Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

likeability trap – Keinginan untuk disukai orang lain cenderung muncul ketika berada di lingkungan baru. Ini mendorong seseorang untuk mempertanyakan kemampuan, penampilan, sikap, dan caranya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Di tempat kerja, keinginan tersebut menjadi tekanan bagi pekerja perempuan, yang disebut likeability trap. Celakanya, tekanan ini kerap kali membuat perempuan justru menjadi terhambat karena ada unsur bias gender di sini. Masyarakat menciptakan karakter perempuan sebagai sosok lemah lembut dan sopan, sedangkan laki-laki dikenal ambisius dan kompetitif.

Oleh sebab itu, dalam negosiasi upah atau meminta promosi jabatan, laki-laki dianggap tegas karena mampu mengekspresikan dirinya, dan percaya diri dalam menyuarakan hak yang pantas didapatkan. Namun, jika pekerja perempuan melakukannya dianggap menuntut dan ingin memerintah.

Jurnalis dan penulis asal Amerika Serikat (AS), Alicia Menendez, menjelaskan Goldilocks conundrum sebagai salah satu faktor perempuan terjebak dalam likeability trap. “Perempuan dianggap berkepribadian terlalu hangat atau dingin, dan keduanya tidak menguntungkan,” jelasnya kepada NPR.

Umumnya, perempuan yang berkepribadian terlalu hangat disukai rekan kerjanya, tetapi dinilai tidak cukup berkompeten dalam melakukan pekerjaan. Sementara, perempuan yang bersikap dingin, meskipun memiliki kemampuan memimpin, mereka dilihat terlalu kuat, tegas, menuntut banyak hal, dan pandai melobi. Karena itu, mereka diminta agar tidak terlalu dominan.

Artinya, di lingkungan kerja perempuan sulit menunjukkan citra diri yang sebenarnya, karena menyesuaikan tuntutan orang-orang di sekitar. Pun ketika perempuan memiliki jabatan tinggi, cenderung dikritik dan disalahkan karena perempuan dinilai tidak perlu mengejar kesuksesan karier.

Namun, bukan berarti perempuan harus terjerat dalam likeability trap yang menahan perkembangan kariernya. Berikut kami merangkum beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Baca Juga: 6 Tantangan Perempuan Bekerja dari Dulu Sampai Sekarang

1. Pertahankan Integritas Diri

Studi berjudul “Negotiating gender roles: gender differences in assertive negotiating are mediated by women’s fear of backlash and attenuated when negotiating on behalf of others” (2010) oleh akademisi asal US, Emily Amanatullah dan Michael Morris menunjukkan penemuan terhadap perempuan penurut.

Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan yang cenderung meminta maaf dan tunduk, hanya melemahkan diri mereka sendiri. Karena itu, integritas perlu dipertahankan melalui nilai-nilai dalam diri, misalnya dengan bertanggung jawab, berbicara dengan konsisten, menjaga pembicaraan, menghindari sikap defensif dan menyalahkan orang lain, serta mampu mempertahankan argumen.

“Integritas artinya jujur pada diri sendiri, dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan diri,” ujar Dr. Kavita Makan, seorang reumatologi asal Bara, Nepal, kepada The Daily Vox. Dengan membangun integritas, kepercayaan yang merupakan kunci kesuksesan dan kepemimpinan juga dapat dipertahankan.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

2. Bangun Koneksi dengan Rekan Kerja

Memupuk kepercayaan dan dukungan dari rekan kerja dapat dilakukan lewat membangun koneksi dengan mereka. Mengutip Forbes, kemanusiaan merupakan fondasi kuat sebagai dasar kepemimpinan dan relasi.

Dengan membuka diri, rekan kerja mengetahui karakter, keinginan, dan aspirasi lawan bicaranya. Pun sebaliknya, mendengarkan kisah mereka menunjukkan kepedulian dan keinginan untuk memahami, sekaligus melatih empati dan menguatkan kecerdasan emosional.

Terlepas dari penilaian mereka yang tidak bisa diubah, setidaknya dapat dipengaruhi melalui cara berpikir dan perilaku. “Nantinya, Anda akan menemukan rekan yang dapat dipercaya, mampu melihat kemampuan dan nilai dalam diri Anda, serta memberikan pandangannya tentang apakah kepribadian Anda benar seperti dikatakan rekan-rekan kerja tersebut,” kata Menendez.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

3. Kesalahan Bukan pada Anda

Adanya bias gender membuat perjalanan mencapai kesuksesan karier lebih sulit bagi perempuan. Tak dimungkiri, bias tersebut memengaruhi cara berpikir dan bersikap sebagian orang, sehingga timbul kesan tidak suka melihat perkembangan perempuan yang signifikan.

Menurut Menendez, perempuan dapat mendorong tanggapan yang konkret dan lebih subjektif. “Ketika disebut terlalu vokal misalnya, tanyakan dengan siapa kita dibandingkan, apakah ada rekan kerja lain yang bisa memberikan saran lebih baik, atau meminta diberikan seseorang yang patut dicontoh dalam bekerja,” ujarnya.

Dengan demikian, seseorang yang mengkritik secara subjektif akan mempertimbangkan dirinya bias atau tidak. Karena itu, berusahalah untuk tidak menginternalisasi hingga menyalahkan diri sendiri. Pun terdapat gambaran lebih besar yang perlu diperhatikan dan dilakukan, yakni pekerjaan dan tujuan yang ingin dicapai.

4. Tidak Perlu Merasa Kecil

Rekan kerja yang tidak menyukai mungkin akan bersikap mengintimidasi. Namun, tidak seharusnya mereka memengaruhi kinerja. Justru gunakan kekuatan yang dimiliki dalam memberikan kontribusi bermakna, untuk membuktikan adanya kapabilitas diri dalam meraih kesuksesan karier. 

Joan C. Williams, seorang penulis, feminis, dan profesor hukum, mengutarakan opininya dalam New York Times. Menurutnya, perempuan harus berperilaku asertif dan apa adanya, untuk melihat apakah menjadi dirinya sendiri memicu ketidaksukaan dari rekan kerja. Dengan demikian, ada kemungkinan perempuan akan didengar, dilihat sebagai sosok yang tegas dan berani.

Namun, apabila itu penyebab ketidaksukaan, perempuan dapat memutuskan langkah selanjutnya, apakah ia ingin menjadi dirinya sendiri atau “berlindung” di balik tuntutan rekan kerja. Pun Menendez menyebutkan, perempuan sebaiknya mempertimbangkan perkembangannya di tempat kerja tersebut. Apabila ingin bekerja secara maksimal, lebih baik mereka mengutamakan tempat kerja yang mendukung dirinya berperan sebagai diri sendiri.

Read More