Magdalene: Kenapa Mbak lebih memilih untuk meneruskan studi di bidang Kesehatan Masyarakat dibanding lanjut ke program spesialis?
Memang di kita [masyarakat Indonesia] umumnya dianggap aneh kalau dokter enggak praktik. Tapi aku memutuskan untuk enggak lanjut [spesialis] sebenarnya karena kultur pendidikan spesialis di Indonesia tidak terlalu sehat. Jadi aku berpikir-pikir, rasanya cost-nya lebih banyak dibanding benefit yang aku dapat. Lalu, aku merasa bisa berkontribusi untuk masyarakat lebih luas daripada sekadar jadi klinisi/dokter yang berpraktik.
Kenapa aku ambil bidang kesehatan masyarakat? Karena kacamatanya lebih luas dari kedokteran. Bukan hanya melihat orang sakit bisa dibantu atau diobati apa, tapi juga melihat bagaimana orang bisa sakit, bagaimana supaya orang sehat, faktor sosial apa yang membuat seseorang sakit atau sehat.
Selama terjun di dunia kedokteran, mulai dari masa pendidikan sampai berpraktik, ketimpangan dan bias gender seperti apa saja yang Mbak temukan?
Sebenarnya waktu kuliah sarjana, aku masih gender blind, jadi enggak bisa cerita banyak. Baru mulai belajar dan baca-baca sendiri soal itu setelah jadi koas.
Dari situ aku mengamati, ada bidang-bidang yang sangat gendered. Kalau bahasa akademisnya segregasi horizontal. Ada bidang-bidang yang kebanyakan cewek, bidang lainnya kebanyakan cowok.
Secara pengamatan aku saja, kayak obstetri dan ginekologi (obgyn), bedah, ortopedi itu kalau kita lihat kebanyakan cowok. Cewek ada dan semakin banyak tapi belum betul-betul balance. Sementara ada bidang yang kebanyakan cewek seperti pediatri, kulit. Jadi ada pola-pola seperti itu.
Semasa Mbak kuliah kedokteran dulu, pernah menerima materi secara khusus tentang pemahaman budaya atau perspektif gender enggak?
Dulu enggak ada. Mungkin sekarang sudah lebih baik di beberapa fakultas kedokteran atau kesehatan masyarakat sudah mulai diperkenalkan tentang isu budaya dalam kesehatan.
Waktu aku kuliah, [mata kuliah] etika kedokteran ada. Tapi aku akan bilang itu tidak mendalam sampai kami dibekali pengetahuan tentang cultural acceptability atau kesetaraan gender. Terutama gender, ya. Selama aku mengikuti pendidikan formal enggak ada secara khusus materi tentang itu, aku belajar sendiri.
Baru setelah S2, sekarang kan tempatku kuliah sangat punya perspektif gender, aku jadi bisa melihat apa yang dulu aku temui dibahas secara akademis.