Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Akhir Mei lalu, seorang pengusaha meramaikan jagat Twitter dengan sebuah video yang diunggahnya di TikTok. Ia mengatakan bahwa karyawan yang kebanyakan izin sakit sebenarnya hanya ingin menyabotase perusahaan. Menurutnya, apabila seseorang masih bisa bangun, jalan, makan, dan naik motor, artinya bisa ke kantor. Ini mengindikasikan bagaimana kesehatan mental karyawan belum dianggap penting oleh pengusaha tersebut. 

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah tertera dengan jelas bahwa dalam mempekerjakan tenaga kerja, pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Sayangnya, UU tersebut belum diimplementasikan oleh banyak perusahaan dalam konteks kesehatan mental. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental Karyawan

Sejatinya, bekerja memiliki dampak positif untuk kesehatan mental seseorang. Alasannya, dengan bekerja, kita bisa mengaktualisasi diri selain mendapat upah untuk menunjang hidup. Bekerja juga membentuk struktur dan tujuan hidup seseorang yang membuat orang-orang termotivasi untuk melanjutkan hidup karena ada yang dikejar. Di samping itu, bekerja juga membuka kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain dan menjalin pertemanan, serta sebagai sarana untuk meningkatkan harga diri seseorang dengan dihargai oleh orang lain.

Namun, dalam situasi tertentu seperti lingkungan kerja yang toksik, terus bekerja justru menimbulkan tekanan hingga memicu gangguan kecemasan, dan depresi.

Di berbagai kasus, ada bos-bos menilai beban kerja seorang karyawan tak begitu banyak sehingga tidak akan ada risiko kesehatan apa pun yang akan muncul. Tapi,  masih ada faktor lain yang menyebabkan karyawan tidak bekerja sebagaimana biasanya, yang luput dari perhatian. Lingkungan kerja toksik yang mencakup interaksi dengan kolega yang buruk di kantor, budaya kantor yang minim apresiasi, tidak memperhatikan kebutuhan khusus karyawan per individu secara psikologis bisa menjadi faktor-faktor lain pemicu masalah kesehatan mental karyawan.

Kita ambil contoh, jika seorang pekerja menerima pelecehan atau dirundung oleh rekan-rekan kerjanya hingga ia merasa tak nyaman, sangat mungkin dia mengalami penurunan performa kerja. 

Masalah jam kerja juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Sebagian perusahaan memberlakukan jam kerja yang fleksibel. Hal ini jadi dua sisi mata uang. Di satu titik, jam kerja fleksibel memungkinkan karyawan memenuhi target kerjanya, terlebih bagi perempuan pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Adanya kebijakan jam kerja ini membuat mereka bisa mengatur kapan harus berhadapan dengan laptop atau ponsel untuk bekerja, dan kapan harus mengurus anak dan rumah. 

Tapi di titik lain, khususnya selama pandemi ini, jam kerja fleksibel juga berarti kita mesti siap dipanggil, rapat, atau mengumpulkan tugas kantor kapan pun. Sebagian orang masih mengisi waktu istirahat malamnya atau mengorbankan waktu main dengan anaknya karena perusahaan masih berorientasi pada hasil. Ujungnya,work-life balance karyawan pun jadi berantakan, dan ini berisiko pada penurunan kesehatan mentalnya. 

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kenapa Perusahaan Perlu Sadari Pentingnya Kesehatan Mental Karyawan?

Masih banyak pihak, termasuk perusahaan, yang perlu disadarkan bahwa kesehatan manusia tidak hanya dilihat dari fisik saja, tetapi juga mental. Kantor menjadi salah satu tempat yang memengaruhi kesehatan mental seseorang karena adanya beban kerja berlebih yang diemban para pekerja.

Saya sering menemukan sebuah kalimat yang sepertinya dijadikan pengingat oleh para pengguna Twitter, “kerja sewajarnya karena kalau sakit, mati, keluarga yang sedih. Kantor mah tinggal cari karyawan lagi.”

Terkadang, beban kerja memang sering membuat kita lupa dengan kesehatan. Mengerjakan sesuatu sesuai deadline seperti dianggap sebagai keutamaan, tak peduli alarm burnout si karyawan sudah berbunyi. 

Alih-alih terus melanggengkan kondisi memprihatinkan seperti ini, perusahaan punya peran penting dalam membuat kebijakan yang mendukung pemenuhan kesehatan mental karyawannya. Jika tidak, ujung-ujungnya perusahaan juga merugi. 

