kehilangan motivasi kerja

Mungkinkah Pisahkan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan?

Tahun lalu, Apple TV meluncurkan serial Severance, yang langsung disambut dengan pujian kritikus dan penonton. Serial itu menceritakan tentang sekelompok karyawan di Lumon Industries yang benar-benar bisa memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Ketika berada di kantor, karyawan tidak mengingat apa pun tentang dunia luar. Sebaliknya, ketika di rumah, mereka tidak mengingat apa pun tentang pekerjaan.

Ini adalah versi ekstrem dalam mengelola batas antara kehidupan pribadi dan profesional – konsep yang berlaku bagi sebagian besar dari kita – dan merupakan fokus bagi para akademisi yang bekerja di bidang penelitian hubungan pekerjaan-keluarga.

Dalam serial ini, para karyawan menjalani prosedur medis yang disebut sebagai severance (pemutusan) untuk “membersihkan” pikiran mereka. Dalam literatur pekerjaan-keluarga, walau tidak terlalu harafiah, istilah ini dikenal sebagai “severation” (pemisahan).

Pemisahan adalah teknik manajemen batasan yang membuat kita memisahkan peran pekerjaan dan keluarga tanpa adanya tumpang tindih.

Kebalikan dari hal ini adalah “integrasi”, yang melihat individu mencari sinergi dan tumpang tindih antara berbagai peran dalam hidup mereka demi mendapatkan kinerja yang lebih baik di semua aspek.

Contoh yang baik dari hal ini adalah Indra Nooyi, mantan CEO Pepsi-Co selama 12 tahun yang, mengambil peran sebagai “konsumen” dan mencicipi beberapa produk sebagai pelanggan saat ini sedang cuti. Ia kemudian menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk mengusulkan beberapa inovasi pada produk bisnis inti.

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Tak mungkin melakukan pemisahan total antara pekerjaan dan keluarga. Kita akan selalu tergoda untuk memikirkan keluarga kita bekerja, dan jarang sekali orang bisa lepas dari komunikasi terkait kerjaan saat berada di rumah. Batas antara kedua kehidupan kita ini mudah ditembus.

Tak diragukan lagi, praktik severance yang dialami oleh karyawan dalam acara TV tersebut merupakan prospek yang menarik bagi beberapa perusahaan. Memutuskan semua pemikiran tentang dunia luar tentu akan mengurangi gangguan di luar pekerjaan dan seharusnya secara teori meningkatkan produktivitas. Ini juga bisa menjadi kondisi yang diinginkan oleh beberapa karyawan yang akhirnya bisa berhenti memikirkan pekerjaan saat berada di rumah.

Lima karyawan bekerja di bilik mereka dan saling berbincang-bincang.
Rekan-rekan kerja di kantor dalam serial TV Severance. Apple TV

Polinasi Silang

Bahkan dalam dunia fiksi Severance, kita melihat pemisahan total bukanlah pilihan jangka panjang yang berkelanjutan.

Berharap agar hidup kita tersegmentasi secara sempurna dapat menumbuhkan keyakinan yang salah tentang bagaimana area-area kehidupan berdampak terhadap satu sama lain. Hal ini terutama terjadi ketika pemisahan tersebut didorong oleh gagasan, peran pekerjaan dan keluarga kita selalu bertentangan. Kita menjadi percaya bahwa perlu untuk memisahkan keduanya demi menghindari limpahan negatif dari satu aspek ke aspek lainnya.

Literatur-literatur yang ada telah secara luas menunjukkan bahwa kehidupan profesional dan pribadi dapat menjadi sekutu. Ketika kita mengalami emosi positif di salah satu peran kita, hal itu dapat mempengaruhi peran lainnya. Konsep work-family enrichment (pengayaan hubungan kerja dan kelurga) ini mendorong kita untuk mengintegrasikan sebanyak mungkin peran-peran kita yang berbeda, berdasarkan premis bahwa mereka dapat saling menguntungkan satu sama lain.

