitas representasi politik. Sebagai kelompok yang paling terabaikan kepentingannya, perempuan masuk menjadi agenda prioritas tersebut.  

Keseriusan negara dalam mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik terlihat dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian diikuti dengan politik afirmasi dengan memperbarui aturan partai politik dan pemilihan umum (Pemilu).

Kebijakan afirmatif ini merupakan tindakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan agar secara aktif terlibat dalam politik formal, termasuk jabatan-jabatan politik dan struktur politik dalam partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif serta level kementerian.

Perwujudan kebijakan politik afirmasi ini, ditetapkan lewat Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana dalam berbagai aturan perundangan itu tercantum jika partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta daerah.

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Pasal 65).

Jumlah perempuan di DPR belum 30 persen sebenarnya. Angka 30 persen sendiri mengacu pada penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen adalah angka yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak signifikan pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Upaya ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.

Baca juga: Salah Paham Atas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Jumlah Perempuan di DPR Serta Politik afirmasi yang masih belum efektif

Kendati sudah ada aturan tersebut, peningkatan representasi jumlah perempuan di DPR serta di ranah politik masih jauh dari harapan. Hasil penelitian dari Cakra Wikara Indonesia, organisasi yang berfokus pada kajian sosial politik berperspektif gender, yang bertajuk Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (2018), menunjukkan, sejak diberlakukannya aturan tersebut hingga sekarang ini, angka perempuan yang berhasil duduk di legislatif belum pernah mencapai angka 30 persen.

Menurut data, pada periode 1999-2004 kursi perempuan di DPR hanya mencapai 9,09 persen, meningkat dua persen pada periode 2004-2009. Baru pada Pemilu 2009 ada kemajuan signifikan di angka 18 persen, namun kembali menurun pada Pemilu 2014 dengan angka 17,32 persen.  

“Hal itu karena saat pertama kali diadopsi pada pemilihan umum 2004, kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu masih bersifat imbauan dan tidak ada aturan sanksi jika dilanggar. Baru menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 ada penguatan aturan tersebut dengan diberlakukannya sanksi kepada partai politik jika tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis CWI.

Tak jauh berbeda dari pusat, di tingkat provinsi (DPRD) menunjukkan kecenderungan yang sama. Hasil Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa rata-rata perolehan kursi perempuan adalah 16 persen. Hal tersebut seolah kembali membuktikan jika pemenuhan syarat 30 persen keterwakilan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon wakil rakyat perempuan di ranah politik.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Artikel The Conversation bertajuk Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR? menganalisis bagaimana masalah UU Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara merupakan faktor sistematik. Sementara faktor terpenting yang memengaruhi perempuan secara langsung, seperti, ideologi serta aturan internal partai yang menentukan motivasi perempuan sebagai calon anggota legislatif seharusnya mendapat perhatian lebih.

Hal itu dibuktikan dari data hasil Pemilu 2009 dan 2014 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI merupakan calon yang ditempatkan di nomor urut atas, sehingga prioritas kader perempuan merupakan hal yang tak kalah krusial.

“Mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu,” menurut artikel tersebut.

Namun sayangnya, politik afirmasi yang bercita-cita memajukan perempuan ini belum sepenuhnya menjadi agenda sebagian besar partai politik di Indonesia. Dalam kesimpulan penelitiannya, CWI juga menggarisbawahi bahwa politik afirmasi ini cenderung sekedar menjadi pemenuhan syarat administratif mengikuti pemilu bagi partai-partai. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

Selain itu, kebanyakan partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar yaitu melakukan transformasi kebijakan yang lebih inklusif.

Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

“Fakta memperlihatkan bahwa dalam hal pengalaman berpolitik kader dan caleg perempuan tertinggal dibanding caleg laki-laki. Partai mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus melakukan program penguatan kapasitas kader dan caleg perempuan serta tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye yang dapat meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih,” tulis CWI.

Kebijakan yang tak berpihak pada perempuan

Dampak dari kebijakan afirmasi yang ditempatkan hanya sebagai syarat administrasi semata tanpa memikirkan cita-cita awalnya yaitu mendorong kebijakan yang mendukung lebih banyak perempuan ini tentu punya implikasi yang sangat besar.

Menurut Ketua CWI Anna Margret, persoalan representasi perempuan di ranah institusi politik formal bukan sekedar urusan jumlah, melainkan juga substansi yang dibawa oleh para perempuan di institusi-institusi tersebut, sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi urusan formal prosedural, tetapi betul-betul mampu menawarkan solusi bagi permasalahan riil dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah yang dialami perempuan.

“Satu hal yang perlu kita catat juga, peraturan itu penting, kita ngomong tentang aturan-aturan formal. Tapi yang namanya aturan itu diimplementasi oleh manusia secara kolektif, entah oleh sebuah organisasi atau partai politik. Jadi ya itu balik lagi si partai politiknya ngerti enggak esensi politik afirmasi ini, sejalan enggak? Kebijakan afirmasi 30 pencalonan di legislatif ada aturannya, dijalankan enggak? Iya dijalankan. Tapi ada hasilnya? Enggak,” ujar Anna kepada Magdalene.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Implikasi paling nyata dari permasalahan ini tercermin dari bermunculan Rancangan Undang-undang (RUU) yang justru jauh dari cita-cita politik afirmasi sendiri dan sebaliknya berusaha meminimkan gerakan perempuan, RUU Ketahanan Keluarga misalnya yang berusaha kembali menempatkan perempuan ke ranah domestik. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang jelas menyangkut hajat hidup perempuan malah tidak diprioritaskan serta tidak dilihat sebagai masalah serius.

Anna mengatakan bahwa impian akan ada solidaritas otomatis terhadap perempuan setelah perempuan lainnya berhasil naik di pucuk kepemimpinan merupakan asumsi dan mitos. Kita harus melihat secara jeli latar belakang perempuan yang mengisi angka keterwakilan itu seperti apa, karena bisa jadi mereka ada karena pengaruh dari laki-laki atau kepentingan lain, tambahnya.

“Identitas perempuan itu beragam. Perempuan yang mana akan dukung perempuan mana? Ada sisterhood atau solidaritas itu bagus harus didukung. Kepekaan sama isu perempuan didapat dari pengalaman berjejaring dengan kelompok yang berbeda dan tersisihkan tapi kalau enggak gimana?,” ujar Anna.

“Mungkin kita punya pemimpin DPR perempuan pertama, tapi otonomi dia dalam membuat kebijakan itu ada enggak? Atau dia harus kompromi dengan struktur kuasa yang lebih luas? Kalau kebijakan dia enggak pro perempuan, kita harus lihat dia ada di institusi macem apa? Apakah institusinya udah demokratis? Dia betul punya kuasa apa enggak? Apakah dia punya kuasa secara otonom untuk mengambil kebijakan? Jangan-jangan dia hanya dijadikan sebagai sesuatu yang simbolik aja,” tambah Anna.

Read More