newsroom ramah perempuan

Dari Fisik Sampai Kinerja, Jurnalis Perempuan Hadapi Tuntutan Tinggi

Jurnalis Fifi Aleyda Yahya mengatakan ia menghadapi tantangan dan tekanan ketika pertama kali bekerja di MetroTV sebagai pembawa acara perempuan.

“Muncul di televisi harus siap dikritik. Bukan hanya soal pertanyaan yang dibawakan, tapi dari penampilan pun dinilai setiap saat,” kata Fifi dalam diskusi virtual @america bertajuk Women’s Leadership in Broadcast Journalism, yang dihelat pada Hari Perempuan Internasional (8/3).

Tekanan yang dirasakan perempuan dalam dunia jurnalistik pun dibahas oleh Heather Variava, Deputy Chief of Mission dari Kedutaan Besar AS di Indonesia yang dulunya merupakan wartawan koran di AS. Variava bercerita bahwa sebagai seorang jurnalis, sering kali ia menjadi satu-satunya perempuan dalam ruangan.

“Kadang-kadang, hal tersebut membuat saya merasa terintimidasi,” kata Heather.

Ia memaparkan data dari International Women’s Media Foundation (IWMF) yang menunjukkan bahwa perempuan menempati kurang dari setengah pekerjaan media di dunia, padahal lebih dari setengah mahasiswa jurnalisme di seluruh dunia adalah perempuan. Lebih lanjut, jurnalis perempuan pada umumnya rentan menerima serangan offline maupun online, mulai dari ujaran kebencian hingga pelecehan seksual.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Apakah Perempuan Selalu Harus Memilih?

Tantangan selanjutnya yang ia hadapi adalah pilihan perempuan untuk berkarier di dunia jurnalistik yang masih menjadi hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi kepada Fifi yang kini merupakan seorang ibu dan juga Kepala Divisi Corporate Communication MetroTV. Ia mengatakan bahwa orang-orang di sekitarnya sering mempertanyakan komitmen Fifi terhadap keluarga maupun pekerjaan.

“Dari keluarga ada yang bilang, ‘Aduh, enggak kasihan ya, itu anaknya masih bayi ditinggal liputan, ditinggal kerja sampai malam, atau bangun pagi-pagi, jam 3 sudah berangkat.’ Saya jadi berpikir, apakah yang saya lakukan ini benar? Apa saya ibu yang baik?” ujarnya.

Fifi berkata bahwa isu tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang harus jurnalis perempuan hadapi. Meskipun begitu, ia tidak berhenti bertanya-tanya, “Memangnya tidak bisa terus menjadi jurnalis? Tapi, saya juga ingin tetap menjadi istri dan ibu. Memang kenapa sih, saya harus memilih?’” lanjutnya.

Desi Anwar, jurnalis senior dan Direktur CNN Indonesia TV, mengatakan, perempuan di dunia media dan jurnalistik selalu dituntut untuk memilih antara dunia kerja maupun keluarga.

“Pada satu titik, jurnalis perempuan harus menjawab pertanyaan yang tidak harus dijawab rekan lelaki mereka, seperti ‘Apakah saya harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kalau sudah berkeluarga? Apakah saya akan dianggap bukan ibu yang baik kalau kerja terlalu lama di kantor?’” kata Desi dalam diskusi virtual yang sama.

Bagi Desi, pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan banyaknya hal yang harus para perempuan korbankan ketika memasuki dunia jurnalistik.

“Mungkin pada akhirnya, di semua jenis pekerjaan, ini adalah pilihan: ‘Apakah saya bersedia memiliki waktu kerja seperti ini? Apakah saya siap dengan keterbatasan waktu kerja ini?’ Semua berujung kepada pilihan-pilihan itu. Dan sayangnya, perempuan lah yang harus lebih sering menanyakan hal-hal itu dibandingkan laki-laki,” ujar Desi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa

Pentingnya Kantor Media Dukung Jurnalis Perempuan

Diskusi virtual @america spesial Hari Perempuan Internasional ini menunjukkan bahwa masih banyak batasan, norma, dan bias yang mengharuskan perempuan untuk berjuang lebih keras dibandingkan laki-laki dalam menjadi jurnalis.

Namun di sisi lain, ketiga narasumber di atas merupakan contoh perempuan yang berhasil menerobos glass ceiling dan menjadi pemimpin di medianya masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya harapan bagi para perempuan untuk mengikuti jejak mereka di masa depan.

