Coba deh kita lihat kondisi kerja sekarang. Banyak orang dari generasi sebelumnya dibesarkan dengan mindset bahwa karier adalah segalanya: kerja lembur, pulang larut, bahkan membawa kerjaan ke rumah dianggap wajar. Hustle culture dulu dianggap lambang sukses. Tapi, benarkah gaya itu bikin bahagia?
Nah, sekarang muncul konsep career minimalism, pandangan baru terhadap karier yang mulai populer di kalangan Gen Z. Bagi mereka, sukses bukan cuma soal jabatan tinggi atau gaji besar, tapi tentang seberapa seimbang hidup mereka, ada waktu untuk diri sendiri, keluarga, teman, dan tetap bisa menikmati hidup tanpa terbebani kerja terus-menerus.
Menurut artikel dari Marketeers, Ubah Makna Sukses di Dunia Kerja, Gen Z Terapkan Career Minimalism, Gen Z sekarang melihat pekerjaan utama sebagai sarana stabilitas finansial, dan banyak dari mereka mengalokasikan energi untuk aktivitas di luar kerja seperti side hustle atau kegiatan kreatif.
Di Indonesia juga sudah mulai muncul riset yang menunjukkan kemauan Gen Z agar perusahaan menyediakan keseimbangan kerja-hidup. Sebagai contoh, penelitian Generation Z in the Workplace: How Work-Life Balance and Job Satisfaction Drive Turnover Intention in Indonesia menemukan bahwa work-life balance yang baik dan kepuasan kerja (job satisfaction) berpengaruh signifikan terhadap niat karyawan Gen Z untuk bertahan di pekerjaan mereka.
Career minimalism bukan berarti menyerah, enggak mau berjuang, atau anti ambisi. Justru sebaliknya, ini pilihan sadar: bekerja lebih cerdas, bukan hanya lebih keras. Gen Z menata karier agar sesuai dengan nilai pribadi dan tujuan hidup, bukan hanya standar lama yang menekankan kerja keras sebagai satu-satunya jalan sukses.
Jadi, kalau dulu banyak orang bangga dengan slogan “kerja keras banting tulang demi masa depan”, Gen Z sekarang lebih suka moto: “kerja secukupnya, hidup sepenuhnya.”
Baca Juga: Apa Itu Nillionaire? Istilah Viral untuk Generasi yang Gajinya Cuma Numpang Lewat
Asal Usul Career Minimalism
Kalau kita lihat, career minimalism bermula dari filosofi minimalisme dalam hidup, yakni memilah mana yang penting, lalu melepaskan beban yang enggak perlu. Misalnya di rumah tangga, minimalisme bisa berarti mengurangi barang yang hanya membuat ruangan terasa sesak dan pikiran terasa berat.
Gen Z kemudian mengaplikasikan konsep ini ke dunia kerja. Mereka menyadari bahwa bukan cuma barang fisik yang bisa menumpuk stres, tapi juga beban tugas, ekspektasi sosial, dan tekanan karier. Ide utamanya: pilih pekerjaan atau jalur profesional yang selaras dengan tujuan hidup, bukan sekadar mengejar ambisi yang mungkin enggak realistis.
Di Indonesia, tren ini makin nyata. Survei dalam DetikEdu, Studi: Mayoritas Gen Z Incar Work Life Balance dan Jam Kerja Fleksibel, mengungkap bahwa mayoritas dari mereka menginginkan work-life balance dan jam kerja yang fleksibel.
Selain itu, artikel Kompas, Memahami Alasan Gen Z Menuntut ‘Work Life Balance’, mengungkap bahwa sekitar 95 persen responden Gen Z menyebut work-life balance sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi pemberi kerja.
Career minimalism bukan berarti menyerah atau anti-ambisi. Justru, ini pilihan sadar untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras. Gen Z ingin karier yang bermakna, sesuai dengan nilai hidup mereka, tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan hubungan personal.
Faktor lain yang mendukung munculnya career minimalism adalah perubahan zaman dan teknologi. Era digital memungkinkan fleksibilitas kerja seperti remote work, freelance, atau gaya kerja hybrid. Gen Z jadi punya ruang lebih untuk memilih pola kerja yang cocok dengan ritme hidup mereka.
Jadi bisa dibilang, career minimalism adalah evolusi pemikiran generasi muda. Dari minimalisme gaya hidup berkembang menjadi pendekatan karier yang fokus pada keseimbangan, makna, dan kebahagiaan, bukan cuma status atau gaji besar.
Baca Juga: ‘Positive Culture’: Rahasia Budaya Kerja Sehat yang Bikin Karyawan Betah dan Produktif
Perbedaan Career Minimalism vs Hustle Culture
Hustle Culture, budaya kerja yang mengagungkan kerja tanpa henti. Beberapa cirinya:
- Lembur terus-menerus, bahkan akhir pekan diorbankan.
