Ada juga alasan kalau diskusi nyeri haid itu acara promosi klinik dan belum ada nakes internal obgyn yang perempuan. Apa ini bisa diterima juga alasannya?
Memang argumen macam ini bukan sesuatu yang dilarang oleh hukum atau etika. cuma ketika kita bicara promosi kesehatan, kita kan juga bicara beyond profit and marketing. Ya selama kamu jadi penyedia layanan kesehatan, rasanya kamu punya tanggung jawab untuk melakukan promosi kesehatan yang fair. Termasuk memperhatikan kebutuhan klien/pasien yang mengalami masalah kesehatan itu langsung.
Jadi terlepas dari berapa dokter laki-laki atau perempuan yang ada di poster (diskusi kesehatan), rasanya juga sesuatu yang aneh kalau bicara menstrual pain tanpa suara orang yang mengalami langsung. Menstrual pain itu kan bisa ada argumen sosial, psikologis, bahkan hukumnya (misalnya soal cuti haid). Banyak perspektif yang bisa diambil. Karena itu sayang kalau kita melakukan promosi kesehatan tanpa mempertimbangkan client-centered approach ini supaya narasinya enggak hanya satu sudut pandang saja.
Dan dunia kedokteran sudah terlalu lama menempatkan dirinya di atas panggung. Segala sesuatu harus dimedikalisasi. Sekarang, itu bukan approach yang bener-bener baik lagi. Sudah banyak banget advokasi yang menekankan client-centered approach.
Dari perspektif Kesehatan Masyarakat, menurut Mbak kebijakan apa dalam sistem kesehatan yang perlu diperbaiki terkait sensitivitas gender?
Pertama, mulai dari riset. Penelitian di dunia kesehatan sekarang sudah banyak didorong untuk melibatkan perempuan. Kemudian perlu ada juga stratifikasi data kesehatan berdasarkan gender sehingga kita bisa tahu, apakah gender dan seks ada efeknya ke kesehatan atau enggak. Kalau risetnya bias, treatment-nya juga bisa bias.
Dari segi kesehatan masyarakat, sangat ditekankan bagaimana gender mempengaruhi status kesehatan seseorang. Aku baru baca tentang pola feminisasi HIV. Infeksi HIV satu dekade terakhir meningkat pada perempuan ibu rumah tangga, bukan pekerja seks. Kalau di Indonesia sampai sekarang juga angkanya masih lebih tinggi ibu rumah tangga daripada pekerja seks.
Kalau pakai logika populasi kunci pengidap HIV ada di pekerja seks, jadinya enggak make sense. Faktanya ada di dinamika hubungan seksual mereka (para perempuan/ibu rumah tangga) dengan pasangannya. Kalau hanya berfokus individu perempuan yang terkena HIV, kita jadi kehilangan arah melihat berisikonya di sebelah mana. Misalnya, pasangan si perempuan tidak mau memakai kondom, lalu perempuan itu juga tidak bisa menolak hubungan seksual, atau sama sekali nggak tahu pasangannya punya perilaku seksual berisiko. Hal seperti itu kan sangat punya perspektif gender, ya.
Lalu soal bahasa. Penggunaan kata “ibu” soal kontrasepsi mengindikasikan itu hanya haknya perempuan yang sudah punya anak. Itu kan ada biasnya juga, mengasumsikan bahwa yang butuh kontrasepsi sudah menikah/punya anak. Itu bahasa kebijakan kan, dipakainya di peraturan pemerintah atau undang-undang. Karena itu, bahasa juga penting diperhatikan, apalagi yang mengaitkan dengan peran gender tradisional.