Saya punya kesamaan dengan Jenna Rink versi 13 tahun dalam film Hollywood 13 Going 30, yakni memiliki impian menjadi perempuan sukses di usia 30-an. Bedanya, saya tidak bisa ‘mengintip’ masa depan untuk melihat apakah saya sudah sukses di umur itu seperti Jenna. Dalam film, dirinya versi 30 tahun adalah perempuan pemimpin sukses dan berdikari. Jika dilabelinya dengan istilah populer saat ini, dia adalah seorang girl boss.
Namun, kesuksesan Jenna juga memiliki sisi gelap karena nyatanya dia menggunakan cara manipulatif untuk mencapai posisinya. Situasinya itu selaras dengan istilah girl boss, yang dalam satu sisi meninggikan perempuan, tapi di saat bersamaan bukan pemberdayaan yang baik.
Perempuan yang bekerja keras, visioner, dan memiliki agensi memang sudah ada sejak dulu, tapi melabeli mereka dengan girlboss bisa dibilang baru. Istilah itu kali pertama muncul pada 2014 lewat memoir #Girlboss karya pebisnis perempuan Sophia Amoruso. Pemilik Nasty Gal, bisnis pakaian untuk perempuan muda itu mengatakan, kunci agar perempuan meraih kesuksesan ialah dengan hustle culture atau menjadi perempuan yang bekerja keras untuk berada di posisi atas. Pesan dari Amoruso tersebut awalnya disambut baik karena banyak perempuan yang merasa terinspirasi dan divalidasi kerja kerasnya. Selain itu, pesannya menunjukkan dukungan pada perempuan yang bekerja mencapai posisi strategis.
Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin
Namun istilah girl boss, buku dan gerakannya, juga dikritik karena memberikan kekuatan yang elitis dan tidak inklusif untuk semua perempuan. Alih-alih menjatuhkan sistem yang merugikan perempuan di tempat kerja bersama-sama, girl boss menyampaikan simbol sukses adalah mendaki sistem yang menyakiti perempuan di ranah kerja tanpa niat untuk menghancurkannya.
Mengutip sebuah artikel dari The Atlantic yang ditulis Amanda Mull, sistem yang mengeksploitasi perempuan tidak berubah. Perempuan yang memotori hal ini dengan membentuk kembali struktur berbahaya yang diwujudkan laki-laki.
Pendapat bahwa girl boss tidak sepenuhnya aksi yang mengangkat perempuan semakin diperkuat dengan mantan pekerja Nasty Gal yang menuntut dan melaporkan Amoruso sebagai pemimpin eksploitatif, menciptakan ruang kerja yang toksik, hingga memutus kontrak kerja secara sepihak karena alasan kehamilan.
Feminis Casira Copes untuk media The Pink menyatakan, girl boss bukan gerakan pemberdayaan perempuan karena bergerak di bawah struktur kapitalisme yang melabeli dirinya sebagai feminisme. Girl boss mendefinisikan dirinya sebagai aksi dari dan untuk perempuan tanpa menyadari dampak bahaya yang diberikannya.
“Feminisme girl boss tergolong dalam aksi neoliberalisme. Ia mengajak perempuan untuk mengambil alih kapitalisme dan mambuatnya bekerja untuk mereka,” tulis Copes.
Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional
Reputasi Jelek ‘Girlboss’
Kritik tentang budaya girl boss memang tidak ada hentinya. Media The Boar menyatakan girl boss mengomodifikasi feminisme seutuhnya untuk bisnis. Belum lagi media Refinery29 yang menuliskan girl boss mengecilkan perempuan dengan pilihan kata ‘girl’ karena laki-laki yang memimpin tidak mungkin disebut boy boss. Singkatnya, girl boss disebut sebagai kuda Troya seksis karena dari luar tampak mengangkat perempuan, tetapi menolak agensi mereka untuk menjadi perempuan pemimpin yang ‘dewasa’.
