Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Menjadi pengusaha perempuan di dunia yang maskulin ini memang tidak pernah mudah. Ada saja tantangan dan hambatan yang datang, baik dari dalam maupun luar lingkungan kita sendiri. Hal itu juga dihadapi oleh Martha Tilaar, pendiri perusahaan kosmetik dan berbagai layanan kecantikan Martha Tilaar Group.

Martha merintis usahanya dari nol, memulai dari modal yang sedikit, dengan menyulap garasi rumahnya. Meski ia lulusan akademi kecantikan di Amerika Serikat, yang dijalaninya ketika mengikuti suami, akademisi H.R. Tilaar, melanjutkan studi, jalan ketika pulang ke tanah air tidak mudah.

Martha, yang lahir pada 1937 dengan nama Martha Handana, mengatakan bahwa cara pandang, sistem, dan budaya di masyarakat terkait perempuan sering kali menyandung langkah mereka dalam berkarier. 

“Dulu kalau mau utang ke bank itu perempuan enggak boleh. Susah. Mereka tidak percaya. Makanya saya ke Singapura. Di Indonesia justru aneh, ya. Perempuan enggak boleh usaha sekuat tenaga. Padahal ada prestasinya. Ada income, bisa nyicil,” katanya saat diwawancarai Magdalene awal tahun ini.

Ia menambahkan, “Kita harus mandiri dan punya keterampilan untuk bisa berdiri sendiri. Jangan minta-minta.”

Perjalanan dan capaian kariernya tidak membuat Martha berhenti pada keinginan untuk membuat produk dan layanan kecantikan demi profit semata. Ia juga bertekad memberdayakan perempuan dan mengajarkan esensi kemandirian finansial sebagai sebuah hal penting yang bisa menyelamatkan mereka. Kata Martha, salah satu tujuannya adalah untuk mencegah perdagangan perempuan.

 “Saya tergerak dari kisah hidup kenalan saya di Hong Kong. Dia hidup dengan HIV. Waktu kecil, dia dijual ke germo-germo oleh ibu-bapaknya untuk menghidupi adik-adiknya. Itu yang melukai hati saya. Jadi perempuan enggak ada hak sama sekali untuk ngomong,” ujar Martha.

Martha meyakini bahwa pendidikan adalah jawabannya. Karena itu, pada tahun 1990-an, Martha mendirikan sebuah sekolah kecantikan di bilangan Kuta, Bali, dan mencari murid dari berbagai daerah di Indonesia.

“Semua [biaya pendidikan] gratis. Kita makan bareng-bareng, kerja bareng-bareng. Alumninya sudah 6.000 orang lebih. Ikatan dinas selama tiga tahun [bekerja di Martha Tilaar Group], setelah itu bebas mau lanjut atau buka usaha sendiri. Tujuannya supaya mereka punya keterampilan,” ujarnya.

Pada usia 83 tahun, Martha masih aktif berkegiatan, baik di dunia bisnis maupun melukis. Berikut kutipan obrolan Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene dengan Martha Tilaar, didampingi Head of Corporate Communication Martha Tilaar Group, Palupi Candrarini, awal tahun ini.

Simak juga episode podcast How Women Lead bersama Martha Tilaar dan putrinya Wulan Tilaar.

Magdalene: Bagaimana awal mula Ibu berpikir untuk menekuni bidang kecantikan?

Martha Tilaar: Pikiran kita, kita itu termasuk saya, itu enggak beres. Sebab berpikirnya, everything from the West is the best. Waktu saya sekolah di sekolah Belanda, pandangannya kalau you inlander, you underdeveloped. Waktu sekolah di Amerika juga. Sedih sekali saya. Pada saat itu, saya melihat kecantikan selalu yang mahal-mahal. Padahal belum tentu cocok buat kita. Jadi, saya kepingin identitasnya kecantikan Indonesia. Waktu saya pertama-tama cari buku, satu pun buku tentang kecantikan Indonesia, jamu-jamu, itu enggak ada di Indonesia. Kalau di luar negeri itu banyak.

Baca juga: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Akhirnya, eyang saya bilang, “Ya udah, kamu pergi aja ke dukun-dukun beranak. Biar kamu belajar langsung dari mereka.” Bagaimana setelah melahirkan biar lancar susu (ASI), slimming, pake parem (campuran herbal), pilis (campuran herbal yang ditempel di dahi),.

Tapi, teman-teman saya yang mengenal saya pada bilang, “Waduh, Martha Tilaar itu orang gila. Baru dari Amerika, dia kepingin belajar dari dukun-dukun. Dia kepingin cepet kaya. Kamu jangan ke salon dia. Nanti kamu dipelet.” Jadi, selalu negatif begitu.

Apa yang membuat Ibu ingin fokus pada dunia kecantikan khusus perempuan Indonesia dan dengan memanfaatkan bahan-bahan dari Indonesia?

Saya dapat shock therapy waktu saya kuliah di Amerika. Karena berpikir yang dari Barat itu paling bagus, jadi make up ludruk (seni drama tradisional dari Jawa Timur), wayang, itu dianggap kampungan. Padahal, itu justru value-nya besar. Seorang guru saya dulu bilang, “Martha, your end paper must be about the indigenous make-up from your country.” Kaget saya. Saya enggak tahu apa-apa.

Itulah kesalahan kita semua. (Budaya Indonesia) dianggap kampungan. Akhirnya, seorang teman saya dari Jepang menawarkan saya buat menulis tentang geisha. Saya sudah senang, berpikir tugas saya bagus tentang geisha itu. Tapi guru saya bilang, “Martha, you are from Indonesia. Why you wrote your paper in Japanese way?” Duh, saya bingung.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Akhirnya saya jujur, saya bilang, “Because I don’t know about my culture.” Dia bilang, “Shame on you. As an Indonesian you don’t know about your culture.” Dari situ, barulah saya sadar. Ya Tuhan, kalau pulang nanti, saya akan melestarikan budaya saya dalam bidang kecantikan. 

