Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan
Atlet senam perempuan Amerika Serikat Simone Biles baru saja memberi kabar mengejutkan kemarin di tengah perhelatan olahraga akbar Olimpiade Tokyo 2020. Perempuan kulit hitam kelahiran 14 Maret 1997 ini urung hadir dalam final tim beregu putri, (27/7) setelah penampilannya dinanti-nantikan publik mancanegara.
Setelah meninggalkan tim beregu putri sebelum final berlangsung, dan berujung pada diraihnya medali perak oleh tim AS, Biles berbicara kepada pers tentang keputusannya itu. Ia mengaku tidak sedang mengalami cedera fisik, tetapi ia merasa vault (salah satu manuver dalam senam lantai menggunakan meja lompat) yang dilakukannya masih kurang, dan Biles khawatir itu berdampak buruk terhadap performa timnya.
Sesaat sebelum Biles mundur, ia berencana melakukan Amanar, salah satu vault terpelik dalam senam lantai putri. Namun, ia gagal melakukannya dengan sempurna.
“Saya merasa lebih baik bila saya duduk di belakang dan berfokus pada mindfullness saya. Saya tidak mau tim berisiko kehilangan medali karena kesalahan saya,” kata Biles.
Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game
Simone Biles Peduli Isu Kesehatan Mental
Sebagai atlet senam perempuan Amerika yang prestasinya diakui dunia, Biles merasakan betul beban besar yang diembannya. Hal ini ditulisnya dalam sebuah unggahan di akun Instagram, @simonebiles, (26/7).
“Ini bukanlah hari yang mudah atau yang terbaik dari saya, tapi saya melaluinya. Saya benar-benar mengemban beban berat di pundak saya berulang kali. Saya tahu, saya mencoba mengabaikannya dan membuat tekanan itu tidak terlihat memengaruhi saya. Sialnya, kadang ini berat, hahaha! Olimpiade bukanlah hal remeh!” tutur Biles.
Dalam kesempatan lain, Biles juga mengakui betapa stresnya ia menjalani persiapan tampil di Olimpiade. Ia bahkan sempat gemetar dan sulit istirahat, suatu hal yang tidak pernah ia alami dalam kompetisi-kompetisi terdahulu.
“Saya mencoba keluar, bersenang-senang dan setelah pemanasan, saya merasa lebih baik. Namun begitu saya datang ke sini [arena kompetisi], saya merasa, tidak, mental saya tidak di situ. Saya perlu teman-teman tim saya melakukannya [melanjutkan kompetisi] dan berfokus pada diri saya sendiri,” kata Biles.
Pernyataan-pernyataan Biles ini menunjukkan betapa tinggi kesadarannya akan pentingnya kesehatan mental bagi orang-orang yang terus disoroti publik seperti dirinya. Dalam Huffingtonpost dinyatakan, Biles mengambil keputusan besar ini karena terinspirasi dari tindakan atlet tenis dunia asal Jepang, Naomi Osaka, yang juga menekankan hal serupa dalam dunia olahraga. Pada Mei 2021 lalu, Osaka pun sempat menarik diri dari kompetisi French Open dengan alasan mengutamakan kesehatan mentalnya.
Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri.
Ucapan-ucapan Biles lainnya kepada pers sehubungan dengan kesehatan mentalnya mengandung pesan besar nan menguatkan bagi orang-orang, tidak hanya di kalangan atlet, tetapi juga masyarakat secara umum.
“Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri,” kata Biles.
Atlet Senam Perempuan AS yang Ukir Sejarah
Meski banyak orang menyayangkan keputusan Biles, upayanya mengusung kesadaran akan kesehatan mental tersebut patut diacungi jempol, begitu pula sederet prestasi yang sudah diraihnya.
Britannica mencatat, Biles telah tertarik pada senam sejak berusia enam tahun. Sejak itu, ia mengasah minat dan bakatnya di bawah didikan pelatih Aimee Boorman dan dipayungi oleh Bannon’s Gymnastic. Capaian awal Biles mencakup medali emas dalam kategori floor exercise dan perunggu dalam kategori vault pada ajang Women’s Junior Olympic National Championships 2010.
Usaha dan determinasi Biles mengantarkannya kemudian pada capaian-capaian lebih membanggakan. Pada 2013, ia memenangi gelar all-around dalam kejuaraan senam dunia yang pertama kali dia ikuti. Tahun itu, ia menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang meraih gelar tersebut. Dua tahun berturut-turut setelahnya, Biles terus mencetak kemenangan di ajang serupa.
Kemenangan-kemenangan Biles ini membuatnya mengukir sejarah sebagai atlet senam Amerika (baik dari kategori laki-laki maupun perempuan) yang paling banyak mengantongi medali dari kejuaraan dunia. Tidak hanya itu, 10 medali emas dari kejuaraan dunia yang diraihnya juga menjadi jumlah paling tinggi yang pernah dicapai atlet senam perempuan dalam sejarah olahraga.