Baca juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Realitas Pascapandemi

Pandemi COVID-19 membuat segmentasi menjadi semakin sulit dilakukan. Selama periode ini, banyak dari kita yang mengalami pengaburan batas-batas antara pekerjaan dan rumah. Hal ini mendorong beberapa pakar hubungan pekerjaan-keluarga untuk menciptakan istilah baru: Kerja zigzag.

Menghadiri rapat kerja dengan anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka di meja yang sama atau duduk di pangkuan, atau menyiapkan makan malam sambil melakukan FaceTime dengan rekan kerja, sudah menjadi hal yang biasa. Beberapa orang bahkan cukup enggan untuk meninggalkan hal ini. Sebab, praktik ini tidak hanya membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih mudah diatur – beberapa orang merasa hal ini membawa perubahan radikal dan sifat manusiawi ke dunia kerja.

Meskipun masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan, ada kemungkinan integrasi yang berkepanjangan dan dipaksakan antara peran kerja dan keluarga dapat mendorong perlunya ideologi alternatif yang lebih berkelanjutan untuk bekerja di rumah.

Kita perlu beralih dari pemikiran bahwa pekerja harus mengabdi pada pekerjaannya atau pekerja ideal adalah mereka yang siap sedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Selama pandemi, banyak eksekutif senior melihat hal-hal yang belum pernah mereka alami sebelumnya, realitas kehidupan sehari-hari mereka sendiri saat mereka mencoba membantu anggota keluarga dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Keterpaparan yang dipaksakan dan berkepanjangan terhadap peran keluarga dan pekerjaan ini dapat mendorong pemikiran bahwa, selain bermanfaat dan produktif, berpartisipasi secara aktif dalam dinamika keluarga dan kegiatan operasional sehari-hari dapat memberikan manfaat emosional.

Hal ini juga dapat mendorong para manajer untuk lebih menghargai kehidupan pribadi rekan-rekan kerja mereka karena mereka telah mengalami secara langsung betapa sulitnya untuk mencoba mendapatkan semuanya sekaligus.

Mendapatkan semuanya – kemungkinan untuk mengalami kehidupan yang kaya di semua bidang – adalah tujuan yang sulit dicapai.

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Pertimbangan ini membuat beberapa ahli menambahkan sebuah kata sifat pada gagasan ini: “tidak sempurna”. Ini berarti kita harus menerima gagasan bahwa hidup kita bisa jadi tidak sempurna – terutama ketika kita tidak rela melepaskan apa pun.

Kuncinya adalah menerima gagasan ini dan mencari solusi dengan hanya berfokus pada kegiatan yang kita lakukan dengan sebaik-baiknya. Misalnya, jika kita bukan koki yang hebat, seharusnya tidak masalah untuk membeli makanan di luar rumah pada saat dibutuhkan.

Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, melakukan pekerjaan sembari menjalani kehidupan pribadi kita dengan cara yang sehat dapat membantu kita menyalurkan emosi positif yang muncul dari pekerjaan yang terselesaikan dengan baik ke dalam kehidupan keluarga kita, dan sebaliknya. Namun, kita juga tidak dapat melihat adanya manfaat dalam menerima email pekerjaan yang menuntut perhatian kita saat sedang di rumah bersama keluarga.

Artinya, tumpang tindihnya satu peran dengan peran lainnya dapat bermanfaat jika dilakukan dengan cara yang sehat dan benar dan bukan dengan cara yang intrusif.

Dan di sinilah kesalahan serial TV tersebut (dan juga banyak perusahaan): Sistem manajemen batasan hanya efektif jika sesuai dengan preferensi individu seorang karyawan terhadap keseimbangan pekerjaan/keluarganya. Sebelum mengusulkan sebuah sistem manajemen, perusahaan harus memastikan bahwa sistem tersebut sesuai dengan preferensi para pekerjanya.

