Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

kepala sekolah perempuan

Politik gender ini menyebabkan diskriminasi konstruksi sosial terkait peran gender. Ketika perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, kontribusi mereka dianggap sebagai “bantuan” bagi suami; dan ketika perempuan bekerja, mereka tidak dianggap melakukan pekerjaan sungguhan.

Aspek lain yang ditemukan pada para pelaku pendidikan perempuan adalah kepala sekolah menanggung beban yang lebih berat dan ini memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan, terutama bagi mereka yang sudah menikah.

Seorang kepala sekolah yang kami wawancarai mengatakan bahwa dia harus menghabiskan banyak waktu melakukan supervisi dan menyelesaikan tugas administrasi. Posisi ini juga mengharuskannya untuk melakukan perjalanan dan harus siap untuk pergi ke wilayah-wilayah terpencil—persyaratan seperti ini pada umumnya dianggap lebih tepat untuk laki-laki. Kepala sekolah juga harus siap dipindahkan ke tempat-tempat lain.

Tantangan-tantangan ini membuat perempuan di dunia pendidikan, terutama bagi yang sudah menikah, mengalami lebih banyak kesulitan untuk mengejar karier kepemimpinan.

Perempuan cenderung menghadapi dilema terkait dengan tuntutan untuk memenuhi kewajiban mengurus rumah tangga dan tuntutan pekerjaan. Sebuah pengalaman yang biasa ditemui di berbagai tempat terutama di negara berkembang.

Agar Bisa Menjadi Kepala Sekolah Perempuan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Meskipun literatur terkait kepemimpinan perempuan di pendidikan di Indonesia masih terbatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi terbatasnya jumlah pemimpin perempuan di sekolah. Untuk jangka pendek, kita bisa mulai dengan memenuhi kebutuhan praktis gender dan secara bertahap membangun dasar bagi intervensi yang lebih progresif untuk menghapus ketidakadilan.

Kepemimpinan dianggap merupakan “milik” laki-laki dan kurang mendorong perempuan untuk menduduki posisi tersebut.

Contohnya dengan menyediakan pelatihan kepemimpinan untuk memberdayakan guru perempuan. Perempuan mungkin menghadapi tantangan untuk mengejar karier seperti menghadapi budaya patriarkal yang membatasi keinginan mereka untuk menduduki posisi pemimpin. Mereka juga mungkin perlu memikirkan bagaimana cara untuk mengatur tanggung jawab domestik dan tuntutan sebagai pemimpin.

Pelatihan kepemimpinan saat ini tampaknya masih netral gender dan belum mengatasi kebutuhan spesifik perempuan. Kegiatan seperti ini perlu juga mengakomodasi kebutuhan spesifik perempuan meliputi sesi untuk mentoring, sesi mengatur peran domestik, dan pengembangan kualitas kepemimpinan.

Selain itu, pelatihan kepemimpinan untuk kepala sekolah yang ada saat ini bisa juga disesuaikan agar mencakup juga topik-topik terkait gender dan mendorong peserta, baik laki-laki maupun perempuan, untuk belajar dari contoh-contoh kepala sekolah perempuan yang menonjol.

Untuk jangka panjang, pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana gender berpengaruh pada kinerja sekolah bisa menjadi masukan bermanfaat bagi pemerintah, terutama dalam perekrutan posisi pemimpin.

Meskipun tindakan afirmasi mungkin dibutuhkan sebagai salah satu solusi jangka pendek, pada akhirnya tujuan utama adalah untuk memastikan bahwa pemimpin sekolah diisi oleh orang yang berkualitas dan kompeten.

Kepemimpinan sekolah yang lebih baik berarti manajemen sekolah yang lebih baik, pengajaran yang lebih baik, dan mendorong hasil belajar yang lebih baik pula bagi anak Indonesia.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Senza Arsendy adalah peneliti di Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI). George Adam Sukoco adalah peneliti di INOVASI. Rasita Ekawati Purba adalah Manajer Monitoring, Evaluation, Research and Learning (MERL) di INOVASI.

Website | + posts