Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa
Hal pertama yang dilakukan Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, begitu ia bekerja di media daring tersebut adalah membuat Standard Operational Procedure (SOP) dan stylebook mengenai pembuatan konten berita yang berperspektif gender. Salah satunya, Uni melarang penggunaan embel-embel kata “cantik” ketika menyebut profesi perempuan dalam berita—sesuatu yang kerap kali dilakukan oleh media.
Menurutnya, itu merupakan usahanya untuk meredefinisi sosok perempuan yang selalu disoroti aspek ketubuhannya, dan representasinya cenderung berbalut stigma dan seksisme di media massa.
“Misalnya, waktu ada kasus prostitusi yang menimpa seorang aktris, saya dan beberapa perempuan pemimpin redaksi (pemred) merasa tidak sreg dengan cara media memberitakannya, karena cenderung menjatuhkan perempuan,” ujar Uni dalam panel hari kedua ‘Women Lead Forum 2021, yang diselenggarakan oleh Magdalene dan didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia, Kamis (8/4).
Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin
Uni juga menyoroti minimnya representasi narasumber perempuan yang diwawancarai jurnalis. Dalam konteks global, keterwakilan narasumber perempuan di media hanya mencapai 24 persen, ujarnya.
“Ini karena di era digital ini, jurnalis semakin dituntut dari segi kecepatan membuat berita, sehingga mereka cenderung memilih untuk mewawancarai narasumber yang sudah ada, yang mayoritas adalah laki-laki. Padahal, ada banyak sekali perempuan yang kompeten untuk diwawancarai,” ujarnya.
Tak cukup dari kebijakan media, menurut Uni, perspektif gender itu juga harus dimiliki oleh setiap perusahaan agar representasi perempuan bisa meningkat di berbagai sektor publik.
Baca juga: Jumlah Bukan Jaminan, ‘Newsroom’ Ramah Perempuan Masih Angan-angan
“Banyak lembaga yang tidak menempatkan perempuan di level pembuat kebijakan, sehingga sulit untuk diwawancarai media. Jurnalis kan diajarkan, kalau bisa wawancara petingginya langsung. Tapi perempuan di jajaran C-level belum banyak,” katanya.
Terkait masih tidak seimbangnya proporsi perempuan jurnalis dan pemimpin di perusahaan media, Uni mengatakan, bahwa masih ada norma dan budaya yang menghambat perempuan jurnalis dalam meniti kariernya, seperti beban domestik dan pola kerja yang tidak ramah perempuan.
“Ada ekosistem yang harus dibangun untuk mendukung perempuan mencapai posisi tinggi di kantor media, yaitu dari keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Misalnya, dulu saya sering harus pulang jam 12 malam. Mungkin tetangga nanya, ini kerjanya apa? Jika punya pasangan yang tidak mendukung, pasti tidak boleh,” ujarnya.
Konsumen Punya Daya untuk Mengubah Media
Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani, menilai bahwa persoalan representasi perempuan di media ini ibarat ayam dan telur. Di satu sisi, media merefleksikan budaya masyarakatnya. Tapi di sisi lain, media akan mengukuhkan kondisi masyarakat yang patriarkal.
Bukan hanya dalam berita, konten-konten hiburan seperti film dan video games pun menggambarkan perempuan lewat male gaze atau perspektif maskulin, di mana perempuan hanya dilihat sebagai objek seks, ujar Devi.
“Kita tidak bisa hanya menyasar jurnalisnya, karena banyak sekali jurnalis-jurnalis yang sudah dapat pembekalan soal gender, tapi begitu kembali ke newsroom, mereka akan berhadapan dengan redaktur-redaktur yang tidak punya perspektif gender ini. Tulisannya diubah jadi mengobjektifikasi perempuan lagi dan lagi,” ujarnya.
Menurut Devi, salah satu langkah yang bisa dilakukan media adalah dengan menguatkan perspektif gender khalayaknya melalui konten-konten maupun kampanye dari media itu sendiri. Hal itu kemudian akan melahirkan tuntutan bagi media-media lain untuk memperbaiki cara mereka merepresentasikan perempuan.
“Sering kali, media-media yang kontennya mendapatkan kritik dari masyarakat karena seksis dan tidak adil itu akhirnya mengubah kontennya. Magdalene sendiri punya sebuah kampanye bernama #WTFMedia, yang aktif meng-call out media-media yang menggambarkan perempuan secara tidak adil. Itu bersambut baik dari audiens kami,” tambahnya.
“Konsumen media harus mengetahui bahwa mereka layak mendapatkan yang lebih baik dan mengonsumsi media yang tidak mengeksklusi kelompok lain, atau gender tertentu. Konsumen harus lebih banyak menuntut media untuk berubah,” ujarnya.
Baca juga: Jurnalis Diminta Berempati pada Penyintas Kekerasan Seksual
Redaktur dan Petinggi Media Harus Punya Perspektif Gender
Direktur Pemberitaan Media Group, Usman Kansong mengatakan, literasi gender dalam kantor berita masih kurang, bahkan di kalangan redaktur perempuan sendiri. Untuk itu, ia mendorng media agar menanamkan perspektif gender dalam diri para redaktur dan petinggi-petinggi lainnya.
“Saya pernah minta agar media saya mengangkat isu soal sunat perempuan. Tapi akhirnya malah berdebat keras, karena teman-teman redaktur perempuan sendiri banyak yang mempertanyakan. Padahal, mereka seharusnya bisa memberi teladan, mengajak teman-temannya berdiskusi tentang pentingnya perspektif gender,” ujar Usman, yang juga salah satu pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Menurut Usman, hal lain yang penting diperhatikan dalam menanamkan perspektif gender di media adalah dengan meningkatkan kinerja pengawasan dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Usman menilai, kedua lembaga tersebut belum berfungsi optimal dalam menanamkan perspektif gender.
“Misalnya, KPI menyensor bagian tubuh atlet loncat indah yang pakai baju renang. Perempuan yang memang pasti pakai baju renang, masa disensor? Alih-alih mengadvokasi isu gender, mereka malah jadi lebih banyak melarang,” kata Usman.
Sependapat dengan Usman, Uni berkomentar, “Saya sering kritik panel-panel Dewan Pers yang sering lupa menempatkan narasumber perempuan.”
Menurut Usman, dalam tatanan kode etik, Dewan Pers memang sudah mengimbau dengan baik. Tapi masih banyak koran-koran kuning yang sering melecehkan perempuan dalam berita-beritanya, yang tetap dibiarkan beroperasi, ujarnya.
“Dewan Pers harus sering-sering berdiskusi supaya perspektif gender mereka jadi terang menderang di media. Supaya mereka lebih peduli pada konten-konten media yang melanggar perspektif gender dan mendukung pengarusutamaan gender. Jadi jangan hanya menunggu ada laporan masuk,” tambah Usman.
Read More