Pertandingan tenis antara Novak Djokovic melawan Jack Draper belum juga dimulai, tapi tepuk tangan 7.500 penonton sudah bergemuruh di Stadion Wimbledon, Inggris. Hari itu, 28 Juni 2021, Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford yang melepas hak patennya atas vaksin COVID-19 AstraZeneca jadi sorotan. Sarah bersama rekannya, sesama ilmuwan perempuan, Catherine Green termasuk dua di antara perempuan yang jadi buah bibir karena membantu masyarakat di dunia bisa mengakses vaksin itu dengan lebih mudah dan murah. Video yang diunggah di akun Youtube Wimbledon dan viral itu sendiri telah ditonton oleh lebih dari 70 ribu orang.
Sarah Gilbert adalah contoh ilmuwan yang mendobrak gelas kaca dan membuktikan bahwa perempuan yang berkarier di bidang pengetahuan dan riset juga patut dilirik. Kita mungkin hanya beberapa kali mendengar nama harum ilmuwan perempuan. Marie Curie, pelopor penelitian radioaktivitas dan perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel contohnya. Lalu ada ilmuwan roket NASA Yvonne Brill yang menemukan pendorong roket hemat bahan bakar yang menjaga satelit tetap di orbit saat ini. Pun, Rosalind Franklin dengan penelitiannya yang paling sohor terkait dengan struktur double-helix DNA.
Ilmuwan perempuan yang berada di garda depan seperti mereka patut diapresiasi, mengingat titik berangkat mereka untuk meniti karier, proses, hingga hambatan yang dihadapi relatif berlapis. Seorang Yvonne Brill masih dianggap sebagai pengekor karier suaminya dan dikenang sebagai ibu dengan tiga anak, kendati ia berjasa buat NASA. Bahkan, obituarinya saat meninggal delapan tahun silam ditulis oleh The New York Times secara seksis dengan menyisipkan keterampikan sebagai ibu rumah tangga dengan diksi mean beef stroganoff (hidangan daging sapi terkenal ala Rusia. Red).
Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia
Apalagi di tengah pandemi saat ini, ilmuwan perempuan dihadapkan pada beban yang jauh lebih berat ketimbang laki-laki. Sebuah riset bertajuk “Only Second-Class Tickets for Women in the COVID-19 Race” yang dilakukan oleh Flaminio Squazzoni dkk. (2020) menyebutkan, perempuan telah menerbitkan lebih sedikit makalah, memimpin lebih sedikit uji klinis, dan menerima lebih sedikit pengakuan atas keahlian mereka selama pandemi. Sebabnya sesuai dugaan: Perempuan mengalami pergolakan emosional dan tekanan pandemi, protes atas rasisme struktural, kekhawatiran tentang kesehatan mental dan pendidikan anak-anak, serta kurangnya waktu untuk berpikir atau bekerja. Celakanya beban semacam ini sudah memberatkan langkah perempuan sejak sebelum pandemi.
Dalam liputan Times, beberapa ilmuwan perempuan di Imperial College yang diwawancara wartawan menyebutkan, harus datang lebih pagi dan pulang ke rumah di waktu petang dalam kondisi sangat lelah. Beruntung jika mitra dan keluarga penuh memberi dukungan untuk mereka berkarier.
Buntung jika mereka terjebak dalam lingkungan yang tak cukup suportif. Ini mirip seperti kumpulan kisah ilmuwan perempuan yang dikutip The New York Times. Daniela Witten, ahli biostatistik di University of Washington di Seattle misalnya menuturkan, yang dihadapi ilmuwan perempuan tak cuma jalan curam untuk mencapai puncak karier mereka atau apresiasi yang sepadan, tapi juga seterotip yang terus menggema di mana-mana. Bahwa perempuan tak sepandai pria, bahwa perempuan yang sukses pastilah melawan kodratnya dan menelantarkan keluarga.
Bagi seorang ilmuwan perempuan yang juga menjadi ibu, tantangan dan stereotip yang dihadapi lebih ngeri-ngeri sedap. Di Amerika, bahkan selama cuti hamil, ilmuwan perempuan diharapkan tetap mengikuti praktikum, persyaratan mengajar, publikasi, dan pendampingan mahasiswa pascasarjana. Ketika mereka kembali bekerja, sebagian besar tidak memiliki penitipan anak yang terjangkau. Di buku Mothers in Science: 64 Ways to Have it All (2008) yang ditulis ahli biologi tanaman Dame Ottoline Leyser, ia menguraikan, sebanyak 64 ilmuwan perempuan terkemuka, merencanakan karier dengan melawan kehidupan rumah tangga mereka. Artinya, kecemasan ibu-ibu yang juga menjadi ilmuwan perempuan adalah valid dan jadi hal jamak.
Baca juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19
Ini belum termasuk dengan diskriminasi berbasis gender di dunia akademis dan riset. Dilansir dari Times, STEM Women, sebuah agen rekrutmen di Inggris mencatat, hanya 35 persen dari lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika adalah perempuan. Pun, perempuan hanya 22 persen dari angkatan kerja STEM. Survei lain tahun lalu oleh perusahaan elektronik RS Components mengklaim bahwa hanya 17 persen profesor sains adalah perempuan. Angka-angka ini cukup beralasan mengingat perempuan kerap dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tak akan mampu mengatasi tantangan berat di dunia yang dicap oleh lelaki, maskulin ini.
Kita tentu masih ingat, peraih Nobel Inggris Sir Tim Hunt sempat melontarkan keluhan seksis bahwa ilmuwan perempuan cuma bisa menangis di laboratorium ketika dikritik. Jangankan di dunia akademis, buat saya yang jurnalis, beberapa lapangan kerja memang didesain dan ditahbiskan sebagai tempat kerja lelaki.
Beberapa teman jurnalis pernah bercerita, ia ditempatkan di desk liputan gaya hidup karena dinilai tak mampu bertahan di politik-hukum-nasional, kendati artikel-artikel ia terbilang bernas. Ada juga yang bilang, ia urung masuk tim investigasi di kantornya atau liputan bencana hanya karena ia perempuan, dan sebagaimana lazimnya perempuan, ia disebut-sebut takkan bisa tidur sembarangan di emperan atau depan gerbang rumah narasumber hingga tengah malam.
Buat saya sendiri, beberapa kisah ilmuwan perempuan di atas menjadi pengingat bahwa kondisi yang dihadapi mereka belum cukup ideal. Sehingga, dibutuhkan kebijakan afirmatif yang membuat para ilmuwan perempuan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengembangkan kariernya. Dukungan dari teman, keluarga, dan kepercayaan publik juga jadi faktor kunci agar perempuan jadi lebih berdaya berkarier di bidang ini.