Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan

Penulis: Adinda Nurrizki

Drama Korea (drakor) Start-Up sungguh terbaik karena dibintangi aktor terkenal dengan akting yang mumpuni, juga jalan cerita menarik, terutama soal pemimpin perempuan.

Mengambil pengembangan bisnis rintisan sebagai inti dari jalan cerita, dengan bumbu cinta segitiga, serial Netflix ini dengan baik menggambarkan dinamika dan tantangan yang dihadapi pemimpin perempuan. Mulai dari tokoh utamanya, Seo Dal-mi (Suzy Bae), sang kakak Won In-jae (Kang Han-na), dan CEO Sand Box Yoon Sun-hak (Seo Yi-sook), mereka digambarkan secara multidimensi sebagai pemimpin karismatik dan andal.

Model kepemimpinan perempuan yang baik itu bisa kita lihat, misalnya, ketika Dal-mi memecahkan persoalan pembagian saham. Walaupun timnya saat itu nyaris terpecah, Dal-mi berhasil meyakinkan mereka bahwa sebagai pemimpin, ia mampu mengedepankan kepentingan bersama daripada sekadar punya saham terbanyak seperti yang dianjurkan mentor mereka. Dal-mi juga memperlihatkan bahwa dengan empati yang tinggi, ia berhasil mengembangkan sebuah aplikasi khusus tunanetra.

Di sisi lain, In-jae digambarkan sebagai pemimpin tegas dan berwibawa, meski dia juga sangat ambisius dan kompetitif. Sementara Yoon Sun-hak dikisahkan berhasil membangun wadah start up terkenal di Korea Selatan, berangkat dari kepekaannya terhadap para pengembang baru dan kisah personal mereka, termasuk ayah Dal-mi.

Drakor ‘Start-Up’ dan Stereotip Pemimpin Perempuan

Dalam drakor Start-Up ada gambaran pemimpin perempuan yang intimidatif dalam diri Seo In Jae. Apakah kamu suka deg-degan saat bertemu bos perempuan? Atau ketika kamu baru masuk kerja, apakah kamu jadi ngeri saat menemukan bahwa pemimpin kamu adalah perempuan?

Perasaan semacam itu  bisa saja timbul karena maraknya stereotip bahwa bos perempuan itu galak dan cerewet. Mereka juga kerap dianggap perfeksionis dan terburu-buru. Bos perempuan juga sering dihindari karena perkataannya dinilai lebih menyakitkan hati bawahannya.

Sementara stigma bos perempuan masih marak dalam realitas, kesempatan bagi pekerja perempuan untuk menaiki tangga karier sampai posisi pemimpin juga masih lebih terbatas. Pasalnya, mereka dinilai lebih emosional dibanding kolega laki-lakinya. Keputusan yang mereka buat dianggap bukan hasil dari kejernihan pikiran. Akibatnya, kredibilitas pemimpin perempuan sering kali tak diakui.

Baca juga: Pelajaran Penting tentang Jadi Perempuan Berdaya dari Martha Tilaar

Saya sendiri adalah perempuan pekerja kantoran dan juga ibu dari seorang anak. Kebetulan, banyak pemimpin perempuan di kantor saya. Namun keberadaan mereka tidak dihargai apalagi dirayakan, dan malah dijadikan candaan seksis oleh para karyawan, bahkan beberapa di antaranya perempuan. Seorang rekan saya pernah bilang, “Duh, kelar deh kalo bos lo cewek!” sesaat setelah dia rapat dengan timnya.

Pada kesempatan lain, saya kerap mendengar banyak cerita bahwa bos perempuan yang marah saat bawahannya melakukan kesalahan dinilai galak dan terlalu menuntut. Mereka yang ambisius dan agresif dalam mewujudkan mimpinya dinilai bitchy.

Suara pekerja atau pemimpin perempuan masih kerap disela, dikerdilkan dan dianggap tidak penting. Seorang ibu yang bekerja dinilai tak memiliki kapasitas besar untuk memimpin atau bahkan untuk bekerja sekalipun. Situasi kian menyudutkan pekerja perempuan di kantor saat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja sering terjadi sehingga mengusik keamanan mereka sampai bisa berpengaruh ke performa kerja. Selain itu, masih ada persoalan gaji pekerja perempuan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki di banyak perusahaan untuk posisi dan kapasitas yang sama.

Pemimpin Perempuan Melawan Stigma

Kamu sudah mendengar bahwa selama pandemi, ada beberapa negara yang dinilai proaktif melindungi warganya dan menangani kenaikan kasus COVID-19? Ya, dan kebanyakan dari pemimpin negara-negara tersebut adalah perempuan.

Ada Perdana Menteri Jacinda Ardern di Selandia Baru yang berhasil mengajak warganya untuk mengantisipasi pandemi dengan berkomunikasi secara tenang dan sederhana. Ardern dinilai punya empati yang begitu tinggi. Ia juga menjadi perdana menteri pertama di Selandia Baru yang mengangkat seorang perempuan dari suku asli dengan wajah bertato sebagai menteri luar negeri. Tentu saja ini adalah bentuk pengakuannya terhadap keberagaman dalam kepemimpinan.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Kemudian, ada Islandia dengan Perdana Menteri Katrín Jakobsdóttir. Negara ini dianggap sebagai negara feminis karena mengangkat perempuan untuk memimpin negaranya dalam waktu cukup lama. Warga Islandia bahkan sudah cenderung tak percaya dengan gaya kepemimpinan laki-laki yang dinilai tamak dan sembrono. Saat dipimpin perempuan, Islandia berhasil memulihkan ekonomi dan baru-baru ini berhasil menekan penyebaran COVID-19 dengan hebat.

Beralih ke Jerman, ada Kanselir Angela Merkel yang dengan sigap menutup wilayahnya ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan di negara tersebut. Tak hanya itu, pemerintahan yang dijalankannya selalu proaktif dan transparan dalam penanganan pandemi.

Empati adalah salah satu nilai yang kerap dikonstruksikan masyarakat melekat pada perempuan. Ternyata, nilai ini menjadi kekuatan penting dalam sebuah kepemimpinan. Di Islandia misalnya, para perempuan pemegang jabatan selalu mengedepankan kesejahteraan sosial sebagai wujud empati mereka ketimbang mengangkat keuntungan semata.

Beberapa negara yang berhasil menangani kasus COVID-19 juga ternyata punya pemimpin perempuan yang dinilai kolaboratif dan transparan. Mereka mengandalkan para ilmuwan untuk menangani pandemi tanpa berpikir apakah pandemi ini hasil konspirasi dan sebagainya.

Masih banyak nilai dalam kepemimpinan perempuan yang luar biasa. Sayangnya, perempuan masih belum diberi kesempatan untuk menunjukkan kompetensinya dalam memimpin akibat dominasi maskulinitas dan budaya patriarkal.

Hal ini menjadi ironis mengingat pernyataan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens, bahwa jika memang perempuan mendapat stigma sebagai manusia dengan sifat empati dan sensitivitas yang begitu tinggi, serta kemampuan negosiasi yang hebat, kenapa mereka tidak dipercaya sebagai pemimpin yang memang membutuhkan sifat demikian?

Adinda Nurrizki adalah ibu dengan anak satu yang bekerja sebagai copywriter dan volunteer di @jendelapuan.

Read More