Tenaga Kesehatan Perempuan Banyak, Namun Masih Tersisihkan
Bidang kesehatan merupakan salah satu sektor pekerjaan yang identik dengan perempuan. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, menunjukkan dua per tiga sumber daya manusia di sektor kesehatan global adalah perempuan, dan 90 persennya adalah perawat.
Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah tenaga medis pada 2019 mencapai 1.244.162 orang, dengan persentase perempuan lebih dari 70 persen. Profesi yang didominasi oleh perempuan adalah dokter umum, ahli gizi, dokter spesialis anak, perawat, bidan, dan bantuan tenaga kesehatan lainnya.
Kendati jumlah perempuan unggul di sektor kesehatan, namun hal itu tidak diikuti dengan jumlah kenaikan pemimpin perempuan yang ada di posisi atas (top position). Sejak Indonesia merdeka misalnya, dari 20 menteri kesehatan yang pernah menjabat, hanya empat di antaranya yang merupakan perempuan. Jika melihat data dari Kementerian Kesehatan, walaupun jumlah dokter umum didominasi oleh perempuan, tapi angka dokter perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan menjadi dokter spesialis hanya 12.324. Berbeda jauh dengan laki-laki yang mencapai 17.268 orang.
Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda
Di tengah pandemi saat ini, dengan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan penanganan wabah COVID-19, masih belum terlihat representasi perempuan sebagai pemimpin. Bahkan, dalam pembentukan gugus tugas tingkat nasional pada Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi tidak melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Padahal, selain perempuan merupakan pihak paling rentan karena pandemi, perawat yang bertugas menangani pasien terpapar COVID-19 juga didominasi oleh perempuan yang harus meninggalkan keluarganya.
Di ranah global, dalam laporannya WHO juga menyebutkan bahwa, tak hanya terjadi ketimpangan gender dalam persentase pemimpin perempuan di sektor kesehatan. Tenaga kesehatan perempuan juga mendapatkan upah 28 persen lebih rendah dibanding laki-laki. Mereka lebih banyak menghadapi hambatan dan kesulitan diangkat menjadi pegawai tetap maupun naik jabatan. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan di bidang kesehatan masih dinomorduakan.
Dua Sisi Mata Uang Perempuan di Bidang Kesehatan
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, Dumilah Ayuningtyas mengatakan, posisi perempuan di bidang kesehatan itu seperti dua sisi mata uang. Stereotip gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih penyayang dan memiliki empati sosial yang besar membuat mereka diarahkan untuk bekerja di bidang kesehatan. Namun di sisi lain, budaya patriarkal yang masih kuat di masyarakat juga menjadi hambatan perempuan untuk bisa naik ke posisi atas.
“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan.”
“Perempuan itu identik dengan caring, empati, responsiveness. Budaya di masyarakat kita juga kan kalau kerja di tambang dan perminyakan itu dianggap maskulin, jadinya diarahkan buat laki-laki. Tapi meski sudah dominan di bidang tertentu, perempuan kadang punya hambatan dari dalam, yang enggak kelihatan,” ujar Dumilah kepada Magdalene.
Senada dengan Dumilah, Ade W. Prastyani, peneliti dari Center for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada, menulis dalam artikelnya di The Conversation bahwa peran gender tradisional yang dilekatkan pada perempuan sangat berpengaruh pada karier mereka di dunia kesehatan. Menurutnya, jalur karier tenaga medis perempuan setelah pendidikan dan kewajiban dinas dipengaruhi oleh tuntutan sosial, termasuk besarnya peran gender yang mereka hadapi. Tenaga kesehatan perempuan cenderung tidak bisa begitu bebas memilih lokasi tempat kerja. Apalagi jika lokasinya terpencil dan jauh dari keluarga, tulisnya.