Selain performa karyawan tak optimal lagi sehingga kurang produktif, reputasi perusahaan yang tak peduli masalah kesehatan mental juga tercoreng. Belum lagi perusahaan mesti mencari karyawan baru bila karyawan lamanya tidak tahan lagi mengemban beban kerjanya dan memutuskan resign

Perusahaan juga dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental karyawan dengan menyosialisasikan cara mengelola stres serta cara berinteraksi dengan orang lain sebelum membuat keputusan terkait kerja.Komunikasi terbuka soal masalah mental pekerja dan inklusi menjadi kunci kesuksesan perusahaan, khususnya yang melibatkan kerja tim yang tinggi. 

Baca Juga: Diskriminasi di Tempat Kerja Hantui Orang dengan Gangguan Bipolar

Apa yang Perlu Dilakukan Perusahaan?

Jika seorang pekerja yang mengalami radang sendi langsung berobat ke dokter, mengapa saat dia mengalami burnout, depresi, dan kecemasan lebih memilih untuk menyimpan situasi tersebut pada diri sendiri dan terus memaksakan diri bekerja?

Bisa jadi mereka ragu untuk mengungkapkannya ke perusahaan karena khawatir tidak mendapat toleransi. Bisa jadi pula, masalah kesehatan mental di kantor hanya dikaitkan dengan kurangnya seseorang beribadah, terlalu ‘lembek’ saat diberi pekerjaan menantang, dan berbagai persepsi keliru lainnya.

Untuk mengubah kondisi itu, pihak perusahaan perlu membuat perubahan atau inisiasi kebijakan dalam menyikapi kesehatan mental karyawan. Mereka dapat membentuk ruang dengar untuk menerima keluh kesah pekerjanya dan memberikan fasilitas yang sama dengan kesehatan fisik. Bagi sebagian perusahaan, hal ini hanya membuang-buang anggaraan saja, padahal ditegakkannya kesadaran atas pentingnya kesehatan mental bisa berdampak positif dalam jangka panjang.

Sebuah regulasi dapat ditetapkan untuk mendukung kesehatan mental para pekerja. Misalnya, dengan membentuk Employee Assistance Program (EAP). Menurut sekelompok peneliti dari Illinois, Amerika Serikat, program ini berfungsi sebagai layanan pendampingan untuk membantu para pekerja dalam mengenal dan menyelesaikan permasalahan yang menghambat produktivitas kerja. Permasalahan yang pekerja hadapi sampai mengalami penurunan kesehatan mental bisa disebabkan oleh gangguan emosional, stres, kesehatan fisik, keuangan, keluarga, atau masalah pribadi yang memengaruhi kinerja.

Toleransi Perusahaan pada Karyawan Bermasalah Mental

Meskipun masih terganjal stigma, isu kesehatan mental semakin menjadi kesadaran masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dialami oleh Agni Larasati (40), yang berprofesi sebagai seorang pekerja media. Beban kerja yang berat di industri media membuatnya seperti tidak memiliki batasan antara kehidupan dan pekerjaan karena dapat dihubungi kapan pun.

Saat ia menyadari bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja, Agni memilih untuk menceritakan situasinya setelah hasil medis keluar karena saat itu, kondisinya tidak semua orang paham tentang kesehatan mental.

“Saya pergi ke psikiater dan melakukan sejumlah tes. Ternyata hasilnya memang buruk sehingga enggak bisa bekerja dengan kompeten untuk sementara waktu. Saya pun mengajukan resign karena kalau cuti tak berbayar, takutnya masih dihubungi kantor untuk urusan pekerjaan dan jadi beban untuk segera pulih,” tuturnya.

Agni mengatakan bahwa perusahaannya sempat memberikan beberapa opsi selain cuti tak berbayar, seperti diizinkan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan si pekerja saat itu. Namun, rehat dari seluruh aktivitasnya saat itu menjadi hal yang paling diperlukan.

Ia pun menyatakan bahwa perusahaannya justru memberikan dukungan untuk memulihkan kesehatan mental. “Dari kantor memang belum ada fasilitas kesehatan mental, tetapi mereka memberikan kelonggaran untuk mengatur jadwal pekerjaan dan ruang bagi pekerjanya untuk mengomunikasikan kondisi diri yang tengah dialami. Selain itu, kami juga bisa me-reimburse biaya konseling,” ceritanya.

Berdasarkan pengalaman Agni, tampaknya langkah baik memang sudah dimulai oleh beberapa perusahaan di Indonesia dengan memfasilitasi layanan EAP untuk para pekerja. Setidaknya hal ini telah dilakukan oleh Allianz, AirNav Indonesia, dan PTPN. Ketiganya menyadari bahwa di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh situasi pandemi, kesehatan pekerjanya semakin perlu diprioritaskan karena mereka adalah aset terpenting bagi perusahaan.

Bukan tanpa sebab, tapi korporasi yang melek dengan kesehatan mental dan berusaha untuk memberikan fasilitas, akan menciptakan pekerja yang sadar akan kesejahteraannya. Lingkungan pekerjaan pun menjadi lebih positif, serta mendorong dan memberdayakan mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja.

