5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema
Girlboss, gaslight, dan gatekeep. Bagi generasi milenial, kalimat itu kerap digunakan untuk perempuan di posisi strategis yang cara memimpinnya justru membawa kerugian untuk orang lain. Dari situasi itu, perkara menjadi pemimpin perempuan memang tidak ada habisnya. Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan diri sebagai tegas akan menerima cemoohan sebagai terlalu kolot. Karenanya, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah.
Meskipun begitu, perempuan pemimpin tidak seharusnya takut menunjukkan sifat yang dikategorikan sebagai feminin, lembut, dan berempati. Pasalnya, kepemimpinan dengan tipe feminin dinilai lebih efektif untuk mencapai kesuksesan. John Gerzema dan Michael D’Antonio dalam bukunya Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future menyampaikan hal yang senada.
Gerzema da D’Antonio menemukan fakta pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai ‘feminin’, seperti empati, kolaborasi, dan kesabaran dapat menangani krisis dengan lebih baik. Alih-alih menganggap karakteristik tersebut sebagai kelemahan karena segala hal yang berkaitan dengan perempuan, sebaiknya dirayakan sebagai kelebihan.
Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis
Efektivitas gaya kepemimpinan tersebut dapat dilihat dari cara menangani kasus pandemi COVID-19 di negara yang dipimpin perempuan. Misalnya, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern. Dia disorot media dunia karena menangani situasi pandemi dengan cepat dan melakukan pendekatan penuh empati. Singkatnya, ia menjadi pemimpin yang diidolakan. Gaya kepemimpinan seperti itu tentunya ikut diadopsi dalam karya budaya populer. Jacqueline Carlyle dari serial The Bold Type, misalnya, seorang pemimpin redaksi majalah yang perhatian, empatik, dan siap membantu karyawan dan penulis yang dibimbingnya.
Meskipun tipe kepemimpinan seperti itu memang sudah sangat sering diidamkan sampai diadopsi ke layar kaca, gaya kepemimpinan yang maskulin menjadi tipe yang lebih sering ‘populer’. Dalam podcast Bye Kepemimpinan Macho! Saras Dewi, dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, minat pada gaya kepemimpinan maskulin menjadi kontras karena sudah terbukti gagal.
“Kepemimpinan maskulin masih dianut karena masyarakat dalam memahami ekonomi, politik, dan budaya berlomba-lomba untuk berkompetisi dan menguasai yang satu di atas lainnya. Berlomba-lomba untuk mendominasi,” ujarnya.
Psikolog Alice H. Eagly dan Blair T. Johnson dalam beberapa penelitian mereka juga menyebutkan gaya kepemimpinan maskulin menunjukkan sikap transaksional yang autokrat atau setiap keputusan menjadi mutlak. Gaya kepemimpinan yang berbanding terbalik dengan kepemimpinan feminin yang pendekatannya lebih demokratis dan mendorong perubahan.
Kegagalan efektivitas tipe kepemimpinan maskulin pun juga dilihat dari cara menangani situasi pandemi dengan penuh hambatan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, misalnya, media menyebutnya menggunakan gaya kepemimpinan hyper-masculine dalam menangani situasi pandemi. Karenanya, upaya mitigasi penting dalam mencegah penyebaran virus mengalami keterlambatan, seperti lockdown dan penyuluhan mengenakan masker yang tertunda. Tipe maskulin itu juga ada dalam masa kepresidenan Donald Trump yang penuh kontroversi.
Tipe tersebut tentunya tidak melulu pada laki-laki di posisi strategis.Contoh yang paling dekat dengan tipe kepemimpinan tersebut ialah Sophia Amoruso, pionir dari istilah Girlboss itu sendiri. Walaupun digadang-gadang sebagai inovasi dari dan untuk perempuan, tetap saja pendekatannya tidak inklusif dan cenderung membawa kerugian. Pasalnya, Amoruso juga tersandung skandal karena karyawannya menuduh tidak memiliki rasa empati dan eksploitatif.
Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional
Di era yang sangat menjunjung tinggi political correctness dan tidak ragu menyudutkan hal-hal dinilai ‘menyimpang’, penggambaran tokoh publik atau perempuan di posisi strategis yang ‘adil’ menjadi hal yang terus diidamkan. Harapan tersebut pun kemudian diadaptasi di karya-karya sinema. Namun, tidak semua perempuan pemimpin di budaya populer memiliki kualitas tersebut. Ada kalanya perempuan pemimpin di karya sinema mengadopsi gaya kepemimpinan maskulin yang tentunya membawa mereka ke arah kegagalan, seperti:
- Hope Haddon (‘Sex Education’)
Kepala sekolah baru untuk Moordale Secondary dalam serial Sex Education mulanya mengemban citra sebagai karakter pemimpin perempuan yang ingin mengubah cara pandang ‘buruk’ orang lain soal sekolahnya. Selain itu, dia berjanji akan bersifat inklusif bagi semua siswa yang memiliki ekspresi gender yang beragam. Namun, itu semua semacam kedok karena Hope sebenarnya ingin mengkotakkan semua orang dalam konsep rigid dan biner dengan gaya kepemimpinannya yang kolot. Bisa dibilang dia cukup fasis.