Hal itu cukup disayangkan karena masalah disparitas atau tidak meratanya jumlah tenaga kesehatan di Indonesia merupakan persoalan yang sudah ada sejak dulu. Pemerintah pun terus berupaya melakukan program-program pemerataan tenaga medis, dengan jalan mengirimkan mereka bertugas ke daerah terpencil.
Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan
Tenaga Kesehatan Perempuan Terhalang Peran Gender Normatif
Sejak 2015, pemerintah mengadakan program Nusantara Sehat (NS) yang telah mengirim lebih dari 700 tenaga kesehatan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Berbagai aspek kerja para tenaga dan alumnus di program NS itu menjadi salah satu subjek penelitian Ade. Ia menemukan bahwa peran gender merupakan salah satu faktor yang membatasi persepsi karier tenaga kesehatan perempuan di dunia profesional. Banyak di antara mereka yang memutuskan tidak melanjutkan penugasan di daerah terpencil karena alasan personal.
“Program NS ini berdurasi dua tahun. Setelahnya bisa dilanjutkan untuk penugasan secara individu. Namun dari hampir semua tenaga kesehatan NS yang kami wawancarai, faktor keluarga dan persepsi peran gender mendominasi narasi mereka akan perjalanan karier. Keputusan mengenai lokasi kerja mereka selalu diwarnai pertimbangan kuat untuk mendapatkan persetujuan keluarga,” tulis Ade.
Ketiadaan dukungan keluarga serta tuntutan peran gender normatif terhadap perempuan itu, menurut Ade, mempersulit perempuan menapaki jenjang karier yang lebih atas di bidang kesehatan. Padahal, tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, gizi, kefarmasian, dan teknisi laboratorium kesehatan yang didominasi perempuan adalah profesi kesehatan dengan disparitas distribusi yang besar di kawasan urban pedesaan/terpencil di Indonesia.
“Salah satu perempuan alumnus program NS yang berprofesi teknisi laboratorium yang kami wawancara, misalnya, harus mengurungkan niatnya untuk bekerja lagi di bawah program NS individu karena larangan orang tuanya. Ibunya memintanya memprioritaskan menikah,” ia menambahkan.
Jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan.
Kesempatan Naik Jabatan Lebih Besar untuk Tenaga Kesehatan Laki-Laki
Selain hambatan personal karena keluarga dan budaya, Dumilah menilai bahwa sistem birokrasi di sektor kesehatan sekarang ini masih belum melihat minimnya keterwakilan perempuan di posisi atas sebagai suatu masalah. Akibatnya, belum ada ruang yang cukup untuk mendorong agar perempuan lebih berani.
“Banyak kasus yang kadang perempuannya itu tidak siap [untuk ditugaskan]. Padahal, mereka sama-sama kompeten dan punya kapasitas,” ujar Dumilah.
Sistem di lembaga kesehatan yang tidak begitu mendorong perempuan untuk naik ke posisi atas juga ditemukan oleh akademisi Universitas Airlangga, Nuzulul Kusuma Putri, dalam penelitiannya yang bertajuk “Gender segregation of health workforce in the community healthcare setting” (2018). Nuzulul melakukan studi kasus pada 352 pejabat publik dalam organisasi kesehatan dua provinsi. Ia menemukan bahwa walaupun pekerja perempuan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan terhenti pada tingkat kepemimpinan setingkat kepala seksi.
Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan
Sementara pemimpin laki-laki memiliki kesempatan yang lebih besar untuk naik ke posisi jabatan lebih tinggi setingkat kepala bidang hingga kepala dinas, tulis Nuzulul.
“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan,” tambahnya.
Dumilah mengatakan, jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan. Hal itu, terutama dalam hal pemilihan kepemimpinan, agar perempuan lebih berani maju, ujarnya.
“Harus ada political will dulu kalau pemerintah mau membenahi isu ini. Sekarang ini kan cuman istilahnya ‘dijatahkan’, kesannya itu perempuan sudah diatur porsinya, kalau enggak ada jatah ya sudah dilupakan,” kata Dumilah.
Read More