- Istirahat atau liburan dianggap kemalasan.
- Kesuksesan diukur dari jabatan, gaji, dan status sosial.
- Work-life balance dianggap ide yang terlalu idealis, karena karier dianggap harus nomor satu.
Walau hustle culture bisa terlihat ambisius dan menginspirasi, dalam jangka panjang efeknya bisa bahaya: stres kronis, burnout, dan kesehatan mental yang menurun.
Career Minimalism, kebalikan dari hustle culture. Filosofinya:
- Memutuskan jam kerja yang realistis dan tidak bergantung pada keharusan standby terus-menerus.
- Tidak selalu mengejar promosi atau jabatan tinggi kalau itu merusak keseimbangan hidup.
- Menempatkan kesehatan mental, hubungan sosial, dan kebahagiaan pribadi sebagai prioritas.
- Kesuksesan diukur dari seberapa nyaman dan seimbang hidup, bukan seberapa padat jadwal kerja.
Baca Juga: ‘Workplace Ghosting’: Ketika Dunia Kerja Jadi Arena Menghilang
Tips Menerapkan Career Minimalism untuk Gen Z
Punya niat buat hidup dengan prinsip career minimalism itu langkah yang keren. Tapi, realitanya memang enggak semudah teori. Tekanan dari kantor, ekspektasi keluarga, sampai norma sosial sering bikin kita ragu untuk konsisten. Nah, biar lebih realistis, berikut beberapa tips praktis buat Gen Z (atau siapa pun) yang ingin memulai perjalanan karier minimalis.
- Tentukan Prioritas Hidup dengan Jelas
Identifikasi apa yang paling penting buat hidupmu yaitu kesehatan mental, waktu bersama keluarga, kebebasan finansial, kerja fleksibel, dll. Riset dari theaspd.com, Generation Z in the Workplace : How Work-Life Balance and Job Satisfaction Drive Turnover Intention in Indonesia, menunjukkan bahwa semakin baik work-life balance dan kepuasan kerja, makin rendah niat Gen Z untuk resign dari pekerjaan mereka.
- Berani Mengatakan “Tidak”
Salah satu kemampuan paling penting dalam career minimalism: belajar mengatakan “tidak” pada pekerjaan tambahan yang tidak perlu atau ekspektasi yang membuatmu stres. Artikel Verywell Mind, How to Say No to People, memberikan strategi konkret bagaimana menolak dengan tegas tapi tetap sopan agar kamu tetap menjaga batas sehat.
- Buat Batasan Sehat antara Kerja dan Kehidupan Pribadi
Pastikan kamu punya waktu jelas untuk berhenti dari pekerjaan, misalnya tidak membuka email kantor setelah jam kerja. Menurut APA, Self-Care, menjaga rutinitas istirahat, memprioritaskan tidur dan jeda mental adalah bagian fundamental dari self-care yang penting untuk mengurangi stres kerja dan menjaga kesehatan mental.
- Fokus pada Pekerjaan yang Memberi Makna
Career minimalism mengajarkan kita buat memilih pekerjaan yang sesuai value pribadi. Ada yang lebih puas kerja di industri kreatif dengan gaji sedang, daripada di korporasi besar tapi penuh tekanan.
Misalnya dari laporan Gallup, State of the Global Workplace Report 2023, menunjukkan bahwa pekerja yang merasa pekerjaan mereka bermakna punya tingkat engagement lebih tinggi dibanding yang tidak merasa demikian.
Jadi, jangan biarkan standar orang lain mendefinisikan sukses buat kamu.
- Kelola Finansial dengan Bijak
Salah satu tantangan career minimalism adalah masalah finansial. Karena enggak semua orang bisa “slow down” kalau kondisi keuangannya pas-pasan. Penting banget untuk bikin perencanaan, menabung, dan mulai investasi sedini mungkin.
Di Indonesia sendiri, Dikutip dari Kontan, Komitmen bank bjb Terus Tingkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis OJK dan BPS tahun 2024 menunjukkan angka literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di 65,43%, sementara inklusi keuangan mencapai 75,02%.
Kalau finansial aman, kamu jadi lebih punya ruang untuk menerapkan prinsip minimalis dalam karier.
- Sisihkan Waktu untuk Self-Care dan Pengembangan Diri
Career minimalism bukan berarti berhenti berkembang. Justru, dengan mengurangi distraksi yang enggak penting, kamu punya lebih banyak waktu buat belajar, upgrade skill, dan merawat diri. Masih dari American Psychological Association, aktivitas self-care terbukti bisa menurunkan tingkat stres dan meningkatkan.
Jadi, mau itu olahraga, ikut kursus online, atau sekadar me-time, semuanya adalah investasi buat masa depan.
Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.