Seiring longgarnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sebagian kantor yang tadinya menerapkan sistem kerja dari rumah (WFH) secara penuh berangsur-angsur beralih ke kerja dari kantor (WFO) sebagian (hybrid) atau penuh.
Hal ini ditanggapi beragam oleh para pekerja, seperti terlihat dari komentar-komentar warganet saat kami melempar pertanyaan: Mana yang lebih mereka sukai, WFO atau WFH. Dari komentar-komentar yang masuk, hampir separuhnya lebih suka WFH, sementara sebagian sisanya lebih nyaman kerja secara hybrid.
Tren pekerja yang lebih nyaman dan bisa bekerja jarak jauh (remote work) atau WFH memang sudah muncul jauh sebelum pandemi. Namun, pandemi menambah jumlah orang-orang yang lebih memilih remote work. Bahkan, bila orang-orang ini dituntut kerja kembali dari kantor, mereka akan mempertimbangkan akan bertahan atau tidak.
Ini tampak dari survei FlexJobs pada Maret-April 2021 terhadap 550 laki-laki dan 1.600 perempuan yang pernah atau masih melakukan remote work. Sebanyak 60% perempuan dan 52% laki-laki menyatakan akan resign bila mereka tidak bisa lanjut bekerja jarak jauh. Dalam survei Flexjobs lainnya, ditemukan pula 58% pekerja jarak jauh menyatakan pasti akan cari pekerjaan baru jika yang sekarang tak memungkinkan kerja jarak jauh pascapandemi, dan 69% laki-laki dan 80% perempuan menilai kerja jarak jauh sebagai pertimbangan penting dalam mencari pekerjaan baru itu.
Alasan Memilih WFH
Kami menemukan sejumlah alasan yang mendasari pilihan sebagian warganet yang pro-WFH. Pertama, faktor uang, energi, dan waktu yang harus dikeluarkan untuk pergi ke kantor. Perkara ini memang menjadi keresahan yang jamak dihadapi pekerja yang tinggal jauh dari kantor dan harus menghadapi kemacetan sehari-hari di kota-kota besar.
Dalam studi yang dimuat di The International Journal of Business and Management (2019), disebutkan bahwa kemacetan menurunkan produktivitas dan ketepatan waktu pekerja. Selain itu, mayoritas responden studi tersebut juga menyatakan hal ini berdampak buruk terhadap kesehatan mereka, baik fisik maupun psikis. Sebanyak 50,8% responden sangat setuju dan 41,3% setuju kemacetan parah meningkatkan level stres mereka. Dilansir Healthline, ketika level stres naik dan berlangsung terus menerus, ini bisa memicu berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, peningkatan gula darah, ketegangan otot, dan melemahnya sistem imun.
Penurunan produktivitas tidak hanya dipengaruhi masalah mobilitas pekerja, tetapi juga suasana kantor. Hal ini terlihat dari komen seorang warganet yang menyatakan di kantor, ia mesti memasang headset seharian penuh saat bekerja. Ini bisa dipengaruhi oleh kebisingan atau distraksi lain yang berdampak pada konsentrasinya.
Faktor suasana kantor ini bisa dipandang berbeda berdasarkan pengalaman masing-masing pekerja. Ada pekerja yang justru bisa berkonsentrasi lebih baik ketika berada di kantor karena justru situasi rumahnya yang tidak kondusif. Misalnya, di tengah rapat, ia diinterupsi oleh anaknya atau ada kebisingan dari lingkungan rumahnya. Karena alasan ini, sebagian orang lainnya merasa WFH lebih menyulitkan mereka untuk jadi produktif.
Alasan ketiga, WFH memungkinkan pekerja melakukan aktivitas yang sulit ia lakukan bila harus ke kantor.
“Semenjak WFH saya sempat olahraga, ke pasar jalan kaki, dan masak sendiri (yang biasanya terbuang dengan commute rumah-kantor). Bangun lebih segar, uang lebih irit, tapi ya [ini] privilege [saya] kerja dengan orang kantor kooperatif yang ngerti [kalau] kontak kerjaan hanya saat jam kerja, kecuali urgent banget,” tulis salah satu warganet.
Alasan ini mengindikasikan pekerja memerlukan waktu tersendiri untuk melakukan hal yang dibutuhkan dan disenanginya, dan ini tersita jika ia harus bekerja dari kantor. Sering kali, alasan ingin punya waktu lebih banyak untuk kehidupan pribadi menjadi isu besar bagi ibu bekerja. Karenanya, sekalipun WFH membuatnya mesti berjibaku menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan rumah dan kantor, sebagian ibu tetap menikmati sistem kerja ini karena memungkinkan mereka punya waktu lebih banyak bersama keluarganya karena tidak harus menghabiskan berjam-jam di perjalanan.
Masa Depan Kantor Pasca-pandemi
Mempertimbangkan berbagai keuntungan yang didapat dari WFH, warganet yang berkomentar di Instagram kami berharap kantornya tetap menerapkan sistem ini berseling dengan WFO. Tak dapat dimungkiri, ada waktu-waktu tertentu ketika pekerja butuh melakukan koordinasi atau brainstorming dengan rekan-rekan atau bosnya. Hal ini oleh sebagian orang dirasa lebih efektif jika dilakukan secara langsung dibanding virtual.
Selain itu, beberapa warganet juga menyampaikan adanya kebutuhan untuk bertemu dengan orang-orang kantor setelah lama bekerja dari rumah. Dalam tulisan Stephanie Russel di The Conversation, ketiadaan kontak sosial, yang terjadi akibat kerja jarak jauh, memang disebut berkontribusi terhadap stres pekerja. Ia menyatakan, seiring lamanya para pekerja tak bertemu, mereka bisa saling melupakan. Ini bisa mengarah pada kurangnya rasa percaya, meningkatnya perasaan terasing dan potensi timbulnya konflik dengan kolega. Terkait hal terakhir, salah satu faktor yang bisa memicunya adalah kesalahpahaman yang terjadi selama melakukan komunikasi secara virtual atau via teks.