Kita tentu saja sudah tahu prosedur penghapusan pikiran dalam Severance tidak mungkin dilakukan dalam dunia nyata. Namun, mungkin kita juga menemukan, praktik severance nyatanya juga tak diinginkan.

Kita tidak akan kembali ke dunia yang memungkinkan adanya pemisahan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan – lebih baik kita bergerak menuju kenyataan yang menguntungkan kita daripada mempersulit kedua sisi kehidupan kita.

Marcello Russo, Full Professor of Organizational Behavior and Director of the Global MBA, Università di Bologna. Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Read More
kehilangan motivasi kerja

Quiet Quitting: Kenapa Sedikit Kerja itu Bagus untukmu dan Bos

Belakangan di banyak perusahaan (termasuk melalui platform Zoom, Teams, dan Slack), karyawan dan manajer diam-diam membahas tentang tren “great resignation”. Istilah tersebut merujuk pada fenomena meroketnya jumlah pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi COVID-19 pecah.

Di Inggris, misalnya, jumlah pekerja yang mengundurkan diri melonjak tajam selama 2021. Seperlima pekerja berencana keluar dari pekerjaannya untuk mencari kondisi kerja yang lebih memuaskan dan upah yang lebih baik.

Jika kamu tidak puas dengan pekerjaanmu, tapi tidak punya pilihan untuk keluar atau mencari alternatif pekerjaan yang menarik, kamu mungkin bisa mencoba melakukan “quiet quitting”. Tren untuk sekadar bekerja sesuai ekspektasi minimum ini viral di TikTok dan menggaung di kalangan pekerja muda.

Hal ini juga membuat frustrasi para manajer. Beberapa menyampaikan kekhawatiran bahwa karyawannya akan malas-malasan.

Akan tetapi, quiet quitting bukanlah untuk menghindari pekerjaan, namun agar kita tidak lupa bahwa ada kehidupan yang bermakna di luar kantor.

Dalam dua dekade terakhir, banyak orang di seluruh dunia terjerumus dalam kultur overwork (bekerja terlalu banyak), bahkan terkadang sampai mewajarkan bekerja tanpa dibayar (unpaid labour). Setelah melewati berbagai resesi hingga pandemi, Milenial dan Generasi Z sering kali tidak mendapatkan peluang kerja dan keamanan finansial yang sama dengan orang tua mereka.

Banyak profesional muda – bahkan mereka yang sekadar ingin berkarir secara pelan tapi pasti – kini harus berkutat dengan kontrak kerja yang tak pasti, ketidakpastian kerja, dan membanting tulang untuk bisa membeli rumah yang layak. Di antara mereka, ada yang terus lembur dan bekerja habis-habisan demi mengamankan promosi dan bonus – dan itu pun tetap belum cukup.

Penelitian yang dilakukan Deloitte menunjukkan, anak muda semakin mencari fleksibilitas dan makna dari pekerjaan yang mereka jalani, serta keseimbangan dan kepuasan dalam hidup mereka – mungkin sebagai respons atas kekecewaan mereka terhadap iklim kerja saat ini. Banyak profesional muda kini menolak “hidup untuk kerja”. Mereka tetap bekerja, tapi menjaga agar pekerjaan tidak mengontrol mereka.

Bekerja dengan kapasitas minimal mungkin terkesan asing. Namun, kamu (dan bosmu) tidak perlu takut untuk melakukan quiet quitting. Bisa jadi hal ini bagus untukmu.

Baca juga: Kerja Berlebihan, Diglorifikasi Padahal Bikin Perempuan Merugi

Bekerja Lebih Sedikit Baik untuk Kesehatan Mental

Sejumlah studi menemukan, work-life balance (keseimbangan kerja dan hidup) berkaitan dengan kesehatan mental di berbagai jenis pekerjaan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh situs reviu pekerjaan Glassdoor terhadap 2.017 pekerja di Inggris pada 2021, menemukan lebih dari separuh respondennya merasa mereka memiliki work-life balance yang buruk.

