Belakangan terminologi “mansplaining” semakin populer digunakan di media dan media sosial. Hanya dalam waktu enam bulan antara November 2016 dan April 2017, terminologi tersebut muncul dalam paling tidak 10.000 cuitan unik di Twitter.
Mansplaining merupakan singkatan yang menggabungkan antara “man” (laki-laki) dan “explain” (menjelaskan). Ini merujuk pada bagaimana laki-laki memberikan penjelasan yang tak diminta pada perempuan. Perilaku ini ditandai dengan kepercayaan diri si pembicara, nada yang merendahkan, interjeksi atau interupsi, serta asumsi dasar bahwa lawan bicaranya tak punya pengetahuan sebelumnya tentang apa yang sedang dibicarakan.
Terminologi mansplaining pertama kali dipopulerkan oleh Rebecca Solnit pada 2008 melalui esainya yang bertajuk Men Explain Things to Me (Laki-laki Menjelaskan Hal-hal Kepada Saya). Dalam tulisannya, Solnit mendeskripsikan interaksinya dengan seorang lelaki yang menjelaskan premis dan pentingnya sebuah buku, menganggap Solnit tak punya wawasan tentang buku tersebut – yang padahal ditulis oleh Solnit sendiri. Pria tersebut melanjutkan penjelasannya dengan gigih walaupun teman Solnit berulang kali menekankan “Buku itu ditulis olehnya (Solnit).”
Contoh lainnya yang terkemuka adalah ketika seorang ahli astrofisika mencuit tentang perubahan iklim dan diminta untuk “belajar sains sungguhan”, atau ketika cuitan seorang astronot NASA tentang eksperimennya sendiri dikoreksi netizen. Diskursus yang tengah berjalan di media sosial tentang mansplaining dan hubungannya dengan pengalaman profesional perempuan pada akhirnya mempertanyakan apakah perilaku ini juga dapat terjadi di tempat kerja. Dan jika ya, efek apa yang mungkin terjadi.
Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan
Perundungan Terselubung di Tempat Kerja
Studi menunjukkan bahwa perundungan terselubung di tempat kerja meningkat selama 20 tahun terakhir. Ini kerap dikaitkan dengan meningkatnya kecaman terhadap diskriminasi yang bersifat terang-terangan.
Kebanyakan perundungan di tempat kerja kini umumnya karena kurangnya kesopanan atau pelanggaran terhadap norma sosial – ketimbang perlakuan diskriminatif terbuka, sikap bermusuhan ataupun kekerasan. Perundungan terselubung seperti meremehkan, merendahkan, dan mempermalukan sangat berbahaya karena intensinya yang ambigu.
Kami mengeksplorasi tentang terminologi “mansplaining” dalam diskursus populer seputar tempat kerja. Kami juga ingin tahu apakah mansplaining juga terjadi di luar media sosial, atau hanya sekadar bentuk reaksi negatif terhadap para ahli yang terjadi di jagad maya. Untuk menemukan jawabannya, kami memeriksa prevalensi mansplaining yang terjadi di lingkup kerja.
Terakhir, kami ingin memetakan siapa yang mengalami mansplaining, siapa yang melakukannya, dan potensi dampaknya terhadap target.
Mendefinisikan Mansplaining
Untuk mendefinisikan mansplaining dalam konteks tempat kerja, kami menyusuri Twitter yang memuat terminologi tersebut sembari memasukkan kata-kata yang terkait kerjaan.
Analisis kami memperluas definisi dari mansplaining: seseorang (biasanya laki-laki) yang memberikan penjelasan yang merendahkan atau persisten, tanpa diminta atau bahkan tak dikehendaki, kepada seseorang (biasanya bukan laki-laki). Penjelasan mereka cenderung mempertanyakan wawasan lawan bicaranya, atau mengasumsikan lawan bicaranya kurang berwawasan mengenai persoalan tersebut, terlepas dari kebenaran dari isi penjelasannya.
