Guru hapus stereotip gender

Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Di banyak bidang pekerjaan, mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kesehatan, birokrasi, hingga macam-macam industri, perempuan masih kerap tertinggal dari laki-laki dalam hal kepemimpinan.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya bagaimana pendidikan mengenai peran gender dan kepemimpinan ditanamkan oleh masyarakat sejak seseorang masih kanak-kanak.

Keluarga adalah Pendidik Pertama

Sebagai unit terkecil masyarakat dan terdekat bagi seorang anak, keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran penting dalam menanamkan pendidikan mengenai peran gender yang setara; bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bisa punya cita-cita atau terjun dan memimpin di bidang apa pun.

Pendidikan mengenai peran gender ini dapat diterapkan orang tua mulai dari hal-hal sederhana sesuai kemampuan kognitif anak pada usianya. Misalnya terkait mainan, sikap kritis orang tua untuk tidak langsung membedakan mana mainan untuk laki-laki (seperti robot, mobil, bola) dan mainan untuk perempuan (boneka, alat masak, alat dandan) berpengaruh terhadap persepsi anak mengenai apa yang wajar dan tak wajar dilakukan orang-orang berjenis kelamin sama dengannya.

Demikian juga terkait peminatan terhadap bidang tertentu. Menurut penulis Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that’s Dividing the Workplace, Kim Elsesser, orang tua atau guru kerap menyetir anak untuk masuk atau tidak masuk ke bidang tertentu sesuai stereotip gender yang ada.

“Anak laki-laki misalnya, lebih didorong dibanding perempuan untuk menguasai bidang sains dan Matematika, bidang yang menghasilkan uang lebih banyak,” kata Elsesser dalam Forbes.

Dorongan dan kesempatan lebih besar bagi laki-laki untuk menguasai bidang-bidang tertentu dan lantas mendatangkan penghasilan lebih tinggi tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa laki-lakilah yang kelak memimpin keluarga dan menjadi pencari nafkah utama.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

“Karena itu, laki-laki akan diutamakan dalam pendidikan. Jika sebuah keluarga memiliki dana yang terbatas, maka keluarga tersebut akan mengutamakan anak laki-laki untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi karena dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya,” kata Niken Savitri, pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender Indonesia, seperti dikutip dalam laman Pusat Informasi Pembelajaran Unpar.

Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan, banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau sama seperti pasangannya, terjun banyak ke ranah publik. Hal seperti ini perlu dipandang sebagai hal yang wajar alih-alih sesuatu yang harus disalahkan dari perempuan.

Bahkan menurut Nadia Sarah, seorang entrepreneur dan founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, terjunnya perempuan di dunia profesional bisa menjadi hal positif dalam mendidik anak.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

Dalam interaksi sehari-hari pun, berbagai hal yang dikaitkan dengan sifat perempuan atau laki-laki ideal dapat dikritisi kembali dalam keluarga untuk menggeser stereotip gender dan mendukung kepemimpinan perempuan. Sebagai contoh, sifat ambisius yang dirasa wajar dipunyai laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, dalam wawancara dengan Magdalene untuk podcast “How Women Lead”.

Peran Guru Hapus Stereotip Gender dalam Kepemimpinan Anak Perempuan

Sebagaimana orang tua, guru juga dapat mendorong kepemimpinan anak perempuan lewat berbagai contoh dan respons dalam keseharian.

Dalam tulisan bertajuk “How schools can encourage girls to be leaders – from day one” di situs Ark, Kepala Deputi bidang Pengajaran, Pembelajaran, dan Kurikulum di Ark Greenwich Free School, Inggris Laura Yandell menjabarkan hasil risetnya mengenai kepemimpinan di kalangan siswi. Salah satu hal menarik dari temuannya adalah pendapat para siswi yang merasa jarang menemukan perempuan pemimpin, terlebih sebagai kepala sekolah perempuan.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

“Ini mendorong mereka merasa bahwa menjadi pemimpin adalah suatu tantangan bagi perempuan dan akhirnya mereka berkecil hati untuk bisa seperti itu kelak,” tulis Yandell.

Tidak hanya di Inggris, situasi kepala sekolah perempuan yang lebih sedikit juga ditemukan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Dalam studi yang dilakukan peneliti dari INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, meski kinerja guru perempuan mengungguli guru laki-laki, hanya 30 persen perempuan di SD dan 13 persen di madrasah yang menjabat kepala sekolah.

Mengubah representasi macam ini tentu tidak mudah dan sebentar. Namun, para pendidik di sekolah tetap dapat mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan lewat cara mereka berinteraksi dengan murid dan menyampaikan konten-konten pelajaran.

Dalam sebuah tulisan di Magdalene, seorang guru menceritakan pengalamannya melihat murid yang menerapkan stereotip gender dalam kesehariannya. Contohnya tentang anggapan anak laki-laki tidak boleh menangis. Alih-alih langsung menegur dan mencekoki muridnya dengan materi kesetaraan gender yang rumit, sang guru memilih pendekatan berdialog dengan bahasa yang mudah mereka terima. Ia menyatakan bahwa menangis adalah hal yang normal dan sehat bagi setiap orang sehingga menangis bagi laki-laki bukan pertanda ia lemah.

“Sebagai guru, saya percaya bahwa kita [para guru] punya peran penting dalam mendidik para murid di luar hal akademis. Bila hal-hal seksis seperti ini tetap dibiarkan, itu akan mendorong masalah lebih besar yang kita hadapi sekarang yakni patriarki,” tulisnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Sementara terkait konten pelajaran, Niken dari Unpar mengatakan, kerap kali guru meneruskan materi berstereotip gender yang dibentuk masyarakat dan ini perlu direkonstruksi.

“Di sekolah dasar, misalnya, ditanamkan pola: ibulah yang pergi ke pasar sedangkan ayah pergi ke kantor. Pilihan jurusan di universitas atau kepanitiaan mahasiswa juga (biasanya perempuan menjadi seksi konsumsi sedangkan laki-laki di bagian logistik) tidak terlepas dari konstruksi masyarakat atas gender,” kata Niken.

“Karena gender merupakan konstruksi budaya, maka pandangan tentang gender yang bias harusnya bisa direkonstruksi. Di sinilah pendidikan berperan sangat besar untuk mengubah pola dan persepsi tersebut.”

Upaya lain yang dapat dilakukan guru hapus stereotip gender adalah dengan menyoroti kontribusi-kontribusi penting para perempuan di berbagai spektrum akademis, serta menyebutkan tokoh-tokoh perempuan pemimpin dari mancanegara yang patut jadi panutan. Dengan melakukan ini, para guru bisa membantu murid-muridnya mematahkan persepsi negatif tentang perempuan dan anak perempuan dalam kepemimpinan.

Selain itu, penting pula bagi guru untuk mengajak murid untuk mengkritik pola pikir kaku di sekolah serta menantang ekspektasi sosial yang meminggirkan peran perempuan di bidang-bidang tertentu. Yandell mencontohkan, dalam cerita tentang Marie Curie, ilmuwan peraih Nobel bidang Kimia dan Fisika, kerap digambarkan bahwa capaiannya adalah hal langka dan “tidak normal” didapatkan seorang perempuan.

“Perempuan panutan seperti Marie Curie yang dipelajari oleh para siswi dikenal sebagai pemberontak dan mereka mencapai sesuatu karena mereka tidak mengikuti ekspektasi sosial. Ini sangat berbeda dengan banyak pelajaran di sekolah yang sangat mendorong para murid untuk selalu mengikuti aturan dan ekspektasi sosial,” ungkap Yandell.

Read More