sunday scaries cara mengatasinya

Di Balik Rangkap Jabatan Pemerintah, Ada Gen Z yang Jadi Pengangguran Tetap

Amarah “Farhan”, 25, memuncak saat melihat perbincangan daring soal rangkap jabatan di pemerintahan. Menurut laporan Tempo, 30 Wakil Menteri aktif saat ini juga merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satunya adalah Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yang kini turut menjabat Komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. 

Kegeraman Farhan bukan tanpa alasan. Sudah dua tahun ia menganggur sejak lulus S2. Lebih dari 250 lamaran kerja dikirimkan, tapi semua berujung pada penolakan. 

“Pernah merasa enggak capable karena enggak dapat kerjaan terus,” ujarnya pada Magdalene (15/7). 

Ia bahkan sempat vakum selama tiga bulan dari kegiatan melamar pekerjaan karena merasa tak ada gunanya. Namun, setelah merefleksikan ulang, Farhan mulai memahami bukan dirinya yang bermasalah, melainkan kondisi pasar kerja yang kian menyempit. 

Kayaknya emang lagi susah semua, deh.” 

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z 

Situasi serupa dialami “Yasmin”, 25. Meskipun sudah pernah bekerja, ia sudah sembilan bulan menganggur sambil mencari posisi baru. Namun, ia terus terbentur batasan usia pelamar yang tidak masuk akal. Naik ke posisi lebih tinggi juga belum mungkin karena pengalaman kerjanya yang baru 2–3 tahun dianggap belum cukup. 

“Lowongan yang fit dengan experience dan benefit yang pas tuh dikit banget. For us, yang masih ingin explore new things in this age, kadang batas usia juga jadi halangan,” katanya. 

Farhan dan Yasmin cuma segelintir contoh Gen Z yang sulit cari kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7.465.599 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen atau 5.188.781 orang adalah Gen Z—mereka yang berusia 15–29 tahun. 

Katadata mencatat mayoritas Gen Z yang menganggur, sedang aktif mencari kerja. Mereka tidak sedang menunggu, apalagi berpangku tangan. Bahkan dalam kategori BPS, kelompok ini terbagi menjadi tiga: Mereka yang menganggur dan aktif mencari kerja, yang pesimistis akan mendapat kerja, serta yang sedang mempersiapkan usaha. Namun, 78,6 persen dari mereka adalah pencari kerja aktif. 

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI turut menegaskan: 1 dari 10 Gen Z yang termasuk angkatan kerja saat ini sedang menganggur. Mereka yang hanya lulusan SMA dan SMK menjadi kelompok dengan angka pengangguran tertinggi. Jumlahnya mencapai lebih dari separuh dari total pengangguran Gen Z. Artinya, akses ke pendidikan tinggi tidak otomatis menyelesaikan masalah, tapi justru bisa memperumitnya. 

Baca juga: Yang Muda, Yang Tak Kerja: Apa Sebenarnya Penyebab Pengangguran di Indonesia? 

Negara Gagal Buka Jalan tapi Beri Karpet Merah untuk Elite 

Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), ada tiga faktor utama yang membuat Gen Z kesulitan masuk ke dunia kerja: Rendahnya upah, ketidaksesuaian sistem pendidikan, dan sistem politik yang menutup ruang. 

Pertama, soal upah. Bhima menyebut gaji yang ditawarkan di pasar kerja tidak sebanding dengan biaya hidup, apalagi investasi pendidikan yang dikeluarkan generasi ini. 

“Gen Z ini menghadapi dilema karena uang yang dihabiskan untuk kuliah, termasuk belanja bulanan, dengan lapangan pekerjaan yang tersedia enggak sesuai. Banyak sekali pekerjaan dengan upah di bawah upah minimum,” ujarnya. 

Farhan menghabiskan sekitar Rp30 juta per semester untuk kuliah S2. Jika dijumlahkan selama empat semester, ia harus membayar Rp120 juta. Itu belum termasuk ongkos hidup harian. Jika ingin “balik modal”, ia harus mendapat pekerjaan dengan gaji minimum Rp5–6 juta per bulan. Namun kenyataannya, lapangan kerja dengan gaji sebesar itu sangat langka, apalagi bagi lulusan baru. 

Data CELIOS pada 2024 menyebutkan ada 109 juta pekerja Indonesia yang digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Ini naik tajam dari 83 juta pada 2021. Sementara biaya hidup terus melambung. 

Kedua, soal pendidikan. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar menjadi penghambat besar. 

“Proses pembusukan kualitas di perguruan tinggi juga mengakibatkan apa yang dipelajari (di sekolah) dengan kebutuhan (pasar kerja) yang sudah sangat dinamis sekarang ini tidak bisa dikejar oleh para Gen Z,” jelas Bhima. 

Trade Union Rights Centre (TURC) menyebut, persoalan kurikulum ini diperparah dengan regulasi ketenagakerjaan yang belum sinkron dengan kebutuhan lapangan, serta sertifikasi pelatihan yang masih diragukan validitasnya. 

Mengutip Hukum Online, dalam sistem kapitalis, pendidikan cenderung mengikuti arah pasar, bukan kebutuhan masyarakat. Ini menjelaskan mengapa gelar tinggi tidak menjamin kerja, dan kenapa banyak lulusan akhirnya tetap menganggur. 

Baca juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi? 

Ketiga, yang tak kalah besar adalah watak kekuasaan. Bhima menyebutkan karakter militeristik pemerintahan Prabowo–Gibran turut mempersempit ruang kerja bagi Gen Z. Salah satunya lewat praktik rangkap jabatan yang merajalela di lembaga negara dan BUMN. 

Kayak food estate itu sekarang (isinya) TNI dan Polri. Gen Z pun akan susah masuk ke sana. Menekan upaya Gen Z (untuk dapat kerja) juga di pedesaan,” katanya. 

Laporan Imparsial menyebutkan pada 2023 ada 2.500 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Angka ini belum termasuk pejabat TNI dan Polri yang juga merangkap jabatan di sektor strategis. 

Selain itu, orientasi ekonomi rezim yang ekstraktif, berfokus pada pertambangan dan industri besar justru mengikis kesempatan kerja di akar rumput. 

“Ekonomi ekstraktif itu menjadi substitusi dari ekonomi yang dikerjakan oleh masyarakat yang ada di pedesaan. Contohnya yang tadinya bertani, akhirnya lahannya direbut tambang, akhirnya orang tuanya jual lahan, akhirnya anaknya nganggur, dan seterusnya.” 

Bagi Bhima, kondisi ini hanya bisa berubah jika Gen Z bersatu dan mulai menyuarakan tuntutan kolektif. Sayangnya, hingga kini, respons mereka masih individual dan terjebak pada narasi kegagalan diri dan masalah mental health semata. 

“Ini udah bukan urusan mental health atau masalah personal lagi,” tegasnya. 

“Perlu ada gerakan nyata yang berujung pada reformasi struktural. Selama itu tidak dilakukan, ke depan, dengan adanya bonus demografi, akan makin banyak Gen Z yang menyalahkan dirinya sendiri.” 

Read More