Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor
Alih-alih menerima dukungan emosional dari masyarakat, ibu tunggal justru menghadapi stigma perempuan penggoda yang melekat pada dirinya. Seolah-olah tanggung jawab mencari nafkah sekaligus membesarkan anak belum cukup berat untuk dipikul.
Hal ini dihadapi oleh Devina (37). Saat bekerja sebagai account executive di perusahaan konstruksi, ia menerima ketidakadilan dari lingkungan kerjanya. Kejadian itu terjadi pada 2014, berawal dari HRD Manager-nya yang menempel daftar seluruh nama karyawan untuk medical check up. Sayangnya, status pernikahan turut dicantumkan di sana.
“Setelah daftar itu ditempel, sekantor jadi heboh dan sikap mereka berubah. Sebenarnya saya enggak mengingkari status janda atau ibu tunggal, tapi kan enggak perlu diumumkan ke semua orang,” tuturnya pada Magdalene, (3/8).
Sejak hari itu, banyak rekan kerjanya yang menggoda dan mengirimkan pesan di BlackBerry Messenger tengah malam, bahkan ia berhenti diajak makan siang bersama.
Devina mengatakan, ia dapat menghiraukan rekan kerja yang posisinya setara, tapi tidak dengan atasannya. “Atasan saya berusaha melakukan pendekatan, padahal dia sudah beristri. Awalnya saya menghindar, lalu saya tanya maunya apa, dia bilang ingin jadikan saya istri kedua. Ya saya menolak,” ceritanya, yang kemudian dibebani pekerjaan dari atasan tersebut hingga mengganggu kehidupan pribadinya.
Ibu dengan satu anak yang saat itu masih balita ini diminta mengurus proyek besar. Situasi itu memaksanya menangani proyek secara langsung bersama atasannya, bahkan kebanyakan rapat diminta di atas jam kantor. Alasan dari atasannya, yakni klien yang menentukan jadwal dan demi perkembangan karier Devina.
Baca Juga: Sebuah Usaha Mendobrak Stigma, Cerita 3 Komunitas
Mengingat pekerjaannya saat itu, Devina menilai rekan kerja menganggapnya sebagai “paket komplet”, lantaran status pernikahan dan posisinya yang menuntut berpenampilan menarik dengan pakaian mini, makeup tebal, serta kepribadian akrab dengan semua orang.
“Rekan-rekan juga terlihat enggak suka dengan saya. Atasan saya itu loyal ke karyawan, tapi sejak tahu saya ibu tunggal, dia berhenti bersikap loyal ke yang lain. Mereka pikir dia hanya fokus ke saya, mungkin itu membuat mereka iri, jengkel, dan mengambil kesimpulan sendiri kalau saya godain dia,” ucap perempuan yang kini bekerja sebagai wirausaha. Ia menjelaskan, justru atasannya senang menghampiri mejanya.
Merujuk survei terhadap 7.500 karyawan penuh waktu oleh Gallup, sebuah perusahaan analisis dan penasihat di AS, perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dialami Devina merupakan alasan utama burnout dialami para pekerja.
Ketidakadilan ini termasuk bias, pilih kasih, menerima perlakuan buruk dari rekan kerja, hingga pemberian kompensasi yang tidak adil dan kebijakan perusahaan. Ikatan psikologis yang membuat pekerjaan bermakna akan rusak, ketika karyawan tidak memercayai rekan kerja dan atasannya.
Oleh karena itu, Devina memutuskan undur diri setelah mencoba bertahan selama setahun sejak kejadian tersebut. Hingga dia angkat kaki dari kantor sampai sekarang, tak pernah ada “maaf” dari HRD Manager atas kekeliruannya.
Perbedaan Perilaku pada Ibu dan Ayah Tunggal
Dalam keseharian, kita bisa melihat adanya bias perilaku masyarakat terhadap ibu dan ayah tunggal. Hal ini diutarakan oleh Marriage & Family Therapist dan Professor of Human Development and Family Science, Amanda Haire dan Christie McGeorge, dalam penelitian berjudul “Negative Perceptions of Never-Married Custodial Single Mothers and Single Fathers: Applications of a Gender Analysis for Family Therapists”.
Ayah tunggal dianggap memiliki sikap mengagumkan, karena memilih menghadapi tantangan dalam mengasuh anak sekaligus menyeimbangkan dating life. Sementara ibu tunggal diasumsikan harus mengasuh anak sebagai tanggung jawab atas perbuatan dan karakternya yang buruk sebagai individu, seperti kehamilan tidak diinginkan atau gagal mempertahankan hubungan.
Baca Juga: Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’
Bias tersebut turut dialami oleh Devina. Rekan kerjanya justru bersimpati dengan seorang ayah tunggal di divisinya.
“Dia tidak dianggap sebagai seseorang “berbahaya”, bahkan mereka bersikap baik dengannya. Terkadang, rekan-rekan perempuan memberikan makan siang dan menanyakan kabar anaknya,” ujar Devina.
“Kami sama-sama orang tua tunggal, bekerja di divisi Marketing, berpenampilan menarik karena tuntutan pekerjaan, dan bersikap humble. Tapi kenapa mereka enggak bisa memperlakukan saya seperti bapak itu?”
Sebagai masyarakat, kita memiliki peran dalam menghapus pandangan tersebut, karena baik ibu dan ayah tunggal memiliki kesulitannya dalam mengasuh anak. Tak hanya stigma pada ibu tunggal, pemikiran parenting pada perempuan bersifat natural dibandingkan laki-laki, secara tidak langsung telah meremehkan kemampuan mereka.
Pentingnya Dukungan Perusahaan
Perusahaan memiliki peran dalam menciptakan safe space untuk seluruh pekerjanya tanpa terkecuali, dan perlu membuat budaya kerja inklusif. Mengutip Harvard Business Review, perusahaan sebaiknya mempertimbangkan pemberian kompensasi terhadap orang tua tunggal, jika mereka diharapkan bekerja atau menghadiri acara kerja di luar jam kerja. Ini dikarenakan mereka perlu memberikan perhatian tambahan dalam mengatur pekerjaan.
Saat bekerja di perusahaan India selama dua tahun, Devina justru mengalaminya. Atasannya meminta ia mengecek dokumen selama 1 jam setelah jam pulang kantor, ia pun menerima upah tambahan sebesar 30 persen dari upah bulanan.
Baca Juga: Ibu Tunggal dan Pencarian Cinta Kedua
Selain itu, ia merasa perusahaan lebih toleran terhadap perannya sebagai ibu tunggal. “Terkadang saya datang agak terlambat dan atasan saya bisa memaklumi, katanya urusan saya lebih banyak daripada pekerja perempuan lainnya,” ucapnya.
Bagi Devina, perusahaan dapat memberikan dukungan pada ibu tunggal sesederhana memperlakukan mereka seperti pekerja lainnya.
“Kami enggak minta diperlakukan khusus, minimal perlakukan seperti pekerja lainnya. Dukungan juga enggak harus berwujud materi, dengan kata-kata dan perhatian sudah cukup,” ujarnya.
Ia berharap tidak ada perusahaan lain yang mengumumkan status pernikahan ke semua orang, sebagaimana dialaminya. “Setiap ibu tunggal kesiapannya berbeda, ada yang bersedia memberi tahu dan enggak, tergantung proses healing masing-masing. Jangan sampai kejadian itu membuat ibu tunggal semakin terpukul,” tutupnya.
Read More