Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Dari berbagai sektor pekerjaan yang ada, pertambangan adalah salah satu sektor yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas. Di berbagai negara, jumlah pekerja perempuan di sektor ini masih kalah jauh daripada laki-laki.

Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan sekitar 115 ribu orang, sementara laki-laki 1,28 juta orang. Sementara di sektor listrik, air, dan gas, hanya ada sekitar 46 ribu pekerja perempuan, sedangkan laki-laki sekitar 347 ribu orang. Kedua sektor ini merupakan sektor-sektor dengan jumlah pekerja perempuan terendah.

Dua tahun kemudian, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, disebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan di sektor tersebut hanya kurang dari 10 persen. 

Ketimpangan gender di sektor pertambangan tidak hanya terlihat dari segi jumlah. Dalam aspek upah pun, sebagaimana ditemukan dalam data BPS mengenai upah pekerja berdasarkan jenis kelamin dari semua sektor pekerjaan, perempuan menerima gaji yang lebih rendah dari laki-laki.

Berdasarkan data BPS per Februari 2019, rata-rata gaji yang diterima perempuan di sektor pertambangan dan penggalian ialah Rp4,26 juta, sementara laki-laki Rp5,12 juta. Ketimpangan serupa tampak di sektor pengadaan listrik dan gas, di mana perempuan hanya menerima gaji rata-rata Rp3,45 juta, sedangkan laki-laki Rp3,79 juta. 

Peran Tradisional dan Perempuan Pekerja Tambang

Peran gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih lemah dibanding laki-laki berpengaruh terhadap ketimpangan gender di sektor pertambangan. Dalam artikel bertajuk “Pengarusutamaan Gender di Industri Tambang di Indonesia” yang dipublikasikan Bank Dunia pada 6 Maret 2020, digambarkan ilustrasi kasus di mana pekerja perempuan dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan fisik berat yang identik dengan industri pertambangan.

Baca juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Peran gender tradisional ini juga memengaruhi terjadinya bias dan diskriminasi gender dalam praktik perekrutan pekerja tambang. Berdasarkan laporan Responsible Mining Foundation (RMF) yang diluncurkan pada Mei 2019 terkait perempuan pekerja tambang, dinyatakan bahwa sejak lama perempuan dilarang bekerja di tambang bawah tanah dan baru-baru ini saja larangan itu dicabut. Contohnya, pada 2009 di Afrika Selatan dan 2019 di India.

Bias gender juga lah yang menyebabkan sedikitnya perempuan di posisi pemimpin di sektor pertambangan. Dalam tulisan Kassia Yanosek dkk. terkait hasil riset McKinsey tahun 2018 seputar perempuan di industri minyak dan gas di Amerika Serikat, disebutkan bahwa perempuan yang punya potensi tinggi atau setara kapasitasnya dengan laki-laki sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan perusahaan soal siapa yang menjadi pemimpin.

Selain itu, peran gender tradisional juga memberatkan perempuan dalam hal tanggung jawab mengurus rumah tangga yang akhirnya kerap berbenturan dengan karier. Yanosek dkk. mengungkapkan bahwa urusan keluarga menjadi faktor yang menghambat pekerja perempuan naik ke level atas perusahaan. Mereka menganalisis, tuntutan untuk bekerja di tempat jauh atau luar negeri dalam karier di sektor ini menjadi tantangan besar bagi perempuan.

“Dalam sebuah wawancara dengan satu CEO, kami mencatat bahwa pusat operasi industri minyak dan gas sering berada di tempat jauh atau terpelosok… Seorang mantan direktur berkata kepada kami, ‘Dalam perusahaan minyak dan gas global, kalau kamu tidak tinggal di luar negeri, kamu tidak bisa mencapai level tertentu,” tulis mereka. 

