Sayaka Osakabe, 37 mengenang pengalaman pahitnya jadi korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Dalam wawancaranya dengan Reuters, 11 September 2014, perempuan Jepang itu mengaku mengalami keguguran tetapi terpaksa kembali bekerja sebagai tenaga kehumasan salah satu majalah dengan jam lembur tiap hari. Ia berharap atasannya meringankan beban kerjanya agar ia tidak akan keguguran lagi, tetapi si bos cuma menyarankan Osakabe untuk tidak perlu punya bayi selama dua hingga tiga tahun lagi.
Ketika akhirnya ia betulan hamil kedua kalinya dan bermaksud mengambil cuti, si bos bertandang ke rumah. Ternyata kedatangan atasannya ke rumah adalah untuk mendorong Osakabe mengundurkan diri dengan dalih ketidakhadirannya “menyebabkan masalah” di perusahaan.
Apa yang dialami oleh Osakabe adalah fenomena gunung es dari problem diskriminasi gender dalam dunia kerja Jepang. Mengacu pada laporan Global Gender Gap 2021 yang disusun World Economic Forum, Jepang duduk di peringkat ke-120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender. Sejak 2006, mereka turun 40 peringkat. Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik 7,8% pada 2019, tapi itu masih jauh dari target 30%, yang tenggatnya diam-diam diperpanjang pemerintah Jepang hingga 2030. Di bidang politik, jumlah anggota legislatif perempuan hanya 9,9% dari total anggota di majelis rendah Parlemen. Persentase itu menempatkan Jepang di peringkat ke-166 dari 193 negara.
Baca juga: Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja
Matahara, Kekerasan Perempuan Pekerja Jepang
Salah satu kegagalan pemerintah Jepang dalam menghapus diskriminasi gender tampak dari fenomena sosial matahara (マタハラ). Dikutip dari laman matahara.net, itu gabungan dari kata Bahasa Inggris “maternity” dan “harassment“. Matahara mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, dan pascamelahirkan. Penyebabnya paling sering karena ada kecemburuan dari para pekerja lain yang terpaksa menggantikan peran perempuan selama ia cuti hamil dan atau melahirkan.
Menurut hasil survei yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Buruh Jepang pada 2015, satu dari setiap lima (20,9%) perempuan pekerja di Jepang pernah mengalami matahara. Dengan kata lain, matahara adalah kekerasan gender yang rentan dialami perempuan manapun di tempat kerja.
Matahara mewujud dalam beberapa jenis tindakan, seperti perundungan, pelecehan kuasa (power harrasment), dan merumahkan paksa. Dalam perundungan, kalimat seperti “Kamu menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa ambil cuti,” dan “Kamu egois,” adalah yang paling jamak digunakan.
Matahara juga dilakukan oleh atasan perempuan pekerja melalui power harassment. Dengan otoritas di kantor, para atasan merasa mereka berhak mengontrol tubuh perempuan, termasuk meminta mereka menggugurkan kandungan atau tidak memberikan kelonggaran pekerjaan. Dalihnya, setiap orang harus bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan, tak peduli bagaimanapun kondisinya.
Jenis matahara terakhir berupa merumahkan pekerja secara paksa tanpa persetujuan mereka. Matahara.net mencatat, dari 170 keluhan yang muncul di Jepang sepanjang 2015, mayoritas adalah jenis matahara ini.
Baca juga: Jepang Belum Jadi Tempat Aman untuk Perempuan
Peran Gender Tradisional Jadi Dalang
Salah satu akar masalah matahara berasal dari peran gender tradisional yang masih menghantui masyarakat Jepang. Dalam artikel akademik Japanese Gender Role Expectations and Attitudes (2019) yang ditulis Melanie Belarmino dan Melinda R.Roberts dari Universitas Bridgewater State dinyatakan, pondasi pembagian peran masyarakat Jepang didasarkan oleh ide dari ajaran konfusianisme yang menempatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri sebagai peran utama hidup mereka.
Dari sinilah kemudian muncul istilah ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak. Ryousai kenbo yang diciptakan oleh Nakamura Masanao pada 1875, mewakili peran ideal perempuan yang pengaruhnya berlanjut hingga hari ini. Melalui ryousai kenbo , perempuan diharapkan menguasai keterampilan domestik, seperti menjahit, memasak, serta mengembangkan keterampilan moral dan intelektual untuk membesarkan anak-anak yang kuat dan cerdas demi bangsa.
Kumiko Fujimura-Fanselow, profesor pendidikan dan studi perempuan dari Toyo Eiwa dalam The Japanese Ideology of ‘Good Wives and Wise Mother (1991) menjelaskan, selama Perang Dunia II, ryousai kenbo diajarkan untuk mempromosikan kebijakan negara yang konservatif, nasionalistik, dan militeristik guna membantu mengembangkan ekonomi kapitalistik.
Dari akhir 1890-an hingga akhir Perang Dunia II, ryousai kenbo jadi semakin lazim ditemukan di media massa dan sekolah-sekolah putri negeri dan swasta tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat Jepang pun hingga sekarang menginternalisasi peran gender tradisional ini dengan pusat pembagian peran domestik perempuan dan peran publik laki-laki. Artinya, begitu seorang perempuan hamil atau memiliki anak, dia diharapkan meninggalkan pekerjaannya, tinggal di rumah, dan mendahulukan keluarganya.
Baca juga: Serba Salah Jadi Ibu Pekerja Hari Ini
Laki-laki Rentan Alami Kekerasan Serupa
Matahara sebenarnya tak hanya berdampak pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Adalah patahara (パタハ) atau paternity harrasement, diskriminasi atas peran domestik yang dipilih bapak pekerja saat memutuskan ambil cuti paternal.
Glen Wood, warga negara asing yang bekerja di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities dalam Tokyo Weekender misalnya, menceritakan pengalamannya mengalami patahara. Ia secara bertahap didemosi kemudian dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer ekuitas setelah meminta cuti paternal. Dilucuti dari tanggung jawab manajerial dan dipaksa untuk melakukan tugas-tugas kasar, situasi ini pun mempengaruhi kesehatannya. Setelah mengambil cuti sakit, perusahaan menawarkan kontrak baru dengan penurunan gaji yang signifikan yang ia tolak. Setelah gajinya dihentikan, Wood berbicara kepada pers tapi justru dipecat.
Dari contoh ini, kita perlu awas bahwa hegemoni peran gender tradisional ini tak mengenal jenis kelamin, meskipun perempuan paling rentan. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan di Jepang tidak akan segan mendiskriminasi atau memecat karyawannya secara sepihak atas dalih efektivitas kinerja perusahaan.