“Tanpa bahasa tubuh yang terlihat, sulit untuk menyampaikan maksud kita sesungguhnya,” tulis Russel.
Tak hanya pekerja yang menilai hybrid menjadi opsi terbaik untuk masa depan kantor pasca-pandemi. Di sisi perusahaan, keinginan untuk menerapkan sistem kerja hybrid juga tinggi. Ini terlihat salah satunya dari artikel McKinsey yang memaparkan hasil survei mereka terhadap 100 orang di level C–suite, wakil presiden, dan direktur dari Asia, Eropa, Amerika Latin, dan AS (Desember 2020-Januari 2021). Sebanyak 40% responden ingin proporsi kerja dari kantor sebesar 21-50%, 40% ingin proporsi 51-80%, 10% ingin proporsi >80%, 7% ingin proporsi < 20%, dan 3% ingin kerja jarak jauh total.
Tidak hanya kemungkinan untuk bisa kembali bersosialisasi dengan kolega dan berkoordinasi lebih baik untuk pekerjaan kantor, kebaikan sistem hybrid yang membuatnya layak dipertimbangkan jadi opsi di masa depan adalah adanya independensi dan fleksibilitas. Hal ini penting mengingat kebutuhan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi. Terlebih pada pekerja perempuan yang masih mendapat tuntutan lebih banyak untuk mengurus pekerjaan domestik dan tidak punya sistem pendukung seperti dari keluarga atau asisten rumah tangga.
Fleksibilitas menjadi pelajaran penting selama perubahan sistem kerja pada masa pandemi yang perlu dimasukkan dalam perencanaan masa depan kantor pasca-pandemi. Ini bertujuan untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaik di suatu perusahaan yang punya berbagai tantangan seperti kelompok ibu bekerja tadi. Tanpa adanya hal ini, kemungkinan perusahaan untuk menjadi inklusif dan mengusung keberagaman semakin berkurang, dan hal ini bisa berdampak buruk kemudian terhadap performa perusahaan.
Dalam BBC, Christine Ro menulis sistem hybrid juga memungkinkan pekerjaan terselesaikan secara lebih efisien. Sebagian pekerjaan mungkin memerlukan kerja tim, tetapi sebagian lainnya bisa dilakukan maksimal sendiri. Mengutip pendapat Baruch Silverman, founder situs keuangan personal The Smart Investor, “Sebuah pekerjaan bisa saja menyita beberapa jam di kantor sementara di rumah bisa terselesaikan dalam satu-dua jam.”
Di samping sistem hybrid, ada sistem lain yang bisa diterapkan perusahaan pasca-pandemi: Hub and spoke. Dalam Harvard Business Review, peneliti senior di Hassel yang berfokus pada masa depan tempat kerja Daniel Davis, Ph.D. mendeskripsikan sistem kerja ini: “Karyawan bekerja dari kantor satelit yang lebih kecil di pinggiran kota atau tempat yang lebih dekat dari domisilinya alih-alih datang ke kantor besar di distrik pusat bisnis. Ini akan menghemat ongkos yang dikeluarkan dengan menjadi komuter, dan membawa keuntungan lain yaitu kesempatan interaksi tatap muka dengan kolega.”
Untuk opsi yang satu ini, barangkali tidak semua perusahaan bisa menjadikannya masa depan kantor pasca-pandemi walau keuntungan yang didapatkan tampak menggiurkan. Tantangannya ada pada skala dan kemampuan finansial perusahaan juga untuk membentuk kantor-kantor satelit.
Komunikasi antara Karyawan-Bos Soal Sistem Kerja Penting
Menentukan masa depan kantor pasca-pandemi memang membawa dilema tersendiri bagi perusahaan, dan mereka tidak bisa menyenangkan semua karyawan yang punya kebutuhan berbeda.
Ro menulis, ada isu ketidaksetaraan sosio-ekonomi antara siapa yang bisa bekerja di rumah dan tidak. Sebagian pekerja mungkin punya akses internet yang baik dan lingkungan rumah kondusif untuk bekerja, sebagian lainnya punya kebutuhan tinggi untuk mengasuh anak, sehingga opsi hybrid atau kerja WFH secara penuh tak jadi masalah buatnya. Namun, tidak pada sebagian pekerja lainnya.
Mendapati perbedaan kebutuhan ini, penting untuk melakukan komunikasi terbuka antara karyawan dan pihak perusahaan karena akan berdampak pada performa kerjanya. Dalam Forbes, pengusaha bidang teknologi, Carren Merrick menyarankan kepada para pekerja untuk terbuka tentang kebutuhan mereka.
“Jika kebutuhanmu–seperti tunjangan anak atau penggantian ongkos transportasi–tidak ditawarkan perusahaan, terbukalah kepada supervisor-mu dan upayakan kompromi yang memungkinkan kamu bekerja optimal dan mendapat dukungan yang dibutuhkan,” tulis Merrick.
Menurut ibu bekerja yang menjabat sebagai CEO, penting bagi pekerja untuk mengingat bahwa mengelola kehidupan pribadi tak mesti mengorbankan pekerjaan dan sebaliknya. Penting pula bagi pekerja untuk memprioritaskan self care dan kesehatan mentalnya sehingga ketika ada perubahan kebijakan sistem kerja di kantor, pekerja bisa mengevaluasi lagi apakah itu bisa dan mau dijalankan dengan berbagai konsekuensinya atau tidak.