Seksisme terhadap Gamer dan Developer Perempuan
Magdalene pernah wawancara sejumlah gamers dan atlet e-sport, lalu ada juga kontributor yang kirim artikel, mereka secara aklamasi bilang bahwa perempuan sering banget mendapatkan seksisme di dunia game, pelecehan seksual saat main game, terutama pas main bareng-bareng. Atlet e-sport perempuan juga tantangannya banyak banget. Apakah Azizah sendiri sebagai gamer dan developer mengalami hal yang sama?
Banget. Saya selalu menghadapi persoalan ini. Laki-laki di lingkunganku tuh selalu enggak percaya bahwa perempuan itu bisa. Pas awal kuliah (di Desain dan Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB), di jurusanku itu aku perempuan sendiri. Dan dosen sering banget ngejudge bahwa di tugas kelompok itu aku enggak kerja, semuanya dikerjakan sama teman-teman yang laki-laki.
Padahal yang terjadi sebaliknya, aku rela bekerja part time ke perusahaan game demi mencari tahu bagaimana caranya kita bisa mengerjakan tugas bikin game ini. Aku mengajari teman-temanku yang laki-laki. Tapi pada akhirnya, yang lain dikasih A, aku dikasih B. Alasannya, mereka semua enggak ada yang percaya bahwa itu aku yang bikin.
What??
Tapi itu justru malah menantang aku untuk mendorong lebih banyak adik kelas yang cewek. Aku jadi asisten dosen, semacam dosen luar biasa undangan, dan mendorong perempuan untuk masuk multimedia, karena kita bisa.
Aku juga kan dulu tukang merakit PC. Soalnya kita perempuan itu punya the level of detail, yang dibutuhkan juga di dunia game.
Di titik ini aku lebih memilih untuk membuktikan pake karya; whatever people say, prove it by your work. Ada masanya di awal-awal ketika studionya didominasi sama anak laki-laki, sampai kita sempat merasa ter-discouraged dan enggak berani ngulik lebih jauh. Tapi di situ aku memilih untuk bilang ke yang perempuan, “Enggak usah didenger, browsing sendiri aja.”
Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya
Bagaimana ya caranya untuk memperbaiki situasi ini biar lebih nyaman untuk perempuan di dunia game?
Sebenarnya untuk memperbaiki itu terkait sama banyak banget hal. Budaya yang memberatkan perempuan, kayak anak perempuan itu harus dipingit, anak perempuan itu umur berapa harus sudah nikah, anak perempuan enggak boleh bergaul sama anak cowok, dan sebagainya, itu harus banyak-banyak dikurangi. Apalagi menghakimi kalau anak perempuan itu enggak bisa pegang komputer, itu paling nyesek.
Lalu di tempat kerja, kita harus mendorong perempuan. Di timku, misalnya ada yang sedang hamil, let’s embrace it and make it an awesome journey (together).