Dari segi demografi sendiri, Desi menekankan bahwa Indonesia termasuk yang memiliki banyak jurnalis perempuan, terutama di dunia siaran. Ia juga meyakinkan peserta diskusi bahwa posisi senior di media-media Indonesia kini malah banyak diduduki perempuan.

“Media broadcast merupakan lingkungan yang cukup kondusif dan suportif bagi perempuan untuk menonjol. Buktinya, jurnalis-jurnalis senior dan prominen di Indonesia sekarang rata-rata adalah perempuan,” ujar Desi.

Peningkatan ini telah Desi lihat sejak awal ia memulai kariernya di RCTI pada tahun 1990. Pada saat itu, RCTI adalah stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.

“Belum ada redaksi ketika saya mulai kerja di sana, hanya ada beberapa orang,” kata Desi.

“Saya merupakan salah satu yang mendirikan newsroom, dan saya juga pembawa acara pertama di RCTI. Banyak fase trial and error pada saat itu karena saya kurang tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya sambil terkekeh.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Desi beralih ke MetroTV, Fifi Aleyda Yahya menjadi salah satu pembawa acara yang ada di bawah pimpinannya. Fifi mengawali kariernya di TVRI setelah lulus kuliah.

“Setelah itu saya menikah, hamil empat bulan, dan masuk ke MetroTV,” kata Fifi.

“Dari situ, terasa betapa pentingnya lingkungan kerja yang mendukung kondisi saya [sebagai perempuan],” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Read More

Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Dalam bidang jurnalistik, perjalanan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih panjang. Hal ini dinyatakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tepat setahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan Internasional dalam diskusi bertajuk “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara”. Dalam diskusi tersebut, dikatakan bahwa jurnalis perempuan Indonesia hanya sekitar 30 hingga 35 persen dari total jurnalis profesional yang ada.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan memang masih kalah unggul dibanding laki-laki. Akan tetapi, kiprah mereka di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Dalam catatan sejarah, beberapa jurnalis perempuan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Selain itu, ada pula dari mereka yang tidak gentar berpartisipasi dalam kritik terhadap pemerintah selama Orde Baru, dan berdedikasi dalam pekerjaannya hingga menduduki posisi-posisi penting di redaksi.

Berikut ini rekam jejak sejumlah jurnalis perempuan di Indonesia yang perlu kita ketahui untuk memahami seberapa signifikannya peran jurnalis perempuan.

Peran Jurnalis Perempuan Era Pra-Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, berbagai surat kabar berbahasa Indonesia telah muncul dan beredar di masyarakat. Surat kabar ternama seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Sinar Matahari, hingga Suara Asia terbit sebagai usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, yang sering luput dari pengetahuan umum adalah keberadaan surat kabar Sunting Melayu yang didirikan oleh Rohana Kudus, salah satu pahlawan nasional Indonesia kita.

Terbit di Padang pada tahun 1912, Sunting Melayu merupakan surat kabar yang memuat tulisan-tulisan perempuan dan yang keseluruhan redaksinya dipegang oleh perempuan. Menurut Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, pergerakan kemajuan kaum perempuan di Indonesia semakin melesat berkat gagasan-gagasan Rohana dan perempuan lainnya dalam surat kabar tersebut.

Aspek yang patut digarisbawahi dari isi Sunting Melayu, menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Seabad Pers Perempuan, adalah ketidakgentaran Rohana dalam menulis berita politik. Di bawah pengawasan pemerintahan kolonial, ia menulis bagaimana perempuan berhak mengikuti gerakan politik bersama para laki-laki dalam melawan penjajah.

Rohana pun turut menyadur tulisan-tulisan di luar Sunting Melayu tentang nasib perempuan di negara lain untuk menunjukkan kondisi dan keadaan mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.

Apabila kita berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran S.K. Trimurti dan Ani Idrus. Berkat rekam jejak mereka, peran jurnalis perempuan terhadap kemajuan bangsa tidak terbantahkan lagi.

S. K. Trimurti, yang pada akhirnya menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pertama, merupakan seorang guru dan jurnalis yang gencar menggaungkan pesan anti-kolonial dalam pidato, ajaran, dan tulisan-tulisannya. Karya-karyanya mendorong Trimurti berkali-kali dipenjara oleh pemerintah Belanda dan Jepang.

Dalam tulisan Ipong Jazimah di Jurnal Sejarah dan Budaya, terlihat bahwa pada masa itu masih sangat tabu bagi perempuan untuk mengikuti aktivitas politik. Namun, Trimurti bersikeras masuk Partindo pada tahun 1933 demi mempelajari politik, dan tidak lama kemudian ia pun mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia untuk memberikan pembelajaran politik kepada perempuan lainnya.

Sementara itu, pemikiran Ani Idrus mengenai perempuan modern juga sama pentingnya. Tulisan-tulisan Ani Idrus, menurut Suriani dalam Jurnal Humanisma, berisi pernyataan bahwa perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ani Idrus banyak membahas norma-norma serta stigma di masyarakat yang membatasi perempuan, seperti yang terlihat dari posisinya sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di Pewarta Deli. Menyusul modernitas yang tumbuh dari Politik Etis pemerintah Belanda, Ani Idrus mengingatkan masyarakat Indonesia, terutama para perempuan, untuk menyesuaikan diri dan tidak melepaskan budaya Timur sepenuhnya.

“Kita (perempuan) harus maju, modern, tetapi modern yang tidak merusakkan,” ujarnya.

Di samping ketiga nama ini, masih ada jurnalis-jurnalis perempuan ternama lainnya yang turut membangun kesadaran bangsa, seperti Siti Soendari dan Herawati Diah.

Kiprah Jurnalis Perempuan Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, berkembangnya industri media yang menguntungkan dunia jurnalistik juga disertai dengan ancaman terhadap kebebasan pers, terutama di zaman Orde Baru.

Pada saat itu, S.K. Trimurti masih ada di garda depan dan ikut menandatangani naskah Petisi 50 yang berisi kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sementara itu, Ani Idrus menjadi penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Adapun Linda Tangdiala menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi yang membawahi setidaknya 30 jurnalis perempuan di Harian Bisnis Indonesia. Selain itu, ada juga peran Yuli Ismartono yang tidak berhenti meliput di wilayah peperangan untuk Tempo sebelum akhirnya rezim Orde Baru membredel majalah tersebut pada tahun 1993.

Baca juga: Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Usaha para jurnalis perempuan di sepanjang sejarah Indonesia pun menjadi acuan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah dengan semangat juang yang sama di era reformasi. Rekam jejak jurnalis-jurnalis perempuan Indonesia yang ditorehkan sejak dahulu telah diteruskan dan dapat dilihat pada sosok-sosok seperti Maria Hartiningsih, Fransisca Ria Susanti, dan Hermien Y. Kleden.

Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia

Kini, semakin banyak jurnalis perempuan yang kita temui di media sehari-hari. Namun, tantangan yang mereka hadapi tetap sama. Data yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen dalam pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hak-hak yang seharusnya mereka miliki di ruang kerja belum terpenuhi.

Gaji jurnalis perempuan masih di bawah standar Upah Layak Jurnalis di tiap kota. Masih banyak perusahaan yang belum memberikan cuti haid; bahkan di beberapa daerah, perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan. Di samping itu, ruang khusus menyusui juga belum banyak ditemukan.

Terlepas dari meningkatnya rasio perempuan yang menjadi jurnalis, hanya enam persen dari mereka yang dapat menduduki jabatan tinggi atau posisi pengambil keputusan di ruang redaksi. Masalah ini belum berubah dalam riset Stellarosa dan Silaban dalam Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis pada tahun 2018, yang menambahkan bahwa isu pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan masih sering diabaikan.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini memberikan pendapat senada dengan hasil riset tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan AJI tahun lalu, ia mengatakan bahwa salah satu rekan jurnalisnya bahkan dilecehkan oleh aparat negara.

“Saat dia liputan demo, [dia] dikejar-kejar dan dilecehkan,” kata Endah seperti dikutip dari Suara.com.

Di samping itu, Endah mengungkapkan pula bahwa jurnalis perempuan yang sudah berkeluarga sering kali dipindahkan ke bagian soft news seperti gaya hidup dan busana alih-alih politik atau hukum. Pasalnya, divisi-divisi yang terakhir disebutkan itu dianggap lebih “berat” bagi mereka.

“[Jurnalis perempuan] dipindahkan bukan karena kapabilitas, tapi karena sudah punya anak,” ujar Endah.

Data di atas merupakan pekerjaan rumah negara; pekerjaan rumah yang belum selesai bertahun-tahun lamanya. Untungnya, organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) telah terbentuk untuk membantu kebutuhan perempuan di dunia jurnalistik.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Masih sulit untuk mengetahui kapan perubahan signifikan akan terjadi. Namun, setidaknya setiap usaha menunjukkan bahwa semangat perjuangan Rohana dan kawan-kawan perempuannya tetap ada dan semakin menguat.

Radhiyya Indra, dengan buku Murakami di tangan, Maya Deren di laptop, Velvet Underground di telinga, dan album K-Pop di rak buku, menghabiskan waktunya dengan menulis hingga sakit kepala.

Read More