Kami kemudian melakukan survei terhadap para pekerja di Amerika Utara untuk mengetahui apakah mereka pernah mengalami mansplaining, seberapa sering mereka mengalaminya serta gender dari pelakunya.
Kami secara khusus tertarik untuk mengetahui apakah kata “man” dari mansplaining benar-benar tepat. Karena itu, kami menanyai orang-orang dari kelompok gender manapun soal perilaku yang kami anggap terkait dengan mansplaining, tanpa secara spesifik bertanya tentang mansplaining itu sendiri.
Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier
Lebih dari Media Sosial
Penelitian kami mengindikasikan bahwa mansplaining lebih dari sekadar fenomena di media sosial. Perilaku ini pun terjadi di luar jagad maya dan memengaruhi orang-orang di lingkungan kerjanya.
Hampir tiap orang dalam studi kami – terlepas dari gendernya – pernah menjumpai paling tidak satu perilaku mansplaining. Akan tetapi, perempuan dan minoritas gender mengalami perilaku ini lebih sering dan dalam cakupan yang lebih luas.
Ini menunjukkan mansplaining bisa jadi merepresentasikan adab yang buruk berbasis gender, yang umumnya dialami oleh pekerja perempuan dan minoritas gender, dengan kebanyakan pelakunya adalah laki-laki. Kata “mansplaining” bisa jadi terlalu menggeneralisasi, namun ini tampaknya merefleksikan dengan akurat pengalaman pekerja perempuan dan minoritas gender.
Temuan kami juga menunjukkan, mansplaining punya efek buruk yang signifikan terhadap sasaran perilaku ini — layaknya bentuk adab buruk di tempat kerja lainnya. Tiap pengalaman mansplaining terasosiasi dengan rendahnya komitmen organisasional dan kepuasan kerja, keinginan berpindah kerja yang tinggi, serta kelelahan emosional dan tekanan psikologis.
Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional
Mansplaining Bukan Sekadar Tren
Organisasi sebaiknya tidak melihat mansplaining sebagai produk adab buruk di media sosial atau sekadar tren yang akan berlalu. Sebaliknya, perilaku ini seharusnya dipahami sebagai permasalahan terkait perilaku buruk selektif yang menyasar individu berdasarkan identitasnya dan membuat mereka merasa tak mumpuni.
Sekalinya diidentifikasi sebagai bentuk adab yang buruk, mansplaining seharusnya dapat disikapi di tempat kerja. Intervensi yang selama ini efektif untuk menghadapi adab buruk bisa jadi ampuh untuk menangani mansplaining.
Pelatihan terkait intervensi kesopanan, penghormatan, dan pelibatan di tempat kerja yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS), misalnya, berusaha mengatasi permasalahan seperti ini dan mendorong perilaku sopan di lingkungan kerja. Sistem rumah sakit di Kanada yang menerapkan intervensi ini menunjukkan adanya peningkatan dalam perilaku menghormati, kepuasan kerja dan kepercayaan terhadap manajemen – sementara tingkat burnout dan kepasifan karyawan mengalami penurunan.Buku Subtle Acts of Exclusion (Tindakan Pengecualian Halus), bisa jadi panduan yang berguna untuk pemimpin maupun karyawan dalam mengatasi bentuk perundungan berbasis gender yang terselubung ini. Buku ini dapat membantu organisasi untuk mencegah agresi mikro agar karyawan merasa nyaman dan diterima di lingkungan kerja mereka.
Bagaimana mengurangi bahaya yang disebabkan oleh mansplaining dan mencegahnya menjadi masalah berulang di tempat kerja merupakan hak organisasi. Namun, perlu diingat bahwa produktivitas dan kesejahteraan karyawan bisa terpengaruh olehnya.
Linda Schweitzer adalah Profesor Manajemen dan Strategi Carleton University; Chelsie J. Smith, PhD Candidate di Manajemen dan Strategi Carleton University, dan Katarina Lauch, PhD Candidate, Sprott School of Business, Carleton University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.