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Hasil riset McKinsey soal ketimpangan gender di posisi atas ini sejalan dengan temuan studi dalam laporan RMF. Hasil Responsible Mining Index (RMI) tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar dari 30 perusahaan pertambangan berskala besar ternyata tidak atau hanya sedikit memiliki upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender pada tataran pimpinan dan manajemen. Skor rata-rata perusahaan-perusahaan tersebut hanya mencapai 4,5 persen dalam aspek penerapan intervensi untuk mendukung keberagaman dan inklusivitas di tingkat direksi dan manajemen senior.

Kerentanan Perempuan Pekerja Tambang

Pekerja perempuan di industri ini juga kerap mengalami perlakuan-perlakuan buruk yang menghambat performa kerja mereka. Dalam laporan tersebut, dikatakan bahwa ada perempuan-perempuan pejabat eksekutif pertambangan yang disisihkan, dikucilkan, atau dilecehkan pada awal perjalanan karier mereka. 

Sementara bagi pekerja perempuan di lapangan, kerentanan mereka alami karena berada di lingkungan kerja yang tidak aman. RMF mencatat, kebutuhan dasar untuk bekerja seperti alat pelindung diri serta fasilitas toilet dan kamar ganti yang aman bagi perempuan jarang tersedia. Hal ini diperparah dengan lingkungan remang-remang dan ruang gerak terbatas di bawah tanah yang meningkatkan risiko terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.

Menurut satu studi di Kanada tahun 2014, dalam lima tahun terakhir ada 40 persen perempuan pekerja di lokasi tambang yang mengalami pelecehan. Sementara dalam sebuah wawancara ABC pada 6 Maret 2020 dengan tiga perempuan Indonesia pekerja sektor pertambangan Australia Barat, kata-kata kasar menjadi tantangan yang sering mereka temukan dalam keseharian di lingkungan kerja mereka.   

Kondisi semacam ini pada akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk membuat kebijakan sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual. Namun dari segi implementasi, sayangnya 75 persen dari perusahaan yang disurvei tidak menunjukkan bukti upaya sistematis untuk mencegah hal tersebut.

Baca juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Inisiatif untuk Perubahan Bagi Perempuan Pekerja Tambang

Kendala-kendala yang dihadapi perempuan seperti ketimpangan gender di sektor pertambangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu untuk diatasi. Kontribusi berbagai pihak diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di sektor tersebut.

Beberapa contoh telah diperlihatkan berbagai perusahaan pertambangan sebagai inisiatif untuk melakukan perubahan. Misalnya, rencana perusahaan BHP untuk mencapai kesetaraan gender di seluruh perusahaannya pada 2025 dengan memberi bonus bagi staf paling senior yang mencapai target kenaikan jumlah staf perempuan sebesar 3 persen per tahun.

Ada juga inisiatif dari Goldcorp untuk membuat program pelatihan komprehensif bagi pekerja perempuan mereka. RMI 2018 juga mencatat bahwa perusahaan Newmont berupaya mencapai paritas gender di posisi manajemen senior pada 2030 dengan target minimal 30 persen perempuan menempati jabatan tersebut.

Menyikapi minimnya keamanan bagi pekerja perempuan di lapangan, Codelco, sebuah perusahaan tambang negara di Chile menetapkan panduan perusahaan tentang penyediaan kamar mandi, ruang ganti, dan perlengkapan keamanan kerja sesuai gender. Perusahaan itu juga menyediakan ruang laktasi bagi pekerja perempuan.

Inisiatif-inisiatif berbagai perusahaan tersebut seiring dengan hadirnya inisiatif kelompok pemangku kepentingan yang terdiri dari perwakilan beragam negara. Contohnya adalah Women’s Rights and Mining yang diprakarsai Kementerian Luar Negeri Belanda untuk mendukung hak perempuan di sektor pertambangan dan masyarakat yang terdampak di sekitar industri itu.

Ada juga inisiatif membentuk Me Too Mining Association pada 2018, seiring dengan gelombang besar kampanye #MeToo di Amerika Serikat sejak 2017. Asosiasi ini dibuat untuk memfasilitasi diskusi soal kekerasan dan pelecehan seksual, perundungan, serta diskriminasi di sektor pertambangan.

Read More