Read More

Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Sebagaimana isu kesehatan mental secara umum, kesehatan mental karyawan sering kali luput dari perhatian atau tidak dianggap penting. Bagi banyak perusahaan, akan lebih baik mengalokasikan anggaran atau membuat kebijakan terkait hal lain dibanding urusan kesehatan mental pekerja.

Padahal, kita mestinya menyadari bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Karena itu, kesadaran pentingnya kesehatan mental, termasuk pada karyawan, perlu digencarkan. Tidak hanya pada momen Hari Kesehatan Mental Dunia yang dirayakan pada bulan Oktober, tetapi juga dalam keseharian di tempat kerja.

Diperkirakan satu dari empat orang di seluruh dunia mengalami problem kesehatan jiwa pada satu titik dalam kehidupan mereka. Angka ini saja mungkin sudah mengkhawatirkan, tetapi tidak mencerminkan secara memadai penderitaan manusia, isolasi, hilangnya produktivitas, hambatan bagi pembangunan manusia, dan pembangunan umum bagi negara.

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

Kesehatan mental yang buruk bisa mengisolasi, meletihkan dan kadang-kadang memicu kematian. Tetapi dampak buruk ini tidak hanya dirasakan perseorangan saja. Ini juga bisa berefek dan memakan korban lebih luas dalam organisasi dan bisnis di seluruh dunia.

Kita mungkin berpikir bahwa dunia korporat tentu gesit dalam menangani isu yang mengancam pertumbuhan dan laba. Namun, walau fenomena kesehatan mental karyawan yang buruk menguras perekonomian melalui seringnya kemangkiran dan biaya perawatan kesehatan, tabu yang tak kunjung hilang di sekitar kesehatan mental memperlambat ditemukannya solusi untuk dunia bisnis, persis yang terjadi di tingkat perorangan dan pemerintahan.

Keuntungan bagi Kantor yang Sadari Kesehatan Mental Karyawan Penting

Mestinya penanganan masalah kesehatan mental karyawan itu tidak sulit-sulit amat. Semakin banyak organisasi-organisasi di seluruh dunia yang kini mendukung investasi demi para pekerja yang sehat secara mental sebagai suatu langkah masuk akal untuk menciptakan bisnis yang baik.

Langkah ini bisa menurunkan biaya medis total, meningkatkan produktivitas, mengurangi jumlah hari-hari sakit, biaya ketidakmampuan, dan lain sebagainya. Dari perspektif investor dan pemimpin perusahaan hal itu sama saja dengan soal kinerja keuangan yang lebih baik dan reputasi yang mengemuka, dengan keuntungan tambahan pekerja yang lebih bahagia, lebih termotivasi dan lebih terlibat.

Baca juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Pada kenyataannya, tiap perusahaan sampai pada kesimpulan ini dari sudut yang agak berbeda. Sebagai bagian dari kerja Dewan Agenda Global untuk Kesehatan Mental dari Forum Ekonomi Dunia, 23 studi kasus keorganisasian korporat global tentang strategi-strategi kesehatan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis atas investasi para pemimpin korporat global dalam kesehatan mental di tempat kerja mereka tersebut tidak mengungkapkan adanya motivasi tunggal. Justru, beberapa cenderung bekerja dalam kombinasi.

  1. Pekerja yang sehat dan bahagia tenyata lebih produktif dan itu bagus bagi bisnis dan dengan demikian melindungi kesehatan mental karyawan adalah sesuatu yang sangat masuk akal bagi bisnis.
  2. Itu “hal yang benar” untuk dilakukan.
  3. Ada manfaat-manfaat yang jelas bagi organisasi dari keterlibatan dan loyalitas karyawan berkenaan dengan reputasi keorganisasian yang lebih luas.
  4. Mengelola biaya dan beban kesehatan yang buruk (termasuk kesehatan mental yang buruk) para karyawan adalah hal masuk akal.

Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan

Ada semakin banyak bukti tentang biaya ekonomi terkait kesehatan mental di tempat kerja. Ini bisa meliputi kemangkiran dan kehadiran—di mana staf menghabiskan waktu terlalu lama di tempat kerja walaupun sakit—maupun biaya lebih luas terkait keluarnya karyawan dan perekrutan karyawan baru.

Kami juga mempunyai semakin banyak bukti bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk menangani faktor-faktor risiko dan membangun ketahanan untuk mengatasi dan mengelola stres karyawan.

Berbagai studi kasus yang kami cermati menunjukkan adanya peningkatan tren di mana kesehatan mental ditangani sebagai bagian dari strategi kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan yang lebih luas. Berbagai prakarsa semakin terintegrasi dan dibangun di sekitar kesehatan yang positif, pencegahan dan pengenalan dini, di samping dukungan dan rehabilitasi ketika diperlukan. Jadi, apa sebetulnya yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut.