Quiet quitting bisa menjadi upaya untuk mengembalikan keseimbangan ketika pekerjaan mulai merayap masuk ke waktu personalmu.

Ini juga bisa jadi cara untuk membantu kamu agar tidak lagi beranggapan, nilai dirimu sepenuhnya ditentukan oleh karier dan pekerjaan. Ketika yang kamu miliki hanya pekerjaanmu, kemungkinan kamu akan menilai dirimu hanya dari pekerjaan tersebut.

Jika kamu merasa mengalami kegagalan dalam pekerjaan, seperti tidak mendapatkan promosi atau penghargaan atas pencapaianmu, bisa jadi kamu kemudian menginternalisasi hal ini menjadi kegagalan personal. Ini dapat meningkatkan kecemasan, membuatmu terus-terusan khawatir tentang bagaimana caranya meningkatkan kinerjamu.

Seringkali, orang-orang merespons ini justru dengan melakukan lebih banyak pekerjaan. Ini semakin memperparah perilaku kerja berlebihan dan rasa rendah diri, layaknya lingkaran setan.

Baca juga:WFA dan Work-life Balance Bagi Pekerja Perempuan: Mungkinkah Terjadi?

Bahaya Burnout

Kondisi kerja yang semakin buruk bisa menyebabkan burnout.

Pada 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena pekerjaan. Gejalanya berupa perasaan terkuras, kelelahan, bersikap sinis, secara mental absen dari kerjaan, dan kinerja yang memburuk.

Burnout merupakan risiko besar dari bekerja terlalu banyak. Hal ini juga memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan fisik, emosional, dan mental.

Burnout merupakan hal yang merugikan bagi individu maupun pemberi kerja. Orang-orang yang mengalami burnout berujung mengambil cuti dari kantor, atau bekerja lebih sedikit dari kapasitas maksimal mereka.

Di sini, quiet quitting dapat menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal, sehingga dapat mencegah terjadinya burnout.

Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan

Hubungan yang Lebih Baik di Tempat Kerja

Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bahagia cenderung lebih produktif dan aktif. Hal ini dapat membantu pekerja untuk fokus dan hadir sepenuhnya secara mental ketika bekerja.

Orang yang merasa bahagia cenderung lebih ramah dan terbuka. Ini dapat membangun pertemanan di tempat kerja – banyak orang beranggapan hal ini adalah faktor signifikan yang mempengaruhi apakah mereka senang bekerja di suatu tempat. Fokus quiet quitting untuk hanya melakukan pekerjaan yang menjadi tugasmu saja, juga dapat meredam perasaan untuk terus membanding-bandingkan dirimu dengan rekan kerja.

Terbangunnya pertemanan di tempat kerja menumbuhkan rasa memiliki yang bisa meningkatkan loyalitas dan kinerja. Hal ini bisa meningkatkan produktivitas, yang tentunya mendatangkan laba lebih tinggi.

Quiet quitting dapat menjadi layaknya “great liberation” (rasa merdeka yang sangat besar) untuk merespons “great resignation”.

Dengan cara ini, orang-orang menolak kerja berlebihan dan menghindarkan diri dari burnout, serta memilih keseimbangan dan kesenangan. Mereka membuat batas agar identitas dan nilai diri mereka tidak terikat pada produktivitas pekerjaan mereka.

Daripada cemas terhadap berkurangnya produktivitas, para bos harus bisa menggunakan gerakan “quiet quitting” untuk mendukung kesejahteraan karyawannya. Mendorong keseimbangan kerja dan hidup bisa menjadi cara untuk memberitahu pekerja bahwa mereka dihargai – sehingga menghasilkan keterlibatan, produktivitas, dan loyalitas.

Dengan “quiet quitting”, semua orang mendapat untung.

Nilufar Ahmed adalah Dosen Senior di Social Sciences, CPsychol, FHEA, University of Bristol.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Read More