Setelah pulang ke Indonesia, bagaimana Ibu mulai merintisnya?

Waktu saya bilang saya punya mimpi besar mempercantik perempuan Indonesia, bapak saya mengumpulkan saudara-saudara saya untuk meminjamkan uang. Dari situ jadilah salon berukuran 4×6 meter di garasi rumah. Sekitar tahun 1970-an.

Apa tantangan yang Ibu hadapi saat merintis salon itu?

Terus terang, karena saya ke dukun, banyak yang tidak mau datang. Orang-orang kita kan kayak gitu. Jealous, gosip, selalu gosip. Saya sedih sekali. Tapi, saya lihat kiri kanan. Saya berinovasi. Harus kreatif. Kebetulan rumah saya dekat dengan Kedutaan Besar Polandia, jadi saya punya ide. Saya tawarkan bisnis saya. Saya bilang, “I’m an American-licensed beautician, would like to serve you from top to toe, for hair, facial, manicure, pedicure, lotion, massage. So, please call me, Dra. Martha Tilaar.

Saya punya kesempatan karena yang bisa bahasa Inggris sedikit waktu itu. Saya tidak akan lupa customer pertama saya itu istri duta besar Amerika. Dia provokator, mempromosikan usaha saya ke mana-mana. Jadi, dari situ dalam sekejap ramai sekali.

Saya bilang ke bapak saya, bagaimana kalau selain di garasi, rumahnya juga dijadikan salon? (sambil tertawa). Bapak saya selalu bilang, kamu boleh dream big, tapi start small and act fast. Kalau hanya ngomong, enggak jadi-jadi kan percuma. Kamu harus mulai dari dirimu sendiri. Jangan menyalahkan orang lain.

“Waktu saya bicara di World Islamic Economic Forum, banyak orang bilang, “No! Istri harus turut suami!” Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder.” 

Agak ironis karena pelanggan pertamanya orang asing. Kapan pelanggan mulai switch jadi orang-orang Indonesia?

Iya. Dari situ mulai Ibu Moh. Hatta, Ibu Fatmawati Soekarno…

Palupi: Ibu Umar Wirahadikusumah juga.

Martha Tilaar: Iya. Kemudian Ibu Adam Malik. Nah, di situ problemnya. Kalau mereka janjinya jam delapan, datangnya jam sembilan. Saya kan sendiri. Akhirnya pembantu saya waktu itu saya sekolahkan (untuk membantu di salon).

Dengan menyekolahkan pembantu-pembantu Ibu, Ibu memang ingin memberdayakan perempuan?

Iya, betul. Harus educated biar dia enggak kesusahan. Harus punya keterampilan. 

Bagaimana dari salon itu kemudian jadi perusahaan sebesar sekarang?

Setelah salon, saya mendirikan sekolah (kecantikan) dulu.

Palupi: Namanya Puspita Martha.

Martha Tilaar: Karena it’s very important. Kalau kita mau mandiri, empower the women, is through education. Di situ pembantu-pembantu disekolahkan. Saya juga kumpulin waria-waria. Mereka itu talented. Diajarin, dia mau, ya udah.

Palupi: Jadi Ibu tuh inklusif sekali. Semua Ibu ajarin, waria, difabel. Itu tumbuh karena Ibu kan kuliahnya soal sejarah, bukan manajemen. Itu naluri seorang perempuan jadi entrepreneur. Dari mendirikan salon, sekolah, terus produk, salonnya terus bertambah. 

Ibu sudah membuat kosmetik untuk kulit sawo matang dari dulu. Padahal brand lain, termasuk di Amerika, baru melakukannya sekarang-sekarang ini. Apa yang membuat Ibu melakukan itu?

Konsisten, karena saya mau menciptakan the Asian color for Asian skin. Setiap tren warna Sariayu saya hubungkan dengan culture. Karena ini, pada tahun 2018, saya dipanggil ke New York (acara Intercolor, sebuah lembaga independen yang mewakili asosiasi nasional untuk pemain global dalam industri kosmetik, otomotif, tekstil, fashion, dan desain produk) sebagai pencipta Asian colors. Warna-warna yang belum ada di kosmetik lain, ada di sini.

Palupi: Ibu memulai tren warna pertama kali tahun 1987. Masih terbayang janjinya untuk beautifying Indonesia, makanya dia mau memberi identitas pada perempuan Timur. Makanya menciptakan warna yang berhubungan dengan budayanya.

Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi

Ibu pernah mengalami disebut sibuk ngurusin bisnis jadi enggak ngurusin keluarga?

Iya, mengalami. Tapi, saya mempunyai seorang suami yang luar biasa. Jadi, kalau saya lagi sibuk, “Pah, tolong ya ambil rapor anak-anak.” Dia mau. Terus nanti dia cerita, “Eh, kamu tahu enggak. Aku satu-satunya laki-taki loh, tadi. Semua perempuan cantik-cantik.” Tukang goda, dia tuh. Lucu orangnya. Terus saya bilang, “Ya udah, nikmatilah ciptaan Tuhan.”

Setelah pensiun, suami saya bilang dia mau melamar jadi karyawan di perusahaan saya. Saya tanya, sebagai apa? Katanya, sebagai turis. Turis itu “turut istri”.

Waktu saya di World Islamic Economic Forum di Kazakhstan, setelah saya bicara turis turut istri, ada orang Malaysia, Brunei, dan Singapura bilang, “No! Istri harus turut suami!” Bener loh, itu terjadi. Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder. 

Read More