1. Perhatikan Fasilitas di Tempat Kerja

Salah satu langkah utamanya sering kali adalah memusatkan perhatian pada lingkungan kerja itu sendiri. Langkah itu bisa berupa tindakan sederhana seperti meningkatkan masuknya cahaya alami, udara segara dan membawa masuk tanaman. Kelembaman rutinitas kantor bisa dikurangi dengan membeli meja-meja berdiri—atau bahkan meja treadmill.

Corak dan penampilan tempat kerja bisa digeser dengan ruang-ruang pertemuan sosial, opsi-opsi makanan sehat di tempat kerja, area istirahat makan siang yang sesuai dan fasilitas olahraga diskon di tempat kerja atau di sekitarnya, dipadu dengan pengaturan kerja yang fleksibel untuk mendorong pemanfaatan fasilitas-fasilitas tersebut.

2. Jeda Melihat E-mail Pekerjaan Saat Karyawan Rehat

Hal berikut ini juga merupakan hal yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan untuk menangani stres terkait pekerjaan. Dalam hal ini pun mereka tampaknya bisa melakukannya dengan mudah, tetapi ternyata, tidak semua melakukannya.

Salah satu langkah yang sudah diperlihatkan untuk mengurangi secara signifikan tingkat stres karyawan selama cuti tahunan adalah memasang sistem email yang menghapus pesan ketika fitur out-of-office diaktifkan. Para pengirim email diberitahu agar mengirimkan pesan kembali setelah orang yang bersangkutan kembali dan penerima email tidak pulang dari berlibur untuk menyibukkan diri dengan tumpukan email.

3. Terapi Hewan Peliharaan

Di lain sisi, beberapa bisnis korporat besar berinisiatif mendatangkan para pelatih profesional untuk memberikan pelatihan personal dan kelompok. Mereka juga menyediakan ruang istirahat untuk tidur siang demi mengembalikan tenaga maupun kontemplasi karyawan yang tenang.

Para pemilik perusahaan bahkan bisa melibatkan peran hewan peliharaan sebagai bentuk terapi. Terdapat bukti kuat bahwa meluangkan waktu mengamati, mengelus, atau mengajak berjalan-jalan anak anjing atau peliharaan lainnya bisa menurunkan kadar stres secara signifikan.

4. Aktif Berkampanye dan Beri Pelatihan Kesehatan Mental

Strategi-strategi lain yang kami jumpai meliputi perusahaan yang berkomitmen dan mengumumkannya pada pekerja untuk menangani masalah-masalah kesehatan mental. Perusahaan juga dapat terlibat dalam kampanye-kampanye kesehatan mental seperti See Me, Time to Change atau Beyond Blue.

Sebagian perusahaan besar juga berinvestasi dalam pelatihan kesehatan mental di tempat kerja, termasuk tema-tema seperti mengelola kesehatan mental, pertolongan pertama pada kesehatan mental dan membangun ketahanan bekerja, serta kemampuan beradaptasi menghadapi tantangan.

Dalam 23 studi kasus korporat global, bermunculan strategi-strategi umum untuk menangani kesehatan mental di tempat kerja. Kerja yang fleksibel membuahkan hasil, seperti yang dilakukan kebijakan mengizinkan karyawan menukar gaji dengan cuti. Konseling, Terapi Perilaku Kognitif (CBT) dan praktik mindfulness juga berhasil.

Kantor Dorong Karyawan dengan Masalah Mental Cari Pertolongan

Sebuah lingkungan kerja yang terbuka terhadap isu ini sangatlah penting. Meningkatkan melek kesehatan mental dan para jago kesehatan mental bisa mendorong karyawan untuk bersuara dan minta pertolongan.

Entah itu sebuah usaha kecil atau perusahaan multinasional, menangani kesehatan mental yang buruk adalah keharusan di dunia saat ini. Studi kasus yang dirujuk di sini hanya merepresentasikan 23 bisnis korporat global, tetapi studi kasus itu juga merepresentasikan praktik-praktik yang bisa menghasilkan perbedaan.

Baca juga: Kerja Jarak Jauh Kian Populer, Tapi Potensi Stres Saat Melakukannya Juga Besar

Masing-masing organisasi berbeda dan menghendaki serangkaian kebijakan unik yang memenuhi kebutuhan stafnya. Dengan demikian triknya adalah mengidentifikasi apa kebutuhan-kebutuhan itu, bagaimana sebuah program kesehatan mental tempat kerja bisa dimulai untuk menangani persoalan, dan mengajak seluruh karyawan saat Anda mengupayakan cara melaksanakan kebijakan penanganan kesehatan mental.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Tine Van Bortel adalah Senior Research Associate in Public Health, University of Cambridge.

Read More