Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik
Suatu pagi sekitar sembilan tahun silam, ketika baru pertama kali bekerja, saya pernah merasakan nyeri hebat di bagian perut dan paha hingga membuat saya lemas. Seraya melihat jam dinding, saya menimbang-nimbang apakah saya harus meminta izin tidak masuk kantor hari itu atau tidak. Pasalnya, ada satu rapat penting yang mesti saya hadiri pada siang harinya.
Saya memutuskan tetap masuk seraya menahan nyeri yang pasang-surut. Saat seorang kolega laki-laki bertanya kenapa saya terlihat pucat pagi itu, saya cuma bilang sedang tidak enak badan. Saya tidak berani mengaku bahwa hari itu adalah hari pertama siklus haid saya.
Sampai kemudian saya mulai limbung dan nyaris jatuh dalam perjalanan menuju ruang rapat. Bos perempuan saya bertanya apa yang terjadi, dan baru saat itu saya mengaku sedang nyeri hebat karena haid. Ia mengizinkan saya pulang dan sebelumnya berkata, “Kan bisa izin kalau sakit pas haid. Kenapa enggak bilang dari tadi pagi aja?”
Saya tidak pernah ngeh bahwa izin dengan alasan haid diperbolehkan di kantor. Saya mengingat-ingat apakah ada pasal yang jelas menyebutkan soal itu di kontrak kerja. Tapi terlepas dari ada atau tidak aturan tertulis di kontrak soal itu, tetap saja saya malu bila harus meminta izin tidak kerja karena alasan haid “saja”.
Barangkali pengalaman seperti saya banyak dirasakan oleh perempuan-perempuan lain di luar sana. Kendati harus menahan sakit luar biasa saat haid, mereka tetap harus kerja seperti hari-hari biasa. Saya beruntung berkantor di tempat yang memberikan karyawati izin tidak masuk kerja saat haid, tetapi banyak perempuan lainnya yang tidak punya privilese ini karena kantornya tidak memberlakukan kebijakan serupa.
Padahal, aturan mengenai pemberian cuti haid bagi pekerja seyogianya sudah diterapkan di semua kantor di Indonesia. Lebih dari satu setengah dasawarsa lalu, melalui Pasal 81 dalam Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah sudah menerapkan regulasi tentang ini bagi perusahaan.
“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid,” demikian bunyi ayat 1 Pasal 81 tersebut. Namun perlu dicatat, pelaksanaan ayat 1 ini tetap bergantung pada kebijakan kantor melalui perjanjian kerja atau peraturan perusahaan (Pasal 81 ayat 2).
Sempat ada kekhawatiran dari pekerja perempuan karena menyebarnya rumor hak cuti haid akan dihapus seiring berlakunya UU Cipta Kerja. Namun, pihak pemerintah menepis rumor tersebut dan mengatakan hak cuti haid tetap bisa diakses pekerja perempuan.
Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya
Alasan Banyak Perempuan Tidak Ambil Cuti Haid
Karena pelaksanaan pemberian cuti haid dikembalikan lagi ke pihak kantor, dan tidak ada pernyataan gamblang dalam UU Ketenagakerjaan bahwa hal tersebut adalah keharusan bagi perusahaan, sebagian pekerja perempuan tidak bisa menikmati hak cuti haid ini. Jikapun cuti haid tetap diberikan, masing-masing perusahaan menerapkan mekanisme tersendiri: Harus menyertakan surat keterangan dokter, diberikan tapi tidak mendapat upah, atau bisa dengan mudah memberikannya dan tetap menjadi cuti berbayar selama pekerja mengabarkan ke perusahaan.
Sebagai contoh, “Er” yang bekerja di PT Alpen Food Industry, produsen es krim AICE, sempat mengalami nyeri dan pendarahan berlebihan pada hari pertama haidnya tahun 2020 lalu. Namun, ia mesti tetap bekerja di pabrik es krim tersebut karena alasan sakit saat haid susah sekali diterima untuk meminta izin cuti di perusahaannya. Fasilitas kesehatan dari kantor juga mempersulit karyawan yang mengeluhkan sakit haid untuk mendapat surat keterangan dokter sehingga Er hanya bisa meminum obat pereda nyeri haid saat itu.
Selain sikap perusahaan yang tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan ini, seperti halnya saya dulu, sebagian pekerja perempuan juga tidak tahu bahwa ada aturan soal cuti haid dalam UU yang perlu diimplementasikan perusahaan. Ini terlihat dari komentar beberapa pekerja perempuan di Padang, Sumatra Barat yang terlihat bingung mendengar ada pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal hak cuti haid.
Dalam artikel Magdalene yang dimuat 2019 lalu, Wisfirdana Dewi (22), seorang pekerja di salah satu swalayan dan Afri Serli Salmita (20), pekerja di Gramedia Kota Padang, mengaku asing dengan pasal tersebut mengingat perusahaan mereka tidak pernah menyebut soal pasal tersebut saat mereka bekerja. Akibatnya, mereka dan banyak pekerja perempuan lainnya tetap bekerja seperti biasa kendati sedang nyeri haid.
“Lagi enggak ada bos, bisalah kita istirahat sebentar di gudang. Kalau ada bos jadi segan kita, takut diomelin,” ujar Wisfirdana.
Kekhawatirannya beralasan karena sebagian dari pihak perusahaan masih menganggap pekerja perempuan yang mengaku sakit saat haid hanya berbohong untuk tidak masuk kerja.
Alih-alih mengakui kondisi biologis dan kebutuhan perempuan saat haid, sebagian perusahaan malah mengaitkan persoalan haid dengan produktivitas kerja yang menurun sehingga muncul stereotip negatif terhadap perempuan pekerja.
Tidak hanya di Indonesia, stereotip negatif terhadap pekerja perempuan yang menstruasi juga terdapat di berbagai negara lain. Dalam tulisan mereka yang dimuat di buku The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies (2020), Rachel Levitt dan Jessica Barnack-Tavlaris menyatakan bahwa di Cina, sebagian perempuan enggan memakai hak cuti haidnya karena dengan begitu, mereka menguatkan stereotip bahwa perempuan lemah dan tidak produktif. Levitt dan Barnack-Tavlaris juga menulis, pekerja perempuan yang sedang haid juga dinilai koleganya lebih neurotik dibanding yang sedang tidak haid.
Sementara studi di Jepang menemukan, pekerja perempuan yang hendak mengambil cuti haid masih mengalami diskriminasi dan pelecehan oleh karyawan lainnya.
Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan
Read More