Hope memang ‘berjanji’ akan mendengarkan apa usulan dan saran dari siswa agar peraturan sekolah tidak timpang. Namun, itu hanya bualan semata karena ujung-ujungnya hanya pendapat darinya yang harus diaminkan. Semua hal yang diusung Hope sifatnya mutlak, tidak heran jika semua siswa jadi pemberontak. Gaya kepemimpinan Hope memang sangat maskulin, otoriter, tidak berempati, dan cenderung merugikan sesama perempuan. Hal ini pun yang membuat dia gagal menjadi kepala sekolah.
- Dolores Umbridge (‘Harry Potter’)
Guru praktik ilmu hitam di sekolah sihir Hogwarts ini memang karakter fiksi yang dibenci sepanjang sejarah. Pasalnya, dia selalu menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak berbahaya, terlebih lagi dengan pakaiannya yang konstan warna merah jambu. Namun, diam-diam dia rela melakukan apa saja, termasuk menyakiti siswanya secara fisik, hanya untuk mendapatkan informasi yang diinginkannya. Situasi pun semakin parah ketika Umbridge menduduki posisi kepala sekolah dan menyingkirkan Dumbledore. Dia semakin otoriter bahkan melakukan ‘penyisiran’ untuk mencari siswa yang melawan.
Umbridge sebenarnya tidak sekadar ‘jahat’ dan licik saja, tapi juga menginternalisasi karakteristik buruk kepemimpinan maskulin, menutup telinga atas pendapat orang lain. Dia bahkan lebih buruk dari Voldemort karena keinginannya untuk kekuasan bukan yang utama, tapi membawa kekerasan untuk mereka yang ingin perubahan inklusif di dunia sihir.
Baca juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia
- Choi Myung-hee (‘Vincenzo’)
Karakter pemimpin perempuan yang diperankan Kim Yeo-jin ini seorang mantan jaksa yang memang problematik karena sangat korup. Dia kemudian pindah ke firma hukum Wusang sebagai senior partner dan semakin berbahaya. Dia tampak tidak memiliki hati karena tega membunuh orang tanpa ada rasa bersalah. Semua demi mencapai hal yang dia inginkan. Singkatnya Choi Myung-hee adalah orang yang ambisius tapi sangat toksik. Dalam drama Vincenzo, dia tampak sengaja dibuat maskulin dengan penampilan yang ‘jauh’ dari perempuan. Hal itu pun menambah kesan dia memang sosok yang tamak, kolot, dan fasis ketika berinteraksi dengan orang lain bahkan untuk mencapai satu tujuan.
- Cersei Lannister (‘Game of Thrones’)
Layaknya semua orang yang terlahir di klan Lannister, Cersei tentu saja memiliki sifat arogan. Sebagai pemimpin, terlebih lagi perempuan, arogansi itu tampaknya bekerja karena dia menjadi tidak tersentuh. Bahkan dengan mudahnya ia merencanakan kematian suaminya si raja Westeros , Robert Baratheon secara diam-diam.
Dia bisa disebut sebagai karakter perempuan pemimpin yang kuat dalam serial Game of Thrones karena membuktikan dia adalah pemain gim politik kerajaan yang tidak bisa dipandang enteng. Orang-orang pun menakutinya karena itu. Namun, karena arogansi, sikapnya yang keras kepala, anti kritik, menolak nasihat orang lain, dan sangat otoriter Cersei secara tidak langsung membunuh kariernya sebagai ratu yang menguasai Kings Landing. Sifat-sifat kepemimpinan maskulin itu yang menamatkannya.
- Baroness Von Hellman (‘Cruella’)
Dalam film Cruella, kita tentu berpikir karakter pemimpin perempuan, Cruella De Vil adalah karakternya yang antagonis. Apalagi kita sudah mengenal Cruella yang keji karena tega membuat anjing dalmatian sebagai mantel. Namun, sekejinya Cruella, Baroness Von Hellman jauh lebih jahat. Selain sosialita dengan status bangsawan, Baroness memiliki bisnis fesyen. Selain itu, juga terkenal sebagai desainer ternama. Namun dia sangat arogan, tidak memiliki empati pada karyawannya, dan sangat anti kritik. Dia adalah mimpi buruk untuk semua orang. Sifatnya itu juga memenuhi semua kriteria gaya kepemimpinan maskulin yang membawanya pada kegagalan.
Read More