Bagaimana kalau misalnya perempuan ingin membangun jejaring atau sekutu, tapi malah orang sekitarnya mengecap dia cari perhatian, yang jadinya seperti backfire sendiri buat dia?
It’s a tricky balance, terutama untuk perempuan, karena kamu harus menyeimbangkan antara menjadi friendly, tapi enggak mau keliatan “terlalu friendly” juga.
Takut dicap penjilat gitu, ya?
Ya, tepat. Jadi kayak dilihat sebagai penjilat begitu sehingga kita tidak dinilai secara adil. Artinya kerja keras kita, pencapaian-pencapaian yang kita capai dengan susah payah, belum tentu itu dinilai memang karena prestasi dan kemampuan kita. “Itu kan karena dia dekat sama si ini”.
Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan
Kalau kita punya ambisi, kan harus didukung juga dengan prestasi. Enggak bisa kalau cuma dekat sama si A, si B, si C saja, tapi enggak bisa apa-apa. Sekarang kan semua orang bisa lihat, semuanya transparan sekarang ini, apakah yang kamu capai itu disebabkan kemampuan kamu atau kedekatan kamu dengan orang-orang tertentu.
Bagi perempuan, tantangan menyeimbangkan antara niat berjejaring dan usaha enggak dicap penjilat memang besar. Banyak hal yang memang harus bisa dikuasai perempuan kalau dia mau bertahan dalam politik kantor dan maju kariernya.
Tapi, perempuan juga sangat agile. Kita kan secara natural sangat adaptif, sangat sensitif, sehingga kita bisa lebih cakap membaca situasi yang ada. Di satu sisi, perilaku sensitif itu kelebihan perempuan. Tapi di lain sisi, ada minusnya juga. Kadang kita dianggap terlalu baper.