Pada November 2018, meski sempat mengalami masalah batu ginjal, Biles kembali menorehkan prestasi dengan memenangi enam medali dalam Kejuaraan Dunia di Doha, Qatar. Catatan gemilang ini dibuatnya setelah sempat hiatus dari kompetisi senam pada November 2016, dan baru kembali pada Juli 2018. Dilansir situs resmi Federasi Senam Internasional, keputusan Biles untuk mengosongkan waktu dari kompetisi senam tidak lepas dari keinginannya untuk lebih memperhatikan dirinya dulu dan menikmati masa sekarang.
Penulis autobiografi bertajuk Courage to Soar (2016) ini juga dikenal di dunia olahraga karena telah melakukan berbagai gerakan senam fenomenal yang akhirnya dikenal dengan namanya, “The Biles”. Vault ini merupakan pembaruan dari vault “Cheng”, yang terkenal sebagai salah satu vault paling sulit, dan dilakukan pertama kali oleh Biles dalam kamp seleksi Kejuaraan Dunia 2018. Keberhasilannya menampilkan vault ini dalam proses kualifikasi membuat namanya terpatri untuk manuver tersebut. Sampai Juli 2021, belum ada orang lain yang berhasil menaklukkan vault Biles ini. Selain vault, nama Biles juga diabadikan dalam gerakan di kategori balance beam dan floor exercise.
Di samping itu, belum lama ini Biles juga menaklukkan vault Yurchenko double spike yang dianggap sangat berbahaya sehingga tidak ada pesenam perempuan lain yang mencobanya. Risiko yang ditimbulkan bila vault ini gagal dilakukan adalah cedera leher atau kepala yang serius. Keberhasilan Biles melakukannya setelah 18 bulan tidak berkompetisi akibat pandemi viral di media dan semakin mengilapkan kariernya.
Kendati telah melakukan manuver sulit tersebut, juri memberinya nilai 6,6, poin yang di bawah ekspektasi Biles. Dalam berita The New York Times Mei lalu, terdapat spekulasi bahwa salah satu alasan juri melakukan hal itu adalah adanya perhatian terhadap masalah keselamatan para pesenam yang tidak semahir Biles. Dengan memberi nilai awal rendah, federasi diam-diam mendorong pesenam lain untuk tidak melakukannya. Ada juga dugaan bahwa hal ini terjadi lantaran ada kekhawatiran Biles terlalu jago sehingga ia bisa saja melenggang mulus di kompetisi mana pun, tidak seperti kompetitor lainnya.
Kendati ada kondisi seperti ini, Biles tidak ragu untuk kembali melakukan vault ini kemudian hari. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Karena saya mampu”.
Simone Biles Alami Kekerasan Seksual sebagai Atlet
Di balik catatan-catatan membanggakan Biles, rupanya atlet senam perempuan Amerika ini punya pengalaman kelam sebagai korban kekerasan seksual selama terjun di dunia olahraga.
Pada Januari 2018, The Guardian mewartakan, Biles menjadi salah satu korban kekerasan seksual dokter tim senam AS, Larry Nassar. Laki-laki ini telah divonis penjara 60 tahun akibat kasus pornografi anak, dan sudah melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 140 perempuan dan anak perempuan dengan modus perawatan medis.
Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar… Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.
Biles membuat pengakuan panjang lewat Twitternya yang mengundang banyak simpati. Melekatkan tagar #MeToo dalam unggahannya, Biles mengungkapkan, “Banyak dari kalian yang mengenal saya sebagai sosok periang dan energik, tetapi saya belakangan merasa sedikit hancur dan semakin saya mencoba bungkam, suara di kepala saya makin lantang terdengar… Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar. Percayalah saat saya berkata ini jauh lebih sulit untuk mengungkapkannya terang-terangan pada awalnya dibanding sekarang saat saya menuliskannya di atas kertas. Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.”
Perkara kekerasan seksual pada atlet senam perempuan seiring dengan seksualisasi terhadap mereka. Hal tersebut belum lama ini diangkat oleh para atlet senam perempuan dari Jerman yang memilih memakai longtards (dikenal juga dengan unitards), pakaian panjang yang menutupi tubuh atlet dan biasanya dipakai untuk alasan religius saja, dalam Olimpiade Tokyo 2020.
Dikutip dari Business Insider, aksi protes terhadap seksualisasi pesenam ini dimulai sejak April lalu saat atlet senam Jerman Sarah Voss mengenakan pakaian serupa di Kejuaraan Senam Artistik Eropa.
Dalam wawancaranya dengan BBC, Voss mengatakan aksi tersebut dilakukannya agar para pesenam muda lainnya merasa aman.
Read More