Senada dengan tanggapan itu, dikutip dari Vox, Alexandra Solomon, akademisi gender di Northwestern University mengatakan, label bos perempuan korporasi memberikan perempuan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan untuk orang-orang di sekitar mereka, tetapi kata ‘girl’ juga menunjukkan aspek dan sistem tradisional yang secara historis ‘mengerdilkan’ perempuan.
Redupnya minat terhadap girl boss juga berkaca pada naik-turunnya gerakan menguatkan perempuan di ranah kerja, Lean In. Gerakan itu dipelopori Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer dari Facebook lewat bukunya Lean In: Women, Work, and the Will To Lead.
Sama dengan #Girlboss, Lean in menyampaikan pesan bahwa perempuan bisa mendapatkan karier sukses dan hidup pribadi yang berimbang dengan menjadi perempuan yang bekerja keras. Pesan itu kemudian dinilai hidup dalam gelembung dan tidak melihat realitas atau mempertimbangkan upaya dan tantangan khusus yang dihadapi ibu bekerja. Michelle Obama pun mengatakan lean in bukan resep mujarab perempuan bisa mendapatkan semuanya karena kadang hal itu tidak bisa bekerja dalam situasi tertentu.
Copes berpendapat, tidak semua gebrakan dari perempuan paham seutuhnya tentang perjuangan atau tujuan keadilan untuk terbebas dari eksploitasi yang sarat nilai patriarki atau kapitalisme. Feminisme pun bukan gerakan individu, melainkan aksi bersama yang inklusif terhadap pengalaman perempuan dengan tujuan untuk menguatkan.
Baca juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim
‘Girl Boss‘di Media Sosial
Girl boss sudah mendapatkan reputasi buruk. Serial Girlboss yang diangkat dari buku Amoruso juga mendapat tanggapan yang beragam dan dibatalkan Netflix setelah musim pertama.
Di media sosial, perkara bos perempuan korporasi juga menjadi bahan bulan-bulanan atau meme dengan kata-kata gaslight, gatekeep, dan girl boss. Istilah perempuan sukses juga mengindikasikan seseorang dengan kuasa yang melakukan kebohongan, diskriminasi, dan mengeksploitasi. Candaan tersebut juga memiliki nilai sarkastik yang dimaksudkan untuk menghibur.
Tidak jarang juga tiga kata itu disebut sebagai versi baru dari Live, Love, Laugh yang menunjukkan semangat positif palsu, kemudian mendapatkan pasangannya manipulate, mansplain, dan malewife (laki-laki yang bertolak belakang dengan stereotip bos perempuan korporasi sebagai perempuan ambisius). Dalam budaya internet, media Vox menyatakan, jika girl boss direduksi sebagai bahan candaan dan mengejek pelaku korporat eksploitatif, maka bos perempuan korporasi kehilangan kekuatan untuk menyakiti orang lain.
Perubahan pemaknaan itu juga ada dalam tren media sosial yang menyebut perempuan fiktif, seperti Vanessa Doofenshmirtz dari kartun Phineas and Ferb, Santana Lopez dari Glee, dan Senju Kawaragi dari Tokyo Revengers sebagai girl boss karena kuat, berdaya, dan memiliki agensi.
Jika bos perempuan korporasi dilepaskan seutuhnya dari pemahaman Amoruso yang ingin merebut patriarki atau kapitalisme untuk dirinya tanpa mengubah sistem, kemudian mengarahkannya menjadi gerakan inklusif untuk perempuan di ranah kerja, Perempuan jadi pemimpin bisa dipandang dengan cara baru.
Diumpamakan dalam film The Devil Wears Prada, girl boss bisa menjadi Miranda Priestly, pemimpin perempuan yang melakukan gaslight dan gatekeep. Tetapi, jika dimaknai sebagai semangat pekerja perempuan, asistennya Andrea Sachs juga bisa menjadi girl boss karena memiliki ambisi untuk menjadi jurnalis yang baik, walaupun sempat terjebak di lingkar industri fashion toksik.
Read More