Kehilangan Kerja karena Jejak Digital, Ini Tips Membersihkannya
Mendaftar pekerjaan baru buat lulusan anyar bisa jadi memakan waktu lama. Sebab, ini melibatkan rentetan proses, dari membuat surat lamaran, tes psikologi, wawancara hingga berpartisipasi dalam proses penilaian baik langsung maupun daring.
Dalam prosesnya, perusahaan tempat kamu melamar bisa saja melakukan pemeriksaan terhadap jejak digitalmu.
Di belakang layar, 80 persen perusahaan dan agen rekrutmen menggunakan konten media sosial sebagai bagian dari penilaian kecocokan kandidat. Berperilaku terbuka di dunia maya mengenai kondisi kesehatan, masalah kecanduan atau kehamilan dapat mempengaruhi derajat kesuksesan ketika melamar pekerjaan. Sama halnya dengan profil pengguna yang menunjukkan pandangan memihak, gaya hidup yang tidak umum, atau kebiasaan berpesta secara berlebihan.
Ketika sudah mulai bekerja, pegawai bisa saja menghadapi tindakan disipliner hingga pemecatan karena perilaku mereka di media sosial, bahkan ketika mengunggah konten di luar jam kerja sekali pun. Membocorkan informasi sensitif walaupun tidak disengaja -— seperti rahasia dagang, properti intelektual dan detail personal rekan kerja –- dapat menjadi ancaman keamanan bagi organisasi. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan kehilangan keuntungan kompetitif, reputasi, dan kepercayaan klien.
Gambaran jelas dari ancaman keamanan ini misalnya terlihat dari unggahan dua orang personel Angkatan Laut Inggris yang membagikan aktivitas intim mereka di markas nuklir bawah laut lewat media sosial pornografi OnlyFans. Keduanya mendapat hukuman disipliner.
Tim kami menyelidiki bagaimana jejak digital pekerja dapat merugikan diri mereka maupun perusahaan tempat mereka bekerja. Melalui wawancara ekstensif dengan 26 orang, kami menemukan, banyak dari responden yang kesulitan untuk mengingat dan menggambarkan keseluruhan jejak digital mereka, atau membayangkan bagaimana orang lain mungkin mengaitkan unggahan-unggahan mereka dan menarik kesimpulan yang tidak diduga.
Hal ini penting bagi anak muda yang memasuki pasar tenaga kerja. Pasalnya, mereka biasanya memiliki jejak digital yang masif dan berlangsung selama bertahun-tahun di berbagai platform. Jejak digital ini bisa saja merefleksikan versi diri mereka terdahulu, dan merupakan eksperimen dari identitas dan pendapat mereka selama mereka bertambah dewasa dan menemukan jati diri mereka.
Responden kami menyampaikan bagaimana mereka menghadapi tekanan teman sebaya (peer pressure) untuk berkomentar mengenai topik-topik yang tengah hangat, seperti mengenai Black Lives Matter dan #MeToo, walaupun tanpa keinginan untuk mengekspresikan pendapat mereka di ranah publik.
Sebagian lainnya menyatakan penyesalan atas pendapat yang mereka ungkapkan secara kasar seputar isu politik, ras, dan seksualitas – pendapat yang tampaknya dapat diterima sebagai remaja namun tidak elok dalam pandangan orang dewasa. Bertahannya konten online ini dapat mempengaruhi para anak muda ini dengan cara yang mungkin sulit dipahami oleh orang tua mereka, yang masa lalunya yang kelam cenderung disimpan rapat di album foto di bawah tempat tidur.
Baca juga: Mengapa Anak-anak Perlu Diajarkan Membangun Jejak Digital Positif?
Merapikan Jejak Digital
Membersihkan jejak digital secara teliti seringkali membuat orang kewalahan. Mereka kesulitan untuk mengingat apa yang pernah mereka unggah di berbagai kanal selama bertahun-tahun, dan menghindari merapikan media sosialnya – sambil berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa konten mereka membosankan dan tidak akan menarik perhatian orang lain.
Sebagian orang memilih untuk menghapus beberapa atau semua akun media sosial mereka. Tetapi, menghapus adalah kemewahan. Beberapa anak muda yang kami wawancarai merasa terdorong untuk memiliki eksistensi online melalui akun media sosial saat mencari pekerjaan – terutama untuk pekerjaan kerah putih – sehingga calon pemberi kerja dapat memeriksanya.
Visibilitas online membangun legitimasi dan menjadi representasi identitas – siapa kita, dengan siapa kita bergaul, serta aktivitas dan opini kita. Perlu diakui, identitas tersebut mungkin menampilkan sosok kita yang sudah “dibersihkan” dan dikonstruksi secara hati-hati dengan mempertimbangkan audiensi daring, namun begitu pula CV.
Perasaan bahwa pencari kerja harus memiliki visibilitas online menjadi kompleks ketika dihadapkan kepada upaya perlindungan diri. Salah satu responden kami, yang keluarganya mencari suaka di Inggris, menekankan bagaimana para pencari suaka menghadapi dilema:
Saya pernah bertemu dengan … orang-orang yang … lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. informasi yang mereka unggah di dunia maya akan langsung diburu, sehingga mereka berusaha menjauh dari segala bentuk media sosial … Akan tetapi mereka juga dihadapkan pada kebutuhan untuk muncul di dunia digital agar bisa berprogres … untuk menampilkan diri mereka, karena jika tidak orang-orang akan berpikir keberadaanmu tidak sah.
Baca juga: ‘Sharenting’ di Media Sosial: Hobi Orang Tua yang Ganggu Privasi Anak
Serupa, korban kekerasan domestik juga memiliki keinginan untuk menjauhi eksistensi di dunia maya demi menghindar dari kemungkinan dilacak oleh pelaku kekerasan.
Merapikan jejak digital memang melelahkan, tetapi penting untuk memasuki dunia kerja. Google dirimu sendiri. Minta teman dari temanmu untuk mencarimu secara daring dan lihat apa yang mereka temukan. Jika memungkinkan, hapus konten yang muncul yang membuatmu terlihat buruk. Jika kamu disertakan dalam konten yang diunggah oleh orang lain, minta mereka untuk menurunkannya. Lepaskan namamu dari tag (tanda) yang dibubuhkan temanmu. Jika semuanya gagal, putuskan koneksi online dengan mereka yang menandaimu pada saat-saat terburukmu, sehingga konten-konten tersebut tidak lagi terasosiasi dengan dirimu.
Jika terlalu banyak konten yang mengancam potensimu mendapatkan pekerjaan, perketat pengaturan privasimu sehingga pemberi kerja potensial tidak dapat melihatnya. Jika keanggotaan suatu media sosial memiliki kaitan dengan masa lalu yang tak lagi berhubungan denganmu – seperti akun OnlyFans -– lepaskan tanda dan menghapus akun adalah tindakan terbaik.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Wendy Moncur adalah Profesor bidang Computer and Information Sciences, University of Strathclyde.
Read More