Keputusan aktris Angelina Jolie mengangkat rahimnya di umur 42 tahun yang membuatnya mengalami menopause dini, patut kita apresiasi. Jolie membuka ruang diskusi publik soal menopause sebagai bagian dari pengalaman “normal” perempuan.
Tidak hanya Angelina Jolie, Whoopi Goldberg aktris sekaligus komedian di AS pada 2006 berbicara secara terbuka tentang pengalaman menopause-nya. Buat Goldberg, momen menopause justru jadi tonggak baru hidupnya sebagai perempuan. “It’s wonderful and liberating. All of a sudden I don’t mind saying to people, ‘You know what? Get out of my life. You’re not right for me.”
Kehadiran figur publik macam Jolie dan Goldberg dalam hal ini pun menjadi sangat penting untuk mematahkan stigma perempuan menopause. Sebagai informasi, masyarakat kerap melabeli perempuan menopause sebagai pihak tak berdaya, tak sanggup bekerja secara produktif, orang tua.
Dalam penelitian Silence, Stigma, and Shame A Postmodern Analysis of Distress During Menopause Stigma (2010), Marcianna Nosek, Holly Powell Kennedy, Maria Gudmundsdottir memaparkan stigma seputar menopause yang lekat sekali dengan histeria, ketidakmampuan perempuan untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari, dan rasa malu karena penuaan.
Perempuan dan Gejala Perimenopause
Setiap perempuan yang mengalami menopause akan melewati sebuah periode transisi, disebut dengan perimenopause. Dilansir dari Hallo Sehat, sebagian perempuan yang berusia sekitar 40 tahun akan merasakan gejala dari masa transisi ini, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang mengalami hal tersebut bahkan di usia 30-an.
Gejala-gejala yang lumrah terjadi pada perempuan dalam masa transisi ini antara lain, hot flashes (rasa panas pada wajah dan tubuh), gangguan tidur, gangguan mood, menurunnya libido, hingga vagina menjadi lebih kering. Perlu diketahui, kemungkinan setiap perempuan akan mengalaminya pada usia yang berbeda, dengan periode dan gejala yang tentunya berbeda satu dengan lainnya.
Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja
Pengalaman unik perimenopause misalnya dapat dilihat dari tiga cerita perempuan bernama Joesy (53), Fitri (54), dan “Netty” (53). Dalam wawancara bersama Magdalene (2/11), Joesy misalnya mengungkapkan, selama perimenopause, ia mengalami gejala-gejala seperti hot flashes dan gangguan tidur. Rasa panas yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya ini membuatnya cukup risi sampai-sampai ia harus berkali-kali mengganti bajunya yang basah oleh keringat.
“Gerah, sih. Terasa aneh gitu ya, mungkin suhu tubuh kali ya. Rasanya gerah, ganti kaos itu satu malam bisa 5 sampai 6 kali saking gerahnya.”
Joesy menambahkan, selama mengalami perimenopause, ia juga sempat pergi ke dokter. Hal ini karena selama perimenopause, ia mengalami gangguan tidur hebat. Ia bahkan baru bisa tidur setelah Subuh. Segala macam cara ia lakukan agar ia bisa tidur lelap, namun usahanya kerap sia-sia. Gangguan tidurnya ini tentunya sangat memengaruhi aktivitasnya sehari-hari apalagi ia mengalaminya lumayan lama, sekitar 1 bulan.
Senada dengan Joesy, Fitri juga sempat mengalami hot flashes selama perimenopause. Namun, hot flashes yang dialaminya tidak separah Joesy yang sampai harus berganti pakaian berkali-kali. Ia pun tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Gejala yang paling Fitri rasakan selama perimenopause lebih mengarah kepada gangguan mood.
“Secara emosi jadi lebih sensitif, moody. Kok tiba-tiba sedih ya, tapi kadang-kadang pingin marah-marah. Cuma sebentar, nanti ilang lagi. Kadang tanpa sebab gitu. Kok sedih, ya? Kenapa ya? Terus jadi gampang banget tersinggung. Mungkin orang lain bisa sampai depresi tapi saya enggak, sih,” tuturnya kepada Magdalene (2/11).
Berbeda dengan Fitri maupun Joesy yang mengalami gejala fisik, Netty tidak mengalami gejala fisik apa-apa. Selama perimenopause, Netty lebih mengalami gangguan emosi sama seperti Fitri.
“Fisik aku enggak ngerasain sakit, lemes, enggak juga. Susah tidur juga enggak. Namun, aku ngalamin tiba-tiba sedih, pingin nangis, ngeliat apa pingin nangis. Di kereta liat hujan pingin nangis, kayanya sedih banget, aku ngalamin itu. Sampai mahasiswaku menyuruhku dengar lagu aja kalau sedang di kereta biar enggak melamun terus sedih gitu,” curhatnya kepada Magdalene (3/11).
Kendati ketiganya mengalami gejala perimenopause yang tidak mengenakkan dan sekarang telah mengalami fase menopause, ketiganya sepakat ini semua bukanlah sesuatu yang negatif dan harus distigmatisasi. Pasalnya, pengalaman ketubuhan unik perempuan ini merupakan sebuah fase yang harus dihadapi setiap perempuan.
Joesy misalnya mengatakan, menopause adalah proses alami yang memang harus dilalui setiap perempuan layaknya menstruasi. Pada kenyataannya memang hal ini tidak bisa kita kendalikan. Namun, menurut Joesy selama kita dapat berpikir positif mengenai proses alami tubuh ini dan mencari informasi atau pengetahuan yang tepat soal menopause, kita tidak perlu khawatir.
Fitri menambahkan, menopause sendiri membawanya pada sebuah kebahagiaan tidak ternilai harganya secara spiritualitas dan mental.
“Saya justru pas menopause tuh seneng karena saya bisa puasa pol, enggak usah bayar-bayar utang puasa, bisa salat terus. Setelah menopause, saya juga justru merasa lebih mencintai diri saya sendiri. Saya misalnya jadi lebih rajin merawat diri sendiri, lebih memperhatikan diri sendiri fisik atau mental, jadi punya banyak waktu untuk diri sendiri.”
Perempuan Lawan Stigma Menopause dengan Aktif Bekerja
Survei 2019 yang dilakukan oleh Bupa, perusahaan asuransi kesehatan, memperkirakan hampir 900.000 perempuan di Inggris telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena gejala yang terkait dengan menopause. Hal ini pun tentunya berdampak langsung pada produktivitas perempuan dan status mereka sendiri di tempat kerja. Belum lagi ditambah minimnya perhatian dan pengertian dari lingkungan sekitar utamanya laki-laki atas pengalaman ketubuhan unik perempuan ini.
Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu
Namun, di tengah segala stigma dan kendala yang dialami oleh perempuan yang mengalami menopause, Joesy, Fitri, dan Netty membuktikan menopause bukan sebuah halangan atau alasan untuk tetap aktif bekerja. Joesy misalnya adalah seorang penulis profesional. Selama menopause, ia lebih banyak menulis buku. Buku yang ia tulis adalah tulisan yang berisi ilmu dan pengalaman dari karyawan perusahaan atau BUMN yang hendak pensiun. Perusahaan atau BUMN terkait nantinya akan mengundangnya datang dan membuatkan kontrak kerja untuknya. Dari sinilah Joesy nantinya menyusun sebuah buku yang berisi arsip ilmu dan pengetahuan karyawan terkait yang akan digunakan untuk generasi mendatang.
Sama halnya dengan Joesy, Fitri yang merupakan seorang menopause kerap aktif bekerja. Sebagai pendiri, pemilik, dan guru dari sebuah tempat les bimbel di daerah Depok, jadwal Fitri bisa dibilang cukup padat. Ia bisa mengajar dari pagi hari, istirahat di siang hari, dan lanjut mengajar dari jam 1 atau jam 2 hingga jam setengah 6 sore. Apalagi semenjak pandemi, ia bisa saja dihubungi oleh muridnya di luar jam les. Tidak hanya mengajar, di tengah kesibukannya ia Fitri pun masih semangat berjualan. Jika ia sedang tidak ada jadwal mengajar, ia biasanya sibuk di dapur, memasak makanan dari pesanan kue, zuppa soup, atau macaroni schotel yang ia terima.
Netty pun sama. Menurutnya menopause bukanlah halangan berarti baginya untuk tetap aktif bekerja. Sebagai seorang dosen senior yang sudah mengajar selama 30 tahun di universitas swasta, jadwal mengajar Netty bisa dibilang luar biasa padat. Ia mengajar mahasiswa S1 hingga S2 dan masih suka diberikan tugas oleh profesor oleh kampusnya. Walau sudah disibukkan dengan urusan mengajar dan kampus, sama halnya dengan Fitri yang “tidak bisa diam”, Netty masih memberikan pelatihan kepada orang lain yang menginginkan jasa pengajarannya seputar ilmu komputer.
Terkait stigma tak produktif ini, ketiganya angkat bicara.
“Produktivitas itu kan enggak tergantung dari kegiatan fisik juga tapi tergantung dari kemauan kita melakukan sesuatu. Menopause itu enggak hanya berpengaruh pada fisik tapi mental juga, jadi tergantung kita manage-nya gimana. Kalau capek atau merasa sedang enggak enak ya istirahat aja dulu, enggak apa-apa. Nanti baru balik lagi,” tutur Fitri.
Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar
Senada dengan Fitri, Joesy bilang, jika memang kita merasa dalam periode tersebut tidak bisa produktif, sebenarnya tak masalah. Jangan menyalahkan diri kita sendiri atas sebuah proses alami yang dialami oleh kita. Menurut Joesy yang terpenting adalah ketika periode itu telah usai, kita harus bisa bangkit lagi. Jangan menjadikan menopause dan gejala-gejala perimenopause sebagai alasan bagi kita untuk tidak menjadi produktif. Semakin produktif, umumnya kesehatan mental makin terjaga.
Pada akhirnya, menopause dan perimenopause adalah sebuah siklus yang memang harus dilalui oleh setiap perempuan. Baik Joesy, Fitri, atau Netty setuju, pengetahuan dan informasi akurat soal pengalaman ketubuhan ini penting. Tidak hanya bagi perempuan untuk menekan rasa khawatir berlebihan, tapi juga agar mereka lebih mudah menjalani